Tiffani beserta rombongannya akhirnya tiba di rumah setelah menempuh sisa perjalanan dalam suasana yang hening dan tidak nyaman.
Tiffani yang masih merasa kesal pada Rama langsung keluar dari dalam mobil begitu mobil berhenti tepat di depan jalan setapak menuju teras. Tiffani bahkan sengaja membanting pintu mobil tepat saat Rama ingin turun melalui pintu mobil yang Tiffani lewati.
Beruntung Rama dengan gesit mundur dan kembali duduk di kursi yang tadi ia duduki. Jika tidak pastilah wajah Rama menghantam pintu mobil dengan keras.
"Astaga, dia kejam sekali," gerutu Rama, sambil memegangi dadanya yang seperti akan meledak karena terkejut.
Mona terkikik. "Aku pun pasti akan melakukan hal yang sama seperti Tiffani jika orang yang berusaha kuselamatkan malah memarahiku, bukannya mengucapkan terima kasih."
"Aku bukan memarahinya, hanya saja--"
"Tetap saja seharusnya kamu mengucapkan terimakasih kasih lebih dulu pada Tiffani, bukannya malah mengomelinya seperti tadi. Jarang sekali dia mau menolong orang lain. Itu artinya kamu sedang beruntung, Rama." Setelah mengatakan itu Mona langsung keluar dari mobil, menyusul Tiffani yang sosoknya sudah tidak terlihat di teras.
"Wah,mereka berdua Kompak sekali. Padahal Maksudku baik, agar Nona selamat dan tidak menjadi korban."
"Tidak usah terlalu dipikirkan, Nak, perempuan memang sedikit ribet." Pak Slamet ikut berkomentar. "Lebih baik kamu mendatangi nona dan minta maaf padanya sekarang, karena lebih mudah bekerja dengannya jika ia tidak sedang marah. Kalau dia marah,bisa-bisa kita semua dibuat repot tak keruan." ujar Pak Slamet lagi. Sambil tertawa ia pun turun dari mobil, meninggalkan Rama yang masih kebingungan.
***
Tiffani masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya dengan keras, lalu ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang dalam posisi tengkurap.
Tidak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu, dan pekikan Mona yang menyebalkan memenuhi setiap sudut kamar Tiffani.
"Rama memang menyebalkan, ya? Sikapnya itu sungguh membuat bunga-bunga yang bermekaran di dalam hati menjadi rontok," teriak Mona, sambil melangkah menuju ranjang Tiffani.
Mendengar ucapan Mona, Tiffani langsung berbaring telentang agar dapat memandang Mona yang sedang mengoceh tidak jelas.
"Apa maksudmu?" tanya Tiffani.
"Maksudku adalah, si Rama itu membuat hatimu patah."
"Tidak!" Tiffani mendadak duduk dari posisi berbaringnya. "Aku tidak patah hati! Memangnya siapa dia sehingga mampu membuat hatiku patah?! Aku bahkan tidak menyukainya sama sekali."
Mona menghela napas. "Baiklah, kamu tidak patah hati, dan kamu tidak menyukainya."
"Memang tidak," ujar Tiffani, kemudian kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. "Aku lelah sekali." Tiffani menghela napas berat berulang kali,kemudian ia kembali duduk dan memandang Mona dengan mata melotot.
"Apa? Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Mona.
"Apa ayahku sudah datang?" tanya Tiffani.
Mona menggeleng. "Aku rasa belum, karena aku tidak melihat pengawal-pengawal ayahmu di luar tadi. Kenapa?"
"Aku harus mengatakan pada Ayah, bahwa yang semalam berusaha melukaiku di pantai adalah anak buah Ayahnya Sela." Tiffani meremas bantal yang ia pegang dengan gemas, lalu melanjutkan. "Sela dan ayahnya itu memang sangat mengerikan sekali, mereka berdua seperti penjahat sejati yang selalu memusuhi semua orang. Kenapa coba ayah Sela mengirim anak buahnya untuk repot-repot membunuhku?" tanya Tiffani dengan kesal.
