Daftar keinginan.
Hal itu sama sekali tidak Rama duga. Ia tidak tahu jika perkataannya malah membuat Tiffani salah paham. Padahal maksud Rama adalah ia hanya akan menuruti satu permintaan Tiffani. Hanya satu, tetapi Tiffani malah akan membuat daftar permintaan yang berarti akan banyak permintaan yang akan Tiffani tuntut padanya.
Akan tetapi, meskipun Tiffani salah paham, Rama tidak lantas menjelaskan maksud ucapannya yang sebenarnya, karena ia tidak ingin Tiffani malah semakin marah padanya.
"Daftar keinginan," ujar Rama, mengulangi ucapan Tiffani sambil menaikkan sebelah alisnya, yang membuat Rama terlihat semakin tampan.
Tiffani mengangguk, kemudian ia langsung berdiri dan menghampiri meja belajarnya, dan duduk di kursi yang ada di depan meja tersebut. Ia tidak tahan jika berlama-lama memandang Rama, bisa-bisa ia melompat dan memeluk Rama seerat mungkin.
"Kemarilah," titah Tiffani.
Rama menghampiri Tiffani dan berdiri di samping gadis itu. Sementara Tiffani sibuk dengan tumpukan buku yang ada di hadapannya.
"Menurutmu apa yang bagusnya kita lakukan terlebih dahulu? Apa ada saran?" tanya Tiffani, sambil membuka buku hariannya dan bersiap untuk menulis sesuatu di atas kertas berwarna merah muda, warna kesukaan Tiffani.
Rama terlihat bingung mendapat pertanyaan demikian dari Tiffani. "Terserah Anda, Nona," ujar Rama. Ia tidak tahu hal apa yang menarik untuk dilakukan bagi gadis kaya seperti Tiffani.
Tiffani mengigit ujung pena, kemudian ia mendongak menatap Rama yang berdiri tepat di sebelahnya. Tiffani memindai penampilan Rama yang masih berantakan. Pria itu terlihat jelas langsung menuju ke kamarnya begitu masuk ke dalam rumah, tanpa berganti pakaian dan tanpa membersihkan luka di wajah dan punggung tangannya yang mulai mengering.
"Ada apa?" tanya Rama. "Apa Anda marah padaku lagi, karena aku tidak bisa memberikan saran untuk Anda? Sebenarnya wajar saja jika aku tidak tahu banyak tentang apa yang seorang gadis inginkan atau sukai, karena aku adalah seorang pria, dan sebelumnya aku tidak pernah mengenal satu gadis pun."
Tiffani terkejut mendengar pengakuan Rama, Rama adalah pria dewasa, tidak mungkin jika Rama belum pernah mengenal satu gadis pun. "Apa kamu seorang ho-mo?" tanya Tiffani dengan santainya.
"Hah, tidak! Aku normal." Rama menampik tuduhan Tiffani. Enak saja Tiffani menganggap dirinya ho-mo.
"Oke, oke, aku tidak peduli kamu normal atau memang ho-mo. Yang terpenting aku sudah tahu apa keinginan pertamaku," ujar Tiffani.
Rama yang ingin memprotes ucapan Tiffani mengurungkan niatnya, terserah saja apa anggapan Tiffani tentangnya, yang terpenting urusannya dengan Tiffani segera berakhir. "Apa yang Anda inginkan, Nona?" tanya Rama.
Tiffani bangkit berdiri dan mendekat ke Rama, tangannya lalu terulur menyentuh darah kering yang menempel di dahi Rama. "Keinginan pertamaku adalah mengobati lukamu."
Refleks Rama menatap langsung ke dalam mata Tiffani yang jernih dan sendu. Menatap Tiffani dari jarak yang sedekat ini membuat jantung Rama berdetak lebih cepat daripada biasanya. Ia Mengakui kecantikan Tiffani sejak ia pertama kali bertemu dengan gadis itu, tetapi ternyata Tiffani bukan hanya cantik, ada sesuatu di dalam diri Tiffani yang membuat Rama semakin tertarik pada gadis itu, terutama sorot kesedihan yang coba Tiffani sembunyikan dari kedua tatapan matanya.
