Indira menarik paksa tangan Tamara saat melihat tatapan sinis dari para mahasiswa yang tidak menyukainya. Jika saja tidak ada peraturan kampus yang menindak mahasiswa usil dan suka melakukan perundungan, maka Indira pastilah sudah jadi sasaran utama para mahasiswa itu.
"Santai saja, Dira!" seru Tamara yang mulai merasakan sakit dipergelangan tangannya.
Indira melepas pegangannya. "Maaf, Ara. Aku terlalu kuat megangnya."
"It's okay."
Tamara langsung menggandeng tangan Indira, dan berjalan bersama menuju kelas.
"Kenapa kelas ini suka riuh?" tanya Tamara saat melihat kerumuman mahasiswa pada satu meja. Tamara pun melangkahkan kakinya menuju meja tersebut.
"Kau lagi!" seru Tamara saat melihat Daven sedang bertaruh dengan teman pria lainnya. "Hentikan! Ini kampus bukan tempat adu kekuatan!" sergah Tamara dengan penuh emosi.
Tiba-tiba sebuah pengumuman terdengar dari pengeras suara yang ada dalam ruang kelas itu.
"Kepada kedua mahasiswa yang sedang beradu panco di ruang IK.1b di tunggu di ruang Dekan sekarang."
Daven menatap sinis ke arah Tamara. Aku akan membuat nama kampus ini semakin jelek, hingga tak akan ada yang kuliah disini, batin Daven. Lalu dia beranjak dari tempat duduknya yang diikuti oleh lawannnya bermain panco. Mereka berjalan bersama menuju ruang Dekan.
Setelah kepergian Daven dan lawannya bermain panco, sang dosen masuk ke dalam kelas dan memulai kuliah pagi itu.
Mata kuliah terakhir pun selesai. Para mahasiswa menghela nafas lega sembari merapikan buku yang menumpuk di meja masing-masing.
"Apa kau sudah mengerjakan tugas yang diberikan oleh kakakmu?" tanya Indira saat sedang memungut bukunya di atas meja sembari memasukkannya ke dalam tas.
"Belum, nanti aja. Sekalian bisa nanya ke kak Theo", sahut Tamara saat baru saja menggantung tas selempangnya.
Lalu mereka berdua berjalan bersama meninggalkan kelas yang mulai sepi.
"Hai Ara", sapa Dion saat melihat Tamara sedang berjalan bersama Indira. "Kakak mau ngomong sebentar, boleh?"
"Iya, kakak mau ngomong apa?" Tamara membalas dengan tersenyum seraya menghentikan langkahnya. Namun Indira tetap melanjutkan langkahnya, meninggalkan Tamara bersama dengan Dion.
"Dira, tunggu aku di gerbang ya!" teriak Tamara saat melihat Indira mulai menjauh.
Indira tidak menghentikan langkahnya saat berada di gerbang kampus, dia melewatinya meskipun Tamara memintanya menunggu. Dipertengahan jalan menuju tempat kos, ada sekumpulan anak muda yang sedang duduk di tepi trotoar.
"Neng kacamata. Bagi duit dong!" pinta seorang pria berambut punk seraya menjulurkan tangannya.
Indira memeluk erat tas ranselnya dan bersiap untuk lari jika keselamatannya mulai terancam. "Maaf kak, saya bukan orang kaya. Saya cuma punya.segini." Indira menjulurkan tangannya dengan sangat hati-hati saat meletakkan selembar uang lima ribu rupiah di telapak tangan pria itu.
"Cih, apa kau pikir kami pengemis!" ucapnya seraya melempar uang pemberian Indira.
Indira yang sedari tadi sudah mempersiapkan ancang-ancang, langsung berlari kencang meninggalkan kumpulan pria pemalas itu.
"Woi, jangan lari!" teriak pria berambut punk sembari mengejar Indira yang sudah jauh didepannya. Temannya yang lain pun ikut membantu mengejar Indira.
Ciiit.
Decitan ban mobil terdengar saat berhenti mendadak di dekat Indira. "Ayo, masuk", ucap pria itu tanpa basa basi. Indira pun langsung masuk tanpa ragu, karena mengenal si pengendara.
"Terimakasih, pak", ucap Indira saat bokongnya berhasil menempel di bangku penumpang.
"Oke", balas Theo saat melajukan kendaraannya meninggalkan para pria yang berusaha mengejar mobilnya. "Tapi mereka itu siapa? Kenapa mereka mengejarmu?" Theo terus mencecar Indira, karena rasa penasaran.
"Saya juga tidak tahu, pak. Mereka tadi meminta uang, jadi saya berikan. Tapi tiba-tiba mereka marah karena saya cuma menberi mereka lima ribu doang."
Theo pun tersulut emosi mendengar penuturan Indira. Namun coba dia redam, agar tak terlihat oleh Indira. Dia menepikan kendaraannya saat sudah berada di depan gerbang kos-kosan Indira.
"Terimakasih, pak", ucap Indira dengan ramah saat sudah berada di luar mobil.
"Ya, sama-sama", balas Theo. Lalu dia meraih ponsel yang terletak didashboard mobil. Dengan cepat jemarinya menghubungi seorang kenalannya. Saat panggilan telepon terhubung, Theo langsung meminta orang tersebut segera menertibkan para preman dan pengganggu lainnya yang berada di trotoar dekat kampus Arkana University radius 6 kilo meter.
"Baik, pak. Akan segera kami eksekusi", ujar orang tersebut saat akan mengakhiri sambungan telepon.
Theo meletakkan kembali ponselnya, lalu dia melajukan kendaraannya, meninggalkan tempat kos Indira.
Indira baru saja memutus sambungan telepon, saat selesai berbicara dengan sang bibi dan mengetahui keadaan sang bibi baik-baik saja. Indira menghela nafas lega seraya melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Hampir 30 menit lamanya Indira menyelesaikan ritual mandinya.
"Ah, segar...", ucap Indira seraya mengusap rambut basahnya.
Tok. Tok.
"Siapa?" tanya Dira saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya.
"Ini bibi", sahut suara sang bibi dari balik pintu.
Indira melangkahkan kakinya menuju pintu, lalu membukanya.
"Hai, bi", sapa Indira saat pintu terbuka lebar. Namun Indira tersentak kaget saat melihat wajah lebam sang bibi. "Apa yang dilakukan paman, bi?" tanya Indira dengan lirih. "Kita lapor ke polisi saja ya, bi", bujuk Indira pada sang bibi yang tidak pernah mau melaporkan kejahatan suaminya itu.
Sang bibi menggeleng. "Jangan, nak", sahut sang bibi. "Memang perbuatan pamanmu sudah kelewat batas. Tapi itu dilakukan pamanmu hanya supaya bibi menceraikannya. Pamanmu bahkan sudah siap di penjara." Sang bibi mengusap air matanya yang sedari tadi membasahi pipinya.
"Dulu kami sangat bahagia, bahkan orang-orang sangat iri dengan kemesraan kami. Tapi sejak wanita penggoda itu datang." Sang bibi menahan emosinya tatkala mengingat seorang wanita yang berusaha menghancurkan rumah tangganya.
"Dia menghasut pamanmu hingga pamanmu tidak menginginkan bibi lagi. Tapi bibi sangat mencintai pamanmu dan yakin suatu saat pamanmu pasti akan berubah. Tapi jika pamanmu dipenjara, dia akan semakin membenci bibi", ucap sang bibi dengan terisak-isak.
Indira menatap nanar wajah sendu sang bibi. "Menurut Indira mencintai seseorang tidak seperti itu, bi. Lihatlah apa yang sudah paman lakukan pada bibi." Indira mendengus kasar saat mengusap wajah lebam sang bibi. Namun cinta buta sang bibi telah mengalahkan rasa sakit yang dialaminya.
"Terimakasih, nak", ucap sang bibi sambil membalas dengan mengusap wajah Indira. Namun Indira bereaksi dengan menutup hidungnya saat mencium sesuatu yang menyengat.
"Kenapa sapu tangan bibi baunya aneh?" tanya Indira yang mulai merasakan pusing.
Tak berselang lama Indira pingsan. Sang bibi menuntunnya ke atas tempat tidur.
Di dalam kamar Theo, dia sedang membaca sebuah pesan singkat dari nomor yang tidak dia kenal. "Apa", ucapnya dengan terbelalak. Dia pun bergegas keluar dari dalam kamarnya.
"Mau kemana, nak?" tanya sang daddy saat melihat Theo berjalan terburu-buru.
"Ada hal mendesak, dad. Theo pergi dulu, ya", ucapnya meninggalkan sang daddy yang sedang duduk di sofa.
"Ya, hati-hati di jalan."
Theo melambaikan tangannya, lalu berjalan keluar rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
triana 13
jadi kasihan sama bibinya
2023-05-11
0
mom mimu
satu iklan mendarat untukmu kak, semangat terus 💪🏻💪🏻💪🏻
2023-05-04
0
Indah
cuihhhh 😝😝😝
2023-04-09
0