Mona menyentuh pelipisnya. Wajahnya terlihat serius memikirkan hal yang masuk akal tentang alasan Burhan Lubis mengincar Tiffani. "Apa mungkin karena keributan di kampus kemarin. Bisa saja Om Burhan dendam karena kamu dan ayahmu menyudutkan Sela. Sela kan putri tunggal keluarga Lubis, jadi sangat wajar jika pria itu tidak ingin anaknya diusik," ujar Mona.
Tiffani berdecak. "Aku rasa tidak sesederhana itu. Terlalu berlebihan jika dia mengirim banyak pengawal hanya karena masalah itu."
Mona menggeleng. "Tidak terlalu berlebihan sebenarnya, karena ayahmu pun akan melakukan hal yang sama jika ada yang berani mengusikmu. Apa kamu tidak ingat, sejak dulu ayahmu selalu mengirim bodyguard untuk menghajar siapa pun yang mengganggumu."
Kedua pipi Tiffani merona, ia malu sekali karena ternyata selama ini ia telah banyak menyusahkan orang.
Tok, tok, tok.
Tiffani dan Mona menghentikan obrolan mereka, saat terdengar suara ketukan di pintu.
Tiffani langsung menyalakan monitor yang ada di samping tempat tidurnya untuk melihat siapa yang ada di depan pintu kamarnya sekarang.
"Rama," gumam Tiffani, saat ia melihat sosok Rama yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya, pada monitor di samping tempat tidurnya.
Mona berdehem, "Sepertinya aku harus keluar sekarang. Kamu ingin bicara hanya berdua dengan Rama, 'kan?"
Tiffani diam saja. Ia mengakui bahwa Mona adalah sahabat yang paling mengerti akan dirinya, karena terbukti Mona selalu bisa menebak emosi dan keinginannya. Dan keinginan Tiffani kali ini adalah bicara berdua dengan Rama, seperti tebakan Mona.
"Aku keluar kalau begitu, oke," ujar Mona lagi, lalu segera keluar dari kamar Tiffani sambil bersenandung pelan.
Begitu membuka pintu kamar, Mona langsung berhadapan dengan Rama. Ia tersenyum dan menepuk pundak Rama dengan keras.
"Masuklah ke dalam, dan semoga berhasil!" ujar Mona, yang langsung melenggang dengan cepat dari hadapan Rama.
Rama mengembuskan napas, lalu melangkah memasuki kamar mewah Tiffani dengan perasaan tidak nyaman, karena hanya ada dirinya dan Tiffani dalam kamar tersebut. Andai saja Pak Slamet tidak menyarankannya untuk meminta maaf pada Tiffani, tidak mungkin ia berada di dalam kamar Tiffani sekarang
"Untuk apa kamu datang kemari?" tanya Tiffani, begitu Rama berada di dekatnya.
Rama menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Aku ingin minta maaf soal yang tadi, Nona, aku sama sekali tidak memikirkan apa yang kuucapkan, dan aku juga tidak menyangka jika ucapanku itu membuat Anda sakit hati. Sebenarnya aku hanya khawatir dan tidak ingin jika keselamatan Anda terancam. Maafkan aku." Rama berujar dengan sungguh-sungguh. Ia memang berniat untuk berbaikan dengan Tiffani, karena ia tidak ingin jika Tiffani membuatnya kerepotan hanya karena sedang kesal padanya.
Tiffani tidak menjawab. Ia hanya memperhatikan Rama. Meskipun ia sangat kesal pada Rama, tapi sosok Rama sangat memengaruhi dirinya sedemikan rupa, hingga ia tidak dapat berkutik jika Rama berada begitu dekat dengannya, dan amarahnya hilang seketika.
Tiffani mengatur napas, lalu membuang muka, agar debar di dadanya tidak terdengar oleh Rama.
Melihat Tiffani yang diam saja, dan terlihat tidak ingin memaafkannya, maka Rama pun kembali berkata, "Akan kulakukan apa pun keinginan Anda, asal Anda tidak marah lagi padaku," ujar Rama sesegera mungkin.
Kali ini Tiffani tertarik, sudut bibirnya melengkung membentuk seulas senyum manis yang menghipnotis.
"Apa saja?" tanya Tiffani.
Rama mengangguk. "Ya, Nona, apa saja yang Anda minta. Katakan apa yang anda inginkan?"
"Aku akan buat daftar keinginan."
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments