Richard terkejut, begitu juga dengan Rama saat tiba-tiba Tiffani menerobos masuk dan berteriak tidak setuju atas niat Richard untuk menempatkan Rama di gudang yang baru saja akan beroperasi.
Sebenarnya Richard bisa menugaskan siapa saja di sana, tetapi ia hanya memercayai Rama dan berniat akan menjadikan Rama kepala bagian gudang di sana jika memang Rama setuju dan lebih suka bekerja di gudang daripada menjadi seorang bodyguard.
"Tiffani, bukankah ayah memintamu untuk beristirahat di kamarmu, Nak. Kenapa malah datang ke sini?" tanya Richard.
Tiffani tidak menghiraukan pertanyaan Richard, ia menghampiri meja kerja Richard, di mana Rama dan Richard saling duduk berhadapan.
"Jangan pergi," pinta Tiffani pada Rama.
Rama bangkit berdiri dan membungkuk pada Tiffani. "Tapi, Nona--"
"Tidak ada tapi-tapian. Teganya kamu ingin pergi meninggalkanku. Bukankah kamu sudah berjanji akan menuruti permintaanku!" Tiffani melotot ke Rama.
"Nona bukan begitu, tapi ... saya ...." Rama tidak dapat melanjutkan ucapannya, karena melihat kedua mata Tiffani yang berkaca-kaca sekarang seperti hendak menangis.
Melihat tingkah putrinya yang begitu aneh, Richard pun memutuskan untuk bertanya pada sang putri. "Tiffani, ada apa ini sebenarnya? Kenapa kamu bertingkah seperti ini, Nak?"
Tiffani lalu menoleh ke Richard. "Jangan tugaskan Rama ke mana pun, Ayah. Bukankah Ayah telah menugaskan dia untuk menjadi bodyguardku, kalau ayah menugaskannya bekerja di tempat lain, lantas siapa yang akan menjagaku? Apa Ayah akan mengganti posisi Rama dengan bodyguard yang baru?
Richard mengangguk. " Ayah memang berencana melakukan hal itu, Fani. Ayah hanya akan menugaskan Rama selama satu bulan, karena hanya Rama yang ayah percaya untuk menjaga gudang di sana."
Air mata Tiffani menetes, dan hal itu membuat Richard juga Rama menjadi bingung dan khawatir.
"Nona, jangan menangis." Rama langsung menarik selembar tisu dari kotak tisu yang ada di atas meja kerja Richard dan memberikannya pada Tiffani.
Tiffani menerima tisu dari Rama stabil berdesis. "Aku akan membunuhmu kalau kamu pergi. Ingat janjimu, Sialan!"
Richard berusaha menahan tawa begitu mendengar ucapan Tiffani. Hampir saja ia salah paham pada sikap putrinya yang setengah mati mempertahankan Rama. Ia pikir putrinya dan Rama memiliki hubungan yang tidak wajar, tetapi sepertinya tidak. Walaupun ia yakin ada sesuatu di antara keduanya, tetapi ia yakin jika sesuatu itu bukanlah cinta.
Richard berdeham, lalu bertanya, "Jadi, katakan padaku ada apa sebenarnya ini Rama? Kenapa putriku tidak ingin kamu pergi?"
"Kenapa Ayah bertanya padanya, tanya saja padaku."
Richard kembali duduk, dan melipat tangan di depan dada. "Katakanlah kalau begitu, Nak, ada apa sebenarnya?"
Tiffani menghela napas, kemudian mengusap lendir yang keluar dari hidungnya sebelum menjelaskan sesuatu kepda Richard. "Aku memiliki tugas dari kampus untuk membuat lukisan tiga dimensi. Tadinya aku ingin membayar seorang pelukis handal untuk melakukannya, tapi si Rama ini berkata untuk apa membayar pelukis mahal-mahal, karena dia sebenarnya bisa melukis. Jadilah aku membatalkan niatku untuk membayar pelukis itu, karena Rama berjanji akan melukis untukku. Kalau ayah membawanya pergi dari sini, lalu siapa yang akan mengerjakan tugasku itu? Ayah kan tahu kalau aku dan Mona tidak pandai melukis."
Richard tertawa terbahak-bahak. Ia begitu lega setelah mendengar penjelasan dari Tiffani. "Ah, jadi karena hal itu," ujar Richard. "Bagaimana kalau kamu mencari pelukis lain saja, Nak, sementara Rama akan tetap pergi."
"Tidak, Ayah. Harus Rama, karena Rama sudah--"
"Ayolah, Nak. Ayah akan membayar berapa pun pun pelukis itu. Rama harus tetap ke sana. Tidak bisa tidak, Tiffani."
Tiffani terlihat kecewa. Wajahnya begitu sedih dan binar di kedua matanya menghilang. Melihat hal itu Rama menjadi kasihan pada Tiffani, dan jujur saja ia pun ikut sedih. Ingin rasanya ia memenangkan Tiffani dan memeluk Tiffani hingga kesedihan Tiffani menghilang.
"Ayah akan meminta Andrew untuk mengantarmu ke sebuah galeri lukis besok. Kalian bisa mencari pelukis yang bagus." Richard kembali berujar, karena Tiffani hanya diam saja dan tidak menanggapi ucapannya.
"Tidak usah, terima kasih, Ayah. Aku tidak ingin Andrew datang dan mengantarkanku sana-kemari. Kalau sampai aku melihat Andrew datang, aku akan menembaknya dari jauh! Aku permisi." Tiffani langsung memunggungi Richard dan keluar dari ruangan Richard dengan langkah cepat.
"Fani, Fan!" Richard memanggil Tiffani, tetapi Tiffani tidak menghiraukan seruan sang Ayah.
"Anda tunggu saja di sini, Tuan, biar aku yang bicara pada nona," ujar Rama, yang tidak tega melihat Richard yang terlihat kelelahan.
Richard mengangguk, dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
***
Rama berlarian di dalam rumah mewah dan besar keluarga Raendra untuk mencari keberadaan Tiffani, tetapi ia tidak menemukan Tiffani di bagian dalam rumah, padahal ia sudah memeriksa semua kamar, perpustakaan, dapur, hingga kolam renang, tetapi gadis itu tidak ia temukan di mana pun.
Akhirnya setelah memastikan Tiffani benar-benar tidak ada di dalam rumah, Rama memutuskan untuk mencari Tiffani di halaman depan, yang hasilnya pun sama. Nihil!
Rama mulai kelelahan karena di halaman depan pun Tiffani tidak ada. "Ke mana dia," gumam Rama.
Sebenarnya bisa saja Rama meminta bantuan Mona atau pengawal yang lain untuk mencari keberadaan Tiffani, tetapi ia tidak melakukan itu, karena ada yang ingin ia tanyakan pada Tiffani begitu mereka bertemu, dan saat itu ia tidak ingin ada orang lain di antara mereka. Ia hanya ingin berdua dengan Tiffani.
Setelah istirahat sejenak, akhirnya Rama memutuskan untuk kembali mencari Tiffani. Kali ini ia memutuskan untuk mencari gadis itu di halaman belakang.
Halaman belakang begitu luas. Luasnya bahkan dua kali dari luas halaman depan. Padahal halaman depan saja sudah sangat melelahkan untuk dijelajahi.
Rama menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk memutari halaman itu dan memeriksa setiap sudutnya dengan teliti, karena memang terdapat banyak pohon di halaman bagian belakang, tidak seperti di bagian depan.
Setelah memeriksa beberapa tempat dan hampir saja ia menyerah, perhatian Rama kemudian tertuju pada sebuah rumah pohon yang ada di salah satu pohon berukuran paling besar di halaman belakang. Terlihat cahaya kekuningan dari dalam rumah pohon tersebut.
Rama langsung berlari menghampiri rumah pohon tersebut dan menaiki tangga gantung agar bisa tiba di bagian atas pohon.
"Kamu menemukanku."
Rama terkejut begitu ia mendengar suara dari dalam rumah pohon. Ia yang baru saja tiba di bagian teras rumah pohon itu pun langsung mengelus dada untuk mengurangi rasa terkejutnya. Setelah kembali tenang, Rama pun langsung merangkak masuk ke dalam rumah pohon yang berukuran lumayan besar dan dipenuhi dengan barang-barang mewah.
"Wow, luar biasa." Rama berkomentar, lalu ia duduk tepat di samping Tiffani. "Apa ini tempat favoritmu untuk bersembunyi?" tanya Rama.
Tiffani mengangguk, lalu ia menoleh ke samping. Menatap Rama yang napasnya terdengar terengah-engah. "Kamu kelelahan? Memangnya kamu dari mana saja? Lihatlah, tubuhmu saja sampai berkeringat." Tiffani Refleks mengusap wajah Rama yang berkeringat dengan lengan sweater yang ia kenakan. Rama membiarkan Tiffani melakukan hal itu, seolah semua itu normal dan sudah sering mereka lakukan.
"Dari mana lagi menurutmu? Aku mencarimu ke mana-mana."
"Maksudmu kamu mencariku di dalam rumah dan di halaman belakang? Baru begitu saja kamu sudah terlihat sangat kelelahan, payah sekali."
Rama mendengkus, lalu berkata, "Ukuran rumahmu tidak seperti ukuran rumah manusia normal."
Tiffani tersenyum. "Ya, aku mengerti. Aku hanya bercanda."
Rama kemudian menegakkan duduknya dan menatap Tiffani lekat-lekat. "Jadi, katakan padaku kenapa kamu melarangku untuk pergi, dan kenapa kamu berbohong pada ayahmu tentang tugas melukis itu."
"Kamu ingin aku menjawab semuanya dengan jujur?" Tiffani balik bertanya.
Rama mengangguk. "Tentu. aku ingin jawaban yang paling jujur."
Tiffani kemudian mengalihkan pandangan dari Rama, ia sekarang menatap lampu kekuningan yang menggelantung di langit-langit rumah pohon.
"Aku berbohong tentang tugas melukis itu agar ayah tidak membawamu pergi, aku mengataimu sialan agar ayah tidak curiga padaku tentang hubungan kita, dan tentang kenapa aku tidak ingin kamu pergi, entahlah, Rama, aku hanya ingin agar kamu tidak pergi. Itu saja."
"Hanya itu?" tanya Rama, yang merasa sedikit kecewa atas jawaban Tiffani.
"Ya, hanya itu, tapi sebenarnya aku merasakan hal lain, Ram. Aku merasa nyaman sekali berada di dekatmu, aku merasa bisa menjadi diriku sendiri saat aku ada di dekatmu, dan aku ingin agar aku selalu berada di dekatmu." Tiffani berhenti sejenak, kemudian ia tertawa. "Bukankah ini agak aneh? Kita baru saja bertemu, tapi aku sudah merasakan berbagai macam emosi yang sebelumnya tidak pernah kurasakan pada orang lain. Aku rasa aku sudah gila."
Hening.
Baik Rama atau pun Tiffani tidak ada yang mengatakan apa pun. Hanya suara jangkrik yang hadir di sekitar mereka, mengisi kesunyian yang membuat mereka canggung.
"Tapi aku tetap harus pergi. Ayahmu adalah Tuanku, aku harus menuruti apa yang dia perintahkan," ujar Rama setelah beberapa saat.
Tiffani mengangguk, wajahnya semakin menunduk. "Ya, aku tahu," ujarnya dengan suara serak.
Rama tahu jika Tiffani sedang menangis sekarang. Dengan berani, Rama menyentuh wajah Tiffani, dan mengusap air mata gadis itu. "Jangan menangis seperti ini. Aku pasti akan kembali dan menepati janjiku."
"Aku terlihat payah sekali, ya? Sebelumnya aku jarang menangis. Terakhir kali aku menangis saat ibuku meninggal, setelah itu aku tidak pernah menangis lagi kecuali jika aku ingin berpura-pura. Tapi entah kenapa saat mendengar kamu akan pergi, aku malah jadi cengeng begini."
"Jadi tangisanmu yang sekarang ini apakah tangisan sungguhan atau hanya pura-pura?" Rama berusaha mencairkan suasana, karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya agar Tiffani tidak lagi menangis.
Tiffani mendongak menatap Rama. "Tentu saja ini sungguhan."
Rama tersenyum dan kembali mengusap kedua pipi Tiffani yang basah. "Mungkin aku akan berangkat besok sore, sebelum berangkat mari kita melukis, agar ayahmu tidak curiga kalau kamu hanya berbohong."
"Apa kamu bisa melukis?" tanya Tiffani.
"Ya, aku bisa."
Tiffani mengangguk. "Oke, mari kita bolos kuliah dan melukis seharian besok. Bolehkah aku meminta sesuatu padamu sekarang?" tanya Tiffani. "Tapi ini permintaan sebelum kamu pergi, bukan salah satu dari daftar keinginanku."
Rama mengangguk. "Ya, katakanlah."
"Saat di sana nanti, jangan lupa untuk terus meneleponku, dan simpanlah ini agar kamu selalu ingat padaku." Tiffani melepas kalung yang ia kenakan dan mengayunkan kalung itu di hadapan Rama."
"Kalung? Jangan Tiffani, kalung ini pasti mahal dan kalung ini pasti pemberian ayahmu."
"Ck, kalung ini tidak mahal, dan aku membelinya sendiri karena aku suka, bukan pemberian ayahku. Lihatlah liontinnya berbentuk bulan, cantik sekali. Boleh aku pasang di lehermu?"
"Tapi--"
"Oh, boleh! Mendekatlah kalau begitu." Tiffani menarik tubuh Rama agar mendekat ke arahnya, dan ia langsung memasang kalung tersebut di leher Rama. "Nah, sekarang kamu benar-benar milikku," ujar Tiffani
Rama tertawa. "Kamu sudah terbiasa melakukan sesuatu pada orang lain bahkan sebelum diberi izin, ya?"
Tiffani merona. "Aku terbiasa melakukan semuanya sesukaku."
"Ya, wajar sekali. Karena kamu adalah tuan putri. Tapi ngomong-ngomong, Tiffani, apa kekasihmu yang dokter itu tidak akan marah jika tahu kamu memberikan kalung pada seorang bodyguard? Ini terlalu berlebihan menurutku."
Tiffani meringis. Wajahnya tiba-tiba menjadi cemberut. "Dia bukan kekasihku. Hanya ayah yang sibuk ingin menjodohkanku dengannya Padahal aku sama sekali tidak menyukainya."
Rama mengangguk. Ia akhirnya paham kenapa Tiffani terlihat tidak menyukai Andrew ketika Andrew datang untuk mengobati luka di kakinya.
"Lalu, apa ada pria yang kamu sukai?" tanya Rama, dengan penuh harap. Ia sungguh berharap jika Tiffani mengatakan bahwa Tiffani menyukainya.
Tiffani mengangguk. "Tentu ada."
Dada Rama berdegup kencang sekarang. "Katakan padaku? Aku penasaran."
Tiffani menggeleng. "Rahasia. Aku akan mengatakannya saat kamu kembali dari tugas yang ayahku berikan."
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Ardie willy
manis sekali
2023-05-08
1