"Kamu tidak mau?" tanya Tiffani, saat dilihatnya Rama hanya diam saja. "Bukankah, kamu bilang akan menuruti semua apa yang aku mau."
Rama tersentak begitu Tiffani mulai mengomel di depannya. "Kenapa harus yang itu? Mengobati luka bukanlah sesuatu yang menyenangkan," ujar Rama, dengan suara yang begitu pelan.
"Siapa bilang mengobati luka tidak menyenangkan? Sejak kecil aku ingin sekali menjadi seorang dokter, jadi saat ada kelinci percobaan yang bisa kujadikan pasien, aku akan senang sekali." Tiffani nyengir, lalu ia meraih tangan Rama dan menuntun pria itu agar duduk di tepi ranjangnya. "Tunggulah di sini, aku akan mengambil kotak P3k dulu."
Rama mengangguk patuh. Jantungnya masih berdetak tidak teratur, sehingga ia tidak dapat menolak apa yang Tiffani ingin lakukan padanya.
Beberapa saat kemudian Tiffani kembali dengan membawa kotak P3k. Ia langsung duduk di samping Rama, dan meminta Rama agar menghadap ke arahnya.
"Kamu harus tahan sedikit, karena rasanya pasti akan perih," ujar Tiffani, lalu mulai membersihkan luka di dahi Rama dengan air hangat, dan juga cairan pembersih luka. Tiffani melakukannya dengan begitu lembut dan cepat. Seolah gadis itu sudah sering melakukannya.
"Kalau Anda begitu ingin menjadi dokter, kenapa tidak mengambil kuliah kedokteran saja?" tanya Rama.
"Dokter adalah cita-cita yang kumiliki saat aku masih kecil. Saat aku dewasa, aku tidak ingin lagi menjadi dokter." Tiffani menjawab sambil memasang perban di dahi Rama. Jarak mereka yang begitu dekat membuat keduanya dapat merasakan embusan napas yang hangat satu sama lain.
Rama bergidik, begitu juga dengan Tiffani. Ada percikan di antara mereka, tetapi keduanya menahan sekuat mungkin agar mereka tidak kehilangan akal sehat dan sesuatu yang tidak pantas terjadi di antara mereka berdua.
Rama menggeleng pelan, agar bayangan nakal tentang Tiffani menghilang dari dalam kepalanya. Ia kemudian kembali bertanya. "Lalu, apa cita-cita Anda sekarang?"
Tiffani langsung menjawab. "Menjadi ibu rumah tangga dan memiliki banyak anak."
Rama terbatuk dan tertawa mendengar jawaban Tiffani, ia tidak menyangka jika seorang tuan putri seperti Tiffani ingin memiliki banyak anak.
Melihat Rama tertawa, Tiffani meninju dada pria itu. "Kenapa tertawa? Apa ada yang lucu?'
Rama menggeleng. "Tidak ada, hanya saja jawaban Anda sangat tidak terduga. Aku pikir Anda ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri, lalu bekerja di perusahaan ternama, kemudian jalan-jalan keliling dunia. Kebanyakan anak orang kaya memiliki keinginan demikian."
"Aku tidak menginginkan semua itu. Aku hanya ingin memiliki keluarga normal yang hidup aman, nyaman, tentram di sebuah rumah kecil di pedesaan. Pasti asyik sekali, 'kan? Aku akan membesarkan anak-anakku di sana dengan penuh kasih sayang. Mengurusnya seorang diri sambil menunggu suamiku pulang bekerja. Kalau hujan, kami akan berdiam di dalam rumah sambil meminum cokelat panas, dan jika cuaca panas kami akan berlarian di halaman yang ditumbuhi rumput hijau dan bunga-bunga indah." Tiffani tersenyum saat mengakhiri ucapannya.
"Anda unik sekali," ujar Rama, lalu ia melanjutkan, "Apa tunangan Anda bersedia untuk tinggal di pedesaan seperti keinginan Anda?"
Tiffani langsung memelototi Rama. "Tunanganku? Maksudmu si dokter yang mesum itu? Astaga, Rama, jangan sebut dia sebagai tunanganku. Aku sungguh tidak sudi."
"Tapi--"
"Diam! Jangan bicara lagi atau aku tambahkan luka di kepalamu!" ancam Tiffani, membuat Rama benar-benar diam.
