Indira berjalan meninggalkan kantin kampus yang mulai menyepi karena lebih dari setengah mahasiswa sudah meninggalkan kantin. Saat ini Indira sedang meĺewati lorong kampus, masih saja ada mahasiswa yang menatapnya dengan sinis.
Tiba-tiba seseorang menarik tangan Indira. "Ayo, ikut denganku", ajak seorang mahasiswi cantik yang juga mahasiswi baru sama seperti Indira. Hal itu terlihat jelas dari kemeja putih yang sedang dikenakannya dan rambut kepangnya.
Indira seakan patuh, saat ditarik mahasiswi yang belum dikenalnya itu. "Kau pasti mahasiswa baru disini!" Tebak Indira sambil menatap dari samping wajah cantiknya dengan sedikit mendongak, karena tubuh wanita itu lebih tinggi darinya. "Aku Indira. Siapa namamu?" Tanya Indira saat mahasiswi itu tidak membalas ucapannya.
"Aku Tamara. Tapi kau bisa memanggilku Ara", sahutnya sambil tersenyum pada Indira. "Ayo, masuk", pintanya saat mereka sudah berada di toilet kampus.
Indira mengernyitkan keningnya. "Kenapa kita ke toilet?" Tanyanya sedikit bingung.
"Ini pakailah!" Tamara menyodorkan sepotong kemeja putih pada Indira.
Indira masih saja menatap Tamara dengan raut wajah bingung.
"Kau bisa mengganti baju lusuhmu itu dengan ini", ucap Tamara menjelaskan seakan paham akan arti tatapan Indira.
"Terimakasih. Kau sangat perhatian", ucap Indira dengan rasa haru sambil meraih kemeja putih di tangan Tamara. Ini pertama sekali ada orang yang peduli padanya sampai rela memberikan pakaiannya.
"Gak perlu sungkan", sahut Tamara saat menyandang tas selempangnya. "Aku tak suka seseorang dibully hanya karena penampilannya."
Indira menatap wajah cantik Tamara saat sedang berbicara. "Selain cantik, kau juga sangat baik. Beruntung banget orang yang jadi sahabatmu", ujarnya berdecak kagum sambil memasukkan biji baju satu persatu.
"Kau terlalu memuji. Buktinya tak ada yang mau berteman denganku", sahut Tamara lirih.
"Gak mungkin ada yang menolak berteman denganmu. Barangkali kau yang tidak mau menerima mereka sebagai teman." Indira merapikan pakaian yang sedikit kepanjangan itu.
"Apa kau mau menjadi sahabatku?" Tanya Tamara dengan menawarkan diri.
Indira terkesiap saat mendengar penuturan Tamara. "Kita belum saling kenal. Bagaimana bisa jadi sahabat", ujarnya dengan meraih tas ransel yang dia letakkan di dekat wastafel.
"Kalau begitu mari kita berkenalan." Tamara langsung menjulurkan tangannya kehadapan Indira, dengan ragu Indira menyambutnya.
"Tamara, usia 19 tahun, fakultas FISIPOL jurusan Ilmu komunikasi." Tamara langsung tersenyum saat baru saja selesai memperkenalkan diri.
Indira pun membalas dengan mengulam senyum. "Indira, 18 tahun, dan kita berada di jurusan yang sama."
Tamara berlonjak kegirangan. "Yeay, ternyata kita memang berjodoh", ujarnya bahagia. Namun Tamara tiba-tiba sadar akan satu hal. "Tapi kenapa usiamu lebih muda 1 tahun dariku?" Tanya Tamara sambil menautkan kedua alisnya.
"Aku tidak menjalani kelas 2 saat duduk di bangku smp, karena aku loncat kelas", ujar Indira, murid terpintar disekolahnya itu. Dia pun mendapat beasiswa di kampus Arkana University karena kepintarannya.
"Wah, ternyata kau murid pintar", ujar Tamara berdecak kagum. Dia yang selalu berada di peringkat tengah saja sudah sangat bersyukur. "Jadi sekarang kita sahabat", ucapnya sambil memberikan jari kelingkingnya.
Indira langsung menautkan jari kelingkingnya dengan Tamara. "Sahabat", sambut Indira. Indira yang sebelumnya merasa hari ini dia penuh dengan kesialan, akhirnya mengubah cara berpikirnya. Dia bersyukur karena bisa bertemu dengan sahabat yang sempurna menurutnya.
"Ayo, kita kembali kelapangan. Akan ada mahasiswa baru terbaik dan terpopuler versi pihak kampus yang akan diumumkan", ujar Tamara sambil menggenggam tangan Indira.
"Hah, terbaik dan terpopuler!" Indira mengernyitkan keningnya, seakan tak percaya dengan ucapan Tamara. "Bagaimana mungkin, kita saja baru masuk hari ini."
Tamara menatap wajah bingung Indira dengan tersenyum. "Itulah uniknya kampus ini. Dia punya data dari sekolah mereka sebelumnya", ujarnya menjelaskan.
Indira manggut-manggut. "Wah, keren. Kampus yang peduli akan mahasiswanya."
Tamara masih saja tersenyum, menambah keindahan wajah cantiknya.
"Hai, cantik", sapa seorang pria yang datang dari arah depan mereka.
Indira terkesiap saat melihat pria yang sedang tersenyum pada Tamara. Apa dia mengingatku, batin Indira.
"Kenapa kau bisa jalan bareng si kucel ini?" Tanya pria yang tak lain adalah kakak kelas pemimpin ospek.
"Don't judge someone from the outside!" Sergah Tamara.
"Aku bukan menilai penampilannya, tapi mengatakan kebenarannya."
"Itu juga tidak baik. Kakak tidak perlu mengatakannya, jika itu akan menyakiti hati orang lain!" seru Tamara dengan menatap tajam Dion.
Dion tidak ingin gadis dihadapannya ini jadi membencinya. "Maaf, kakak salah. Jangan ditatap seperti itu dong", ucapnya dengan memelas.
Tamara menoleh ke arah wanita yang sedari tadi berdiri dengan diam di sisi kiri Dion menatap tak suka padanya. Karin, teman satu angkatan Dion itu merasa Tamara akan menjadi saingan terberatnya untuk mendapatkan hati Dion.
"Iya, Ara maafin", ujarnya demgan mengulam senyum. Terbakar, hangus deh sekalian, batin Tamara saat melihat ekspresi Karin.
"Permisi kak. Ini mau disimpan dimana?" Pria berkacamata yang sempat berdiri bersama Indira datang membawa peralatan ospek dengan kewalahan.
Semua mata menatap ke arah pria itu. "Sini, biar aku bantu", ucap Indira menawarkan diri. Dia merasa iba, karena diperlakukan seperti pesuruh oleh kakak kelasnya itu.
"Aku juga ikut!" Tamara ingin menunjukkan sikap sebagai seorang sahabat.
"Cih, jangan pura-pura baik. Lihat saja penampilan mewahmu itu. Aku yakin kau bahkan tidak mampu untuk membawa toa", ledek Karin. Dia merasa Tamara hanya ingin mencari perhatian Dion.
Dion menatap tajam ke arah Karin. "Siapa kau yang berani menilai Tamara sembarangan!" ucap Dion berdecak kesal, yang membuat Karin terkesiap. Lalu Dion meraih beberapa peralatan ospek dari tangan pria berkacamata. "Sini biar aku saja yang membantunya. Kalian pergilah ke gelanggang mahasiswa", ujar Dion sambil meraih beberapa peralatan dari pria berkacamata. "Namamu siapa?" tanya Dion, karena papan identitas milik pria itu tidak lagi tergantung dilehernya.
"Saka, kak", sahut pria berkacamata itu.
"O, Saka", ucap Dion mengulang nama Saka. Lalu mereka berjalan bersama