Malam semakin larut, namun sang kakek seakan tidak ada lelahnya menceritakan pertemuannya dengan kedua orang tua Indira.
"Jadi ayah kamu itu suka banget jahilin ibu kamu" Sang kakek kembali mengingat saat kunjungan mereka kedua kali ke desa tempat kelahiran Indira itu.
"Iya, benar kata kakekmu jtu", ujar sang istri menimpali ucapan suaminya saat Indira menatap kearahnya.
"Pa, ma, besok pagi anak-anak ada kelas. Kita sambung besok saja ya ceritanya", ujar Raja dengan lembut tatkala melihat wajah ngantuk semua anggota keluarganya.
Sang kakek langsung melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Ternyata sudah hampir jam 12", ujar sang kakek. "Kalau gitu, beristirahatlah." Sang kakek bangkit dari tempat duduknya yang diikuti anggota keluarga lainnya termasuk Indira. Lalu mereka beranjak ke kamar masing-masing.
"Dira", panggil sang kakek tatkala melihat Indira melangkah berbeda arah dengan mereka.
"Ya, kek", sahut Indira.
"Mulai sekarang kamarmu di atas, sekamar dengan Theo", ucap sang kakek.
Theo mendelik dan mencoba protes dengan menghampiri sang kakek. "Tapi kek..."
"Jangan membantah!" tukas sang kakek.
Indira pun tak dapat membantah. Dia hanya bisa mengikuti keingjnan sang kakek sampai mereka kembali ke tempat tinggal mereka, yakni di London.
Di dalam kamar Theo.
"Kau tidurlah di sofa", ujarnya tanpa menatap Indira. Entah kenapa sikap Theo kembali berubah dingin dalam waktu satu malam.
Indira meraih bantal pemberian Theo tanpa ada banfahan, lalu dia berjalan menuju sofa. Dibaringkannya tubuh mungilnya yang sudah lelah seharian ini. Ditatapnya langit-langit indah kamar Theo. Lalu dia menulis sesuatu di sana memggunakan jarinya sembari tersenyum.
Theo yang belum memejamkan matanya seakan tergelitik melihat tingkah Indira hingga tanpa dia duga lengkungan bibitnya sudah mulai tertarik membentuk senyuman indah.
Setelah menyelesaikan tulisan yang tak kasat mata itu, Indira langsung memejamkan matanya dan akhirnya terbang ke dunia mimpi.
Mentari pagi sudah muncul di ufuk timur. Pagi yang indah ditemani kicauan burung yang hinggap di jendela kamar Theo.
"Sudah pagi", ucap suara parau Theo. Lalu dia merenggangkan kedua tangannya sembari mengumpul nyawanya. Lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi.
Kurang dari 20 menit Theo sudah menyelesaikan ritual mandinya. Dia keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit di pinggang.
Aaaa... Teriak Indira saat dia baru saja masuk ke dalam kamar Theo.
"Emang kau sedang melihat hantu?" Theo berdecak kesal seraya berjalan menuju walk-in closet tanpa rasa malu.
"Mataku ternoda", ucap Indira sembari mengucek matanya.
"Cih, bukannya kau baru saja dapat rezeki nomplok", sahut Theo dari dalam ruang ganti pakaian itu.
"Idih, yang ada aku rugi." Indira seakan tak sudi untuk melihat roti sobek milik Theo.
"Sudahlah jangan berpura-pura lagi!" Theo berjalan menghampiri Indira semakin dekat hingga jarak mereka hanya beberapa centi saja.
Indira tertegun, lidahnya pun seakan tercekal hingga yang terdengar hanya dengusan nafas keduanya.
Indira membuang pandangannya. "A- aku mau ke kampus", ucapnya dengan gugup. "Permisi." Indira langsung beranjak dari posisinya berdiri dan keluar dari dalam kamar Theo.
Tawa Theo pun pecah setelah Indira keluar, sebelumnya dia berusaha menahan tawanya saat melihat ekspresi lucu Indira.
Huft... Indira bernafas lega sesaat setelah berada di luar kamar Theo. Lalu dia melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga.
"Pagi, kek", sapa Indira saat melihat sang kakek duduk di sofa seorang diri.
"Pagi Dira." Sang kakek membalas sapaan Indira dengan tersenyum. "Theo mana?" tanya sang kakek saat tidak melihat keberadaan Theo.
"Masih di kamar, kek. Sedang berpakaian", sahut Indira seraya duduk di samping sang kakek.
"Apa penampilanmu seperti ini setiap hari ke kampus?" tanya sang kakek.
Indira menganggukkan kepalanya. "Iya, kek. Emangnya ada yang salah.ya?" Indira langsung memperhatikan pakaiannya.
Sang kakek pun tersenyum saat melihat tingkah lucu Indira yang persis ayahnya. "Tunggu sebentar, ya", pinta sang kakek sembari celingak celinguk.
"Ara", panggil sang kakek saat melihatnya baru saja menuruni anak tangga.
Tamara pun menghampiri sang kakek. "Iya, ada apa kek?"
"Bantu kakak iparmu, ubah penampilannya."
Tamara menatap ke arah Indira dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya dia ingin membantu Indira, tapi dia masih sedikit ragu karena belum berbaikan dengannya.
"Kenapa bengong?"
Indira juga membalas tatapan Tamara, dia mengerti akan kebisuan Tamara. "Gak perlu, kek. Dira sudah biasa seperti ini", ujarnya mengalihkan perhatian sang kakek.
"Jangan Dira! Kau adalah cucu menantu kakek. Jadi kakek tidak akan membiarkanmu berpenampilan seperti ini", tukas sang kakek.
"Ayo, ke kamarku!" Akhirnya Tamara memutuskan untuk membantu Indira.
"Pergilah", plnta sang kakek saat melihat Indira belum juga beranjak.
Indira terpaksa mengikuti kemauan sang kakek. Dia bangkit berdiri dan mengikuti langkah Tamara menuju kamarnya.
"Nah, ini baru cucu menantu kakek", ujarnya saat melihat Indira dan Tamara menuruni anak tangga, yang dapat di dengar oleh Theo dari dalam ruang makan.
"Ara dan Dira pamit langsung ke kampus ya, kek."
"Iya, hati-hati di jalan."
"Ya, kek", sahut mereka bersamaan. Namun mereka belum menunjukkan keakraban seperti sebelumnya.
Theo datang dari arah ruang makan sembari mengedarkan pandangannya.
"Emm, kamu telat datangnya", ucap sang kakek dengan tersenyum.
"Theo gak ngerti maksud ucapan kakek." Theo yang mulai salah tingkah, langsung membalikkan badannya dan kembali ke ruang makan dengan tersipu malu.
Sebuah notifikasi masuk. Sang kakek mengalihkan perhatiannya pada ponsel yang terletak di atas meja. Kemudian diraihnya. Dia pun tersenyum saat membaca pesan email dari orang suruhannya itu.
Di kampus Arkana University
Tamara dan Indira sedang jalan bersama menyusuri lorong kampus. Namun tidak ada yang mau memulai obrolan di antara mereka, hingga mereka tiba di dalam kelas.
Mereka duduk di deretan bangku yang berbeda. Namun Tamara langsung menoleh ke belakang, saat Indira baru saja akan menempelkan bokongnya di kursi.
"Apa kita akan seperti ini terus?" Pertanyaan itu lolos dari mulut Tamara yang sedari tadi dia pendam.
Indira menatap nanar ke arah Tamara. "Apa kau juga menginginkan kita seperti ini?" Indira balik bertanya.
Tamara memegang tangan Indira. "Kau sahabat pertamaku di kampus ini. Mana mungkin aku menginginkan kita seperti ini terus."
Indira pun tersenyum. "Aku juga sama."
Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi sahabat kembali.
"Ayo, duduklah di sini", pinta Tamara. Indira pun menurutinya dan beranjak dari tempat duduknya.
Sebuah pengumuman terdengar dari pengeras suara di ruangan mereka.
"Kepada mahasiswa bernama Daven Harianto dari jurusan Ilmu Komunikasi semester pertama, ditunggu di ruang Dekan sekarang. Terimakasih."
Indira dan Tamara mengedarkan pandangannya menyusuri ruang kelas, namun mereka tidak menemukan sosok Daven di sana.
"Daven kemana?" ucap Indira bergumam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
sip 👍
2023-06-09
0
triana 13
ternoda dong matanya
2023-05-17
0
F.T Zira
aww... Finally💕
2023-05-13
0