Pertemuan singkat yang terjadi antara Rama dan Richard mampu membuat Richard tertarik pada Rama. Bagaimana tidak, jika Rama adalah pria yang cekatan dan tidak banyak bicara, selain itu Rama juga memiliki harga diri yang tinggi dan mampu membela dirinya dengan baik saat mendapat tekanan.
Richard sebenarnya telah tiba beberapa menit sebelum truk kontainer yang membawa senjata api ilegal berhenti di halaman sebuah gudang penyimpanan. Seperti biasa, ia mengawasi pekerjaan anak buahnya dalam diam, sekaligus memastikan bahwa kiriman senjata api kali ini sesuai dengan pesanan. Ia melihat bagaimana cara Rama bekerja. Rama begitu fokus, tidak banyak mengobrol seperti rekannya yang lain. Bahkan Ramalah yang paling banyak menurunkan kotak-kotak kayu berisi senjata api dari dalam truk sementara rekan-rekannya sibuk membicarakan bokong menggoda seorang wanita bayaran di sebuah bar.
Pembawaan yang seperti itu bagi Richard sangat pas untuk mendampingi putrinya yang banyak bicara. Richard suka pria yang pendiam, dan begitu juga dengan putrinya. Selain itu wajah Richard sangat tampan, dengan bentuk tubuh yang proposional--tidak besar, tetapi tidak terlalu kurus juga--dan yang paling penting adalah, Rama jago bela diri bahkan tanpa senjata sekalipun.
Damar, asisten Richard melangkah menuju salah satu gudang penyimpanan senjata untuk mencari keberadaan Rama. Setelah menemukan Rama, Damar langsung menghampiri Rama.
"Selamat malam, Tuan yang tak terkalahkan," ujar Damar, pria berusia 28 tahun itu memang suka menggunakan istilah-istilah yang merepotkan dalam menyebut seseorang.
Rama yang sedang menyusun kotak-kotak kayu segera menoleh ke tempat Damar berdiri. "Aku?" tanyanya, terlihat bingung.
"Yup, Anda, karena di sini tidak ada siapa pun lagi." Damar membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot.
Rama menegakkan tubuhnya dan memberi hormat pada Damar. Ia tahu jika Damar adalah asisten sang bos, karena beberapa kali ia melihat Damar mondar-mandir di sebelah Richard.
Damar mengibaskan tangan di hadapan Rama. "Jangan begitu. Aku bukan atasan di sini. Kita satu server, oke. Maksudku kita sama-sama seorang pekerja."
Rama mengangguk, meski begitu tetap saja ia membungkuk beberapa kali sebelum akhirnya bertanya pada Damar.
"Ada apa, Tuan?" tanya Rama.
Damar berdeham, kemudian menjawab pertanyaan Rama. "Tuan Richard memintamu untuk datang ke ruangannya sekarang."
Rama menghela napas. Ia tahu hal ini pasti akan terjadi, terutama jika ada yang mengadu bahwa ia baru saja menjatuhkan kotak kayu berisi senjata. "Apa Tuan memanggil saya karena saya telah menjatuhkan beberapa kotak tadi? Senjatanya tidak ada yang rusak, Tuan, saya sudah mengecek semuanya dan semuanya baik-baik saja."
Damar tersenyum. "Bukan. Tuan Richard tidak memanggilmu untuk membicarakan perihal senjata yang berserakan di atas tanah beberapa waktu lalu. Ada hak lain, dan ini lebih penting daripada sekadar senjata."
Rama memgerutkan dahi, ia bingung kenapa Richard memanggilnya jika bukan karena urusan senjata api.
"Ayolah, Tuan tidak bisa menunggu lebih lama." Damar meminta Rama untuk mengikutinya.
Rama segera menutup kotak-kotak kayu, dan langsung mengekor langkah Damar menuju salah satu bangunan yang paling mungil daripada semua bangunan yang ada di sana. Bangunan itu adalah bangunan yang dijadikan kantor oleh Richard Deandra.
***
Tok, tok, tok.
"Masuklah!" Richard berteriak dari dalam ruangan, begitu ia mendengar suara ketukan di pintu ruangannya.
Pintu berayun membuka, dan Damar muncul di baliknya bersama dengan Rama.
"Tuan, aku membawanya bersamaku," ujar Damar, lalu melirik ke Rama yang berdiri di belakangnya. "Majulah, jangan bersembunyi di belakangku," desis Damar pada Rama.
Rama mengangguk, kemudian segera maju beberapa langkah agar dirinya terlihat oleh Richard yang tengah duduk di balik meja kerjanya. "Tuan, saya Rama, ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?" tanya Rama, sembari sedikit membungkukkan tubuhnya demi kesopanan, toh selain sebagai bosnya, Richard juga jauh lebih tua dari dirinya.
"Ya, ada yang aku inginkan darimu, dan hal ini lebih bersifat pribadi, tidak ada hubungannya dengan segala pekerjaan yang ada di sini," ujar Richard.
'Sial, apa dia menginginkanku? Apa dia seorang gay?!' Rama membatin dan mulai berpikir yang tidak-tidak.
"Apa itu, Tuan?" tanya Richard.
"Ikutlah denganku ke kota, dan tinggallah bersamaku. Aku tertarik padamu."
'****! Dia memang gay!' Rama mengeluh di dalam hati.
"Bagaimana?" tanya Richard, membuyarkan lamunan Rama dan pikiran-pikiran kotornya yang tidak berdasar.
"Tapi, Tuan, maafkan saya sebelumnya. Mungkin yang akan saya ucapkan ini sangat tidak sopan dan menyinggung Anda, tapi Anda harus tahu agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara kita. Saya ... saya normal, Tuan, saya bukanlah pemakan sesama jenis."
Hening.
Atmosfer di ruangan menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Rama tahu jika perkataannya barusan akan membuat sang bos mengamuk. Namun, ia salah. Bukannya mengamuk, Richard malah tertawa terbahak-bahak, begitu juga dengan Damar. Damar bahkan sampai berlutut dan tertawa terpingkal-pingkal di lantai ubin yang berdebu.
”Kamu lucu sekali," komentar Richard. "Ikutlah denganku, dan kamu akan tahu bahwa aku pun bukan pemakan sesama jenis. Aku memiliki putri, dan aku ingin kamu menjadi pengawal untuk putriku."
***
Tiffani menggeliat saat sinar matahari yang hangat masuk melalui jendela kamarnya yang tidak bertirai, dan sinar yang hangat itu langsung menimpa tubuhnya yang tidak tertutup oleh selimut.
Tiffani berdecak kesal, lalu menarik selimut yang ada di bawah kakinya untuk menutupi tubuhnya.
"Nona, bukan saatnya untuk kembali tidur." Suara seorang wanita yang sudah tidak asing di telinga Tiffani terdengar tegas melarang Tiffani untuk kembali tidur.
"Nona." Suara itu kembali terdengar, dan sangat mengganggu bagi Tiffani.
Tiffani mengeluh. "Ayolah, Pengasuh, aku masih mengantuk."
"Anda ada ujian hari ini, Nona, seharusnya Anda sudah bangun sejak sepuluh menit yang lalu. Saya bahkan sudah memberi toleransi sebelas menit untuk Anda," omel suara itu yang merupakan seorang pengasuh yang ditugaskan untuk merawat Tiffani dan membantu untuk memenuhi semua kebutuhan pribadi Tiffani.
Tiffani bangkit dari posisi berbaringnya, lalu menatap pengasuhnya dengan kesal. "Hanya lebih satu menit! Apa bagusnya?!"
"Itu lebih bagus daripada tidak sama sekali." Si pengasuh mengomel. "Ayolah, Tiffani, aku lelah harus terus berperan menjadi pengasuh yang sabar dan baik hati. Jika aku adalah ibumu, aku akan menyeretmu ke kamar mandi sekarang juga dan menyiram kepalamu dengan air dingin."
Mona Adelia, adalah seorang gadis yang seusia dengan Tiffani. Mona merupakan sahabat sekaligus pengasuh Tiffani yang ditugaskan untuk membantu Tiffani menyiapkan segala keperluan kuliah, pakaian, hingga peralatan mandi. Semua hal yang tidak bisa dilakukan oleh pengawal dan pelayan, maka Monalah yang melakukannya, karena Tiffani tidak suka jika ada pelayanan yang masuk ke kamarnya dan menyentuh semua barangnya.
"Ayo, cepat. Kalau kita terlambat, maka aku akan mengadu pada ayahmu." Mona menarik lengan Tiffani, dan menuntun Tiffani ke kamar mandi, hal yang sudah pasti tidak dapat dilakukan oleh puluhan pelayan yang ada di rumah itu. Mana ada pelayan yang berani menyentuh kulit mulus Tiffani.
Tiffani diam saja dan menuruti apa yang Mona perintahkan. Ia tidak mungkin berdebat dengan Mona dan menolak perintah Mona. Toh, sebagai sahabatnya Mona sudah sangat berjasa padanya.
"Oke, oke, aku mandi. Siapkan saja pakaian untukku, setelah itu kamu bisa sarapan duluan. Aku akan menyusul setelah selesai bersiap-siap," ujar Tiffani.
Mona mengangguk. "Jangan lupa sikat gigi dan pakai sabun yang benar, Tiffani."
Tiffani memutar bola matanya dengan malas. "Aku bukan anak kecil. Pergi sana!"
Brak!
Tiffani membanting pintu kamar mandi dengan keras.
Mona tertawa. Ia suka menggoda Tiffani. Tiffani memang terbiasa untuk dilayani. Kehidupan mewah yang Tiffani jalani membuat sang ayah rela membayar berapa pun agar sang putri hidup dengan nyaman, tetapi Tiffani sangat benci jika diperlakukan seperti anak kecil, apalagi jika harus diingatkan untuk rajin sikat gigi. Baginya, peringatan seperti itu hanya dah diberikan untuk anak yang berusia 5 tahun, bukan 20 tahun.
Setelah selesai berpakaian, Tiffani langsung keluar dari kamar dan turun menuju lantai bawah. Namun, langkahnya terhenti saat ia melihat Mona duduk di salah satu anak tangga.
"Mon," sapa Tiffani.
Mona langsung bangkit berdiri, dan menoleh untuk menatap Tiffani. "Sudah selesai?"
Tiffani mengangguk. "Kenapa tidak sarapan duluan?"
"Mana bisa aku turun sendirian tanpa kamu Nanti ayahmu akan banyak bertanya di mana gerangan tuan putri, kenapa pelayannya turun sendirian."
Tiffani mencubit pinggang Mona. "Ayahku tidak sejahat itu."
Mona terkekeh. "Iya, aku tahu, aku hanya bercanda. Ayo." Mona menggenggam tangan Tiffani dan menuntun Tiffani menuruni anak tangga hingga mereka tiba di ruang makan.
Di ruang makan aroma lezat makanan langsung menguar, memenuhi rongga hidung siapa pun yang ada di sana dan membuat cacing-cacing yang kelaparan di dalam perut tuannya segera melompat kegirangan.
Sebuah meja besar berbentuk oval berada di tengah ruangan, dikelilingi dengan beberapa kursi bersandaran tinggi yang memiliki ukiran rumit pun mewah. Sementara itu di salah satu kursi telah duduk seorang pria berwajah tegas dan berkharisma, dan beberapa pengawal berjas hitam lengkap dengan senjata berdiri di setiap sudut ruangan.
Mungkin bagi yang baru pertama kali melihat pemandangan ini akan merasa aneh dan bertanya-tanya untuk apa menempatkan pengawal di dalam ruang makan lengkap dengan senjata?
Akan tetapi, hal itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena dulu sekali keluarga Richard Raendra pernah diserang saat sedang menyantap hidangan makan malam. Kejadian itu membuat Richard memperketat keamanan, baginya di mana pun ia dan putrinya berada tidak menutup kemungkinan sebuah serangan akan terjadi dan membuat putrinya berada di dalam bahaya.
Tiffani dan Mona melangkah menuju meja makan, dan dengan sigap seorang pengawal menghampiri keduanya.
Tiffani terkesima saat kedua matanya menangkap sosok rupawan itu. Ia tahu jika pengawal yang sedang berdiri di hadapannya sekarang ini pastilah pengawal baru, dan ia mulai bertanya-tanya apakah pengawal baru ini adalah miliknya, toh kemarin dia baru saja membuat empat pengawal mengundurkan diri secara bersamaan.
"Selamat makan," ujar Mona, sambil melepaskan tangannya dari lengan Tiffani.
Ketika tiba di ruang makan, Mona memang akan memisahkan diri dari Tiffani dan mengambil tempat di meja paling ujung, sementara Tiffani akan duduk berhadapan dengan Richard untuk menyantap sarapan.
Seharusnya saat Mona pergi, si pengawal baru harus menghampiri Tiffani, mempersilakan Tiffani untuk duduk di kursi yang telah pengawal siapkan sebelumnya. Namun, kali ini bukannya menghampiri Tiffani, si pengawal baru malah mengekor langkah Mona, dan menarikkan kursi untuk Mona duduki.
"Silakan, Nona," ujar pengawal baru itu yang tak lain dan tak bukan adalah Rama.
Melihat kejadian itu, Tiffani menjadi kesal, sementara Mona dan Richard menertawakan kesalahan yang Rama buat.
"Bukan aku nona muda di sini, Tuan, tapi dia." Mona menunjuk ke tempat Tiffani berdiri.
Rama meringis, ia merasa bodoh sekali karena tidak bisa membedakan yang mana nona muda.
"Ma-maaf," gumam Rama, kemudian melangkah menghampiri Tiffani. "Silakan, No--"
"Jangan ikuti aku!" bentak Tiffani. "Aku bisa mengurus diriku sendiri."
Sebenarnya Tiffani tidak ingin bersikap demikian kepada pengawal barunya yang begitu tampan, tetapi ia tersinggung setengah mati. Bagaimana bisa pengawal itu tidak bisa membedakan yang mana nona muda di rumah ini. Menyebalkan sekali.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Crystal
Astaga, apa pengasuhnya berpakaian mewah seperti nonanya. Sampe Rama ga bisa bedain🙄
2023-10-13
1
Dwi Winarni Wina
sang pengenal tidak bisa membedakan mana nona mudanya n pengasuh nona muda,,,kayaknya sang nona melihat sekilas rama ada ketertarikkan...lanjut thor💪
2023-06-20
1
Tersiani Duni
ya ayo semangat Rama,,,luluhkan si Tiffani😅😅
2023-04-04
1