"Anda melakukan ini pada semua pengawal Anda?" tanya Rama setelah beberapa saat, yang kemudian merasa bodoh karena mengajukan pertanyaan demikian pada Tiffani.
"Tidak, aku tidak melakukannya pada semua pengawal. Aku hanya melakukan ini padamu. Aku kan bukan petugas palang merah yang mengobati semua orang terluka."
Lagi-lagi Rama refleks menatap ke dalam mata Tiffani. Ia ingin tahu apakah ucapan Tiffani sungguh-sungguh atau tidak, bisa saja kan Tiffani hanya mempermainkannya. Namun, Rama tidak melihat tanda bahwa Tiffani hanya sedang mempermainkannya saat ini. Gadis itu terlihat tulus.
"Kenapa?" tanya Rama lagi.
Tiffani tidak langsung menjawab, karena sekarang ia sedang sibuk pada punggung tangan Rama yang lecet dan berdarah.
"Entahlah, Rama, aku hanya terdorong untuk melakukannya. Lagi pula, kuakui aku sedang berusaha akrab denganmu, karena permintaan terakhirku nanti menuntut agar kita harus akrab terlebih dahulu."
Rama mengangguk. "Jadi Anda sudah memikirkan permintaan terakhir Anda? Boleh aku tahu?"
Tiffani menggeleng. "Tentu sudah kutentukan, tapi permintaanku itu adalah sebuah rahasia sampai hari H tiba."
Rama tersenyum, karena Tiffani mengatakannya dengan begitu bersemangat dan kedua mata sendunya berbinar. Ia tidak tahu jika Tiffani ternyata memiliki sisi kekanakan yang begitu menggemaskan. Dan ia juga baru tahu kalau Tiffani ternyata adalah pribadi yang sederhana di balik semua kemewahan yang ada pada dirinya.
"Jangan tersenyum begitu, Rama, senyummu mengalihkan fokusku," ujar Tiffani.
Rama tertawa.
"Oh, ya, satu lagi, mulai sekarang panggil saja aku Tiffani. Tidak usah panggil aku dengan sebutan nona, anda, dan segala macam keformalan yang melelahkan itu," ucap Tiffani.
"Mana bisa begitu, nona, bisa-bisa Tuan marah kalau."
"Dengarkan saja aku. Kamu harus mendengarkanku, bukan ayah. Walau ayah yang membayarmu, tapi kamu adalah milikku."
Deg!
Tiffani tahu jika ia melakukan kesalahan. Ia salah bicara, dan kecanggungan yang sejak tadi ia hindari akhirnya terjadi juga di antara mereka, mengisi udara di sekitar mereka yang sejak tadi penuh dengan canda dan tawa.
Rama menjauhkan tangannya dari tangan Tiffani, dan ia segera bangkit berdiri. Ia tidak tahan lagi, jika dirinya masih berada di dekat Tiffani, pasti tangannya akan mendorong tubuh Tiffani hingga gadis itu berbaring di ranjang, lalu selanjutnya sudah dapat ditebak apa yang akan ia lakukan pada tubuh Tiffani.
"Ram, be-be-lum selesai," ucap Tiffani, dengan terbata-bata.
"Tidak usah. Biar aku selesaikan sendiri." Rama menolak saat Tiffani ingin kembali mengobati tangannya. "Terima kasih banyak, Nona, aku pergi dulu." Rama kemudian memunggungi Tiffani dan melangkah menuju pintu.
Tiffani menyusul Rama dan menarik lengan pria itu, hingga Rama kembali menghadap ke arahnya.
"Permintaanku yang pertama adalah mengobati lukamu, yang kedua adalah aku ingin agar kita berbicara santai layaknya teman, jadi panggil aku dengan sebutan nama saja mulai sekarang." Tiffani berhenti sejenak, lalu melanjutkan."Permintaan ke tiga akan menyusul."
"Ada berapa permintaan?" tanya Rama.
"Lima," jawab Tiffani.
Rama tersenyum, lalu mengangguk ke Tiffani, "Baiklah. Sekarang istirahatlah, aku akan kembali ke kamarku."
"Kamu juga, istirahatlah, bye!"
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments