Rama menggerak-gerakkan kakinya dengan tidak sabar di salah satu kursi yang ada di depan kelas Tiffani. Menunggu kelas Tiffani berakhir bukanlah hal mudah bagi Rama yang merupakan tipe pria pekerja keras. Biasanya ia sudah menggerakkan tubuhnya hingga berkeringat di jam segini, bukannya duduk bagai patung menunggu sebuah serangan datang entah dari mana.
Rama bosan dan mengantuk. Sudah puluhan kali ia menguap. Ingin sekali rasanya ia melakukan sesuatu untuk mengusir rasa kantuknya, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya saat ini selain duduk diam dan menunggu.
Setelah beberapa saat menunggu dan rasa kantuknya semakin parah menyerang kedua matanya, Rama pun memutuskan untuk pergi ke kamar mandi guna mencuci wajah. Sebelum pergi ke kamar mandi, Rama memeriksa keadaan di dalam kelas Tiffani. Ia berdiri di ambang pintu sejenak untuk melihat apakah ada orang yang mencurigakan di sekitar Tiffani, atau benda berbahaya yang dapat melukai gadis itu.
Kehadiran Rama yang hanya sekilas di ambang pintu mampu membuat para mahasiswi menjadi gaduh.
Pekik kekaguman terdengar memenuhi udara di dalam kelas, seolah mereka semua sedang melihat seorang idol K-POP berdiri di depan kelas mereka. Salah seorang teman Tiffani bahkan terang-terangan mengatakan pada Tiffany tentang perasaannya pada Rama.
Bruk!
Telapak tangan Sasa yang duduk tepat di depan tempat duduk Tiffani menggebrak meja Tiffani, membuat Tiffani terkejut dan memelototkan matanya ke Sasa yang memang terkenal tidak memiliki adab dan tata krama yang baik. Maklum saja, Sasa adalah putri dari salah seorang konglomerat terpandang di kota tersebut.
"Apa-apaan, sih!" ujar Mona, yang langsung menghampiri Tiffani begitu melihat tanda bahaya dari Sasa.
Ya, Sasa mungkin tidak akan melukai Tiffani secara fisik, tetapi jelas sekali jika kehadiran Sasa akan mengganggu mood seorang Alika Tiffani Raendra. Tiffani sangat membenci Sasa, bisa dikatakan bahwa Sasa adalah salah satu saingan berat Tiffani.
"Berikan aku nomor ponselnya!" seru Sasa, pada Tiffani.
"Nomor ponsel," gumam Tiffani yang tidak mengerti apa yang Sasa bicarakan.
Sasa mengangguk, lalu merapikan poni yang menutupi sebagian wajahnya. "Dia tampan sekali. Aku menyukainya."
Tiffani mengernyitkan dahi. "Siapa?"
Sasa mendengkus kesal, lalu menyentuh kedua pipi Tiffani dan mengarahkan wajah Tiffani ke pintu. "Dia!"
Kedua mata Tiffani langsung menangkap sosok Rama yang memang terlihat luar biasa. Jas hitam yang menempel di tubuh Rama, serta headset bluetooth yang terpasang di telinga Rama membuat Rama terlihat semakin memesona. Memandang Rama sama saja seperti sedang memandang dewa cinta. Hati siapa pun pasti akan terpanah.
"Rama," ujar Tiffani.
"Oh, namanya Rama." Sasa kemudian bangkit berdiri dan melambai ke Rama. "Hai, Rama, aku Sinta!"
Teriakan Sasa yang begitu keras menarik perhatian dosen yang sedang mengajar. "Sasa, bisa tolong tutup mulutmu!" ujar Bu Ririn. "Kita sedang di kelas sekarang."
Sasa menghela napas dengan malas, lalu kembali duduk di kursinya. "Ayolah, Bu, jangan kolot!" ujar Sasa dengan malas.
Bu Ririn diam saja, ia tahu tidak banyak yang bisa ia lakukan jika sudah menyangkut mahasiswi yang merupakan mahasiswi dari jenis 'anak konglomerat dan anak orang kaya.' Mahasiswi jenis itu sulit sekali dikendalikan.
"Ish, Sasa itu sama sekali tidak punya sopan santun," omel Mona, kemudian kembali ke kursinya.
Sementara itu Tiffani kembali memandang Rama yang masih berdiri di depan pintu. Pria itu memberikan kode ke Tiffani dengan cara menunjuk-nunjuk ke koridor. Tiffani hanya bisa mengangguk, karena ia tidak mengerti apa yang Rama maksud.
Detik berikutnya Rama telah menghilang dari pandangan Tiffani, dan tanpa sadar Tiffani menghela napas karena pemandangan ciptaan Tuhan yang paling indah tidak tampak lagi di matanya.
***
Bruk!
Rama yang melangkah dengan terburu-buru ke kamar mandi tanpa sengaja menabrak seorang gadis, membuat gadis itu terjatuh.
"Astaga, maafkan aku. Aku mohon maafkan aku," ujar Rama, lalu berusaha membantu gadis yang baru saja ia tabrak untuk bangkit berdiri.
Gadis itu diam saja. Ia bahkan menyentak tangan Rama dengan kasar saat Rama berusaha untuk menolongnya. "Pergilah!"
"Tapi, Anda harus berdiri dulu, pakaian Anda bisa kotor."
"Pergi kubilang!" gadis itu kembali berteriak.
Rama memperhatikan gadis itu dengan seksama, ia mulai bertanya-tanya apakah separah itu ia menabrak gadis itu hingga gadis itu marah padanya dan menolak untuk ditolong. Namun, beberapa saat kemudian Rama melihat sesuatu yang tidak biasa di samping gadis itu. Sebuah benda berwarna merah muda dan putih yang pasti terjatuh saat mereka bertabrakan. Benda itu adalah alat tes kehamilan.
Rama mengangguk paham. Ia mengerti sekarang kenapa gadis itu memilih untuk tetap pada posisinya. Gadis itu sedang menangis.
Rama berlutut di samping gadis itu dan meraih alat tes kehamilan yang tergeletak di lantai. "Simpanlah sebelum yang lain tahu. Dan ayo, tidak baik terus duduk di sini."
Si gadis mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk. Ia menatap Rama dengan kedua matanya yang dipenuhi air mata.
"Jangan menangis, semua orang bisa melakukan kesalahan. Daripada berkubang dalam kesedihan, lebih baik pikirkan apa yang akan Anda lakukan selanjutnya," ujar Rama, lalu bangkit berdiri dan mengulurkan tangan pada gadis itu.
Si gadis menyambut uluran tangan Rama. "Namaku Sela, dan kamu?"
"Aku Rama." Rama menjawab singkat, kemudian berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Sela, tetapi Sela malah semakin meremas tangan Rama.
Detik berikutnya sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka oleh Rama pun terjadi. Sela memeluknya dengan erat dan mulai menjerit tak keruan.
"Hai, ada apa ini? Lepaskan," pinta Rama.
"Kamu harus bertanggungjawab, Rama, bagaimana pun juga anak ini adalah anakmu!" pekik Sela.
"What!" Rama bingung untuk sesaat. Ia tidak mengerti kenapa gadis yang tidak ia kenal sama sekali berani bertindak sejauh ini. Namun, detik berikutnya Rama mulai mengerti. Ia menoleh ke belakang, dan ternyata sudah banyak pasang mata yang memandangnya dan juga Sela.
"Sial, Anda memfitnahku!"
***
Tiffani mendengar kejadian yang menimpa Rama, kabar itu menyebar secepat angin berembus. Ia dan Mona segera berlari menuju ruang sekertariat untuk menemui Rama yang menurut kabar dibawa ke sana bersama dengan Sela.
"Sela itu kan memang gatal. Karena dia tidak bisa menggaruk sendiri bagian tergatal di tubuhnya, akhirnya dia meminta digarukan oleh laki-laki ini dan itu, tidak heran kalau sekarang dia hamil. Tapi bisa-bisanya dia menuduh Rama kita," omel Mona.
Tiffani menoleh ke Mona. "Rama kita? Dia Ramaku."
"Ramamu? Wah, ini unik, baru pertama kali aku mendengar kalimat seperti itu keluar dari bibir merah mudamu, Fan." Mona cekikikan.
Kedua pipi Tiffani merona. Ia menyumpah di dalam hati karena kali ini ia tidak bisa mengontrol ucapannya. "Maksudku, Rama itu bodyguardku."
"Ya, terserah kamu sajalah," ujar Mona, cuek.
Beberapa saat kemudian Mona dan Tiffani tiba di ruang sekertariat. Ada beberapa orang yang hadir di sana selain Rama dan Sela.
"Aku tunggu di luar saja, kamu masuklah ke dalam," ujar Mona.
Tiffani mengangguk, lalu masuk ke dalam ruangan dan langsung duduk di samping Rama. "Saya sudah dengar semuanya, dan kedatangan saya ke sini untuk membawa Rama pergi, Pak," ujar Tiffani tanpa berbasa-basi lagi.
"Kamu bahkan baru datang!" seru Sela.
"Di kampus ini, tembok saja bisa bicara, Sel, dan aku mendengar dengan jelas bahwa kamu memfitnah pengawalku. Bagaimana bisa dia menghamilimu kalau hari ini saja adalah hari pertamanya datang ke kampus!"
"Itu yang sejak tadi aku katakan pada semua orang, tapi tidak ada yang mau mendengarkan," keluh Rama.
Tiffani sekarang menatap Rama dan meninju dada pria itu. "Apa yang kamu lakukan dengannya di depan kamar mandi, hah?"
"Aku hanya ingin mencuci muka karena aku mengantuk. Aku kan sudah berpamitan pada Nona sebelum aku beranjak ke kamar mandi, lalu aku bertabrakan dengan dia. Aku berusaha meminta maaf dan menolongnya untuk berdiri, tapi dia malah memelukku dan mengatakan hal aneh yang tidak masuk akal." Rama menjelaskan.
Tiffani menghela napas dan kembali memelototi Sela yang juga melotot ke arahnya. "Lain kali jangan sembarangan menolong orang, Rama, karena tidak semua orang pantas untuk ditolong. Ayo, kita pergi dari sini." Tiffani menyentuh telapak tangan Rama dan meminta Rama untuk berdiri.
"Tunggu, Fan, kamu tidak bisa membawanya pergi begitu saja. Kami harus mengonfirmasi kalau dia ini memang pengawal yang ditugaskan untuk menjagamu. Kami juga harus memastikan bahwa dia memang tidak pernah memiliki hubungan dengan Sela," ujar Pak Kuncoro, salah seorang dosen bagian kesiswaan.
"Pak, Rama memang pengawalku dan dia tidak kenal dengan Sela gatal ini," ujar Tiffani dengan malas.
"Sela gatal katamu!" Sela bangkit berdiri kemudian menjambak rambut Tiffani.
Melihat hal itu, Rama bertindak cepat, ia menarik Tiffani ke dalam pelukannya agar Sela tidak lagi dapat melakukan kekerasan pada Tiffani. Sementara Pak Kuncoro berusaha menahan tangan Sela yang bergerak liar di udara.
"Apa yang terjadi!"
Suara bariton seorang pria yang baru saja memasuki ruangan menghentikan keributan yang Sela ciptakan. Pria itu adalah Richard Raendra.
"Ayah," ujar Tiffani, saat melihat sang Ayah berdiri tidak jauh dari tempat keributan.
Rama langsung melepas pelukannya dari Tiffani dan membungkuk hormat pada Richard.
"Pak Richard, Anda sudah tiba." Pak Kuncoro membungkuk hormat dan mempersilakan Richard untuk duduk.
Richard menghampiri Tiffani dan Rama, lalu ia menyentuh wajah putrinya. "Apa kamu terluka?" tanya Richard.
"Tidak, Ayah, untung ada Rama, kalau tidak kulitku pasti tergores karena ulah Sela sialan itu."
"Sst, jaga bicaramu, Tiffani."
Sela mendengkus kesal melihat kemesraan antara ayah dan anak yang berdiri di depannya. Ia lalu menghempas bokongnya dengan kasar ke kursi, lalu menyilangkan tangan di depan dada, menunggu untuk diintrogasi.
"Tenang saja, Rama, ayah akan menyelesaikan semuanya," desis Tiffani pada Rama yang sekarang berdiri di belakangnya.
Rama mengangguk.
"Aku sudah mendengar sebagian detailnya saat Anda meneleponku tadi, Pak Kuncoro. Dan aku tidak bisa menghabiskan waktu untuk berada di sini seharian, bahkan setengah hari pun tidak. Jadi, langsung saja aku jelaskan bahwa Rama adalah pengawal yang baru bekerja hari ini untuk menjaga putriku. Dan aku berani memastikan bahwa Rama sebelumnya tidak pernah bertemu dengan Sela apalagi tidur dengan Sela. Jika Sela masih tidak terima dan bersikeras bahwa dia mengandung anak Rama, aku akan membicarakan hal itu pada Ayah Sela secara langsung. Kebetulan aku kenal dengan Pak Lubis, ayah Sela."
Sela tersenyum miring. "Ayahku tidak akan mau berbicara denganmu."
Tiffani mengepalkan tangannya. "Yang sopan kalau bicara dengan ayahku, Sel."
"Kenapa, hah? Hanya karena semua orang hormat padanya, lantas aku juga harus mengendus di bawah kakinya. Aku bukan anjing yang meminta untuk diperhatikan."
Richard tertawa. "Aku tidak bisa meladenimu, Nak, karena kamu masih anak-anak. Tapi bukankah keributan yang kamu buat ini adalah salah satu caramu untuk mencari perhatian." Richard kemudian bangkit berdiri. "Aku pamit, Pak Kuncoro, semoga Anda bisa mempertimbangkan mana yang benar dan mana yang salah, terlebih lagi sepertinya Anda sudah tahu bagaimana perangai seorang Sela Lubis."
Pak Kuncoro terlihat malu. "Maafkan saya, Pak, saya seharusnya lebih bijaksana, apalagi keributan seperti ini bukan yang pertama kali Sela buat."
Richard menepuk pundak Pak Kuncoro. "Tidak masalah. Apa Anda sudah menelepon Pak Lubis?"
"Ya, Pak, sudah, tapi beliau tidak bisa datang," ujar Pak Kuncoro.
Richard lalu mengalihkan pandangannya ke Sela yang terlihat kesal. "Sudah kuduga. Ck, kasihan sekali putrinya."
Richard kemudian menoleh ke Tiffani dan Rama, meminta putrinya dan juga Rama untuk keluar dari ruangan itu.
Ketiganya kemudian menyusuri koridor menuju area parkir kampus yang jaraknya lumayan jauh dari ruang sekretariat.
Kehadiran Richard menarik perhatian banyak mahasiswa. Hampir semua mahasiswa yang ada di Universitas itu terkagum-kagum pada sosok Richard Raendra, karena sempat ada rumor yang menyebutkan bahwa Richard adalah seorang mafia. Seorang Mafia yang bersembunyi di balik topeng sebagai pengusaha kaya dan dermawan.
Setibanya di area parkir, seorang pengawal membukakan pintu mobil untuk Richard, tetapi Richard tidak langsung masuk. Ia berbalik dan menatap Tiffani dan Rama bergantian.
"Ini pertama kalinya aku dipanggil ke kampus Tiffani karena sebuah masalah, dan uniknya masalah itu adalah masalah yang ditimbulkan pengawal putriku, bukan putriku sendiri."
Rama langsung membungkuk. "Maaf, maafkan saya, Tuan, saya berjanji tidak akan mengulanginya. Maaf karena saya telah merepotkan Anda."
Richard tertawa. "Tidak mengulangi apa tepatnya? Kesalahan seperti ini tidak bisa kamu kendalikan, Rama, karena semuanya berasal dari wajahmu. Sela tertarik padamu, itulah sebabnya dia memfitnahmu, jika tidak mana mungkin gadis itu bertindak seceroboh itu. Kuakui, kamu memang terlalu tampan untuk menjadi seorang pengawal."
Rama bingung harus berkata apa sekarang. Ia merasa dirinya biasa saja, tetapi entah mengapa semua orang mengatai dirinya tampan dan menatapnya dengan tatapan kagum.
"Maafkan wajah saya kalau begitu, Tuan."
Richard lagi-lagi tertawa. "Baiklah, aku kembali ke kantor dulu. Jaga Tiffani."
"Baik, Tuan!"
Sebelum masuk ke dalam mobilnya, Richard berkata, "Jika ada yang berusaha menyakiti Tiffani, jangan lindungi Tiffani dengan cara yang tadi kamu lakukan. Kamu tidak harus memeluk Tiffani, langsung saja tembak orang yang akan menyakiti Tiffani, bukankah aku sudah memberimu Glock Mayer 22."
Rama diam mematung. Ia tahu bahwa yang baru saja Richard ucapkan adalah sebuah peringatan agar ia tidak melakukan kontak fisik dengan Tiffani.
(Visual Rama)
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Megabaiq
aku lbh suka visual org bulee gtu
2023-10-09
1
Dwi Winarni Wina
rama sangat tampan digilai banyak gadis2 cantik,,,,lama2 tifani jg jatuh cinta sm rama,,,,lanjut thor💪
2023-06-20
1
Tersiani Duni
itu terlalu tampan untuk seorang pengawal ibu author😅😅
kasi ke aku aja gih😁😁😁
2023-04-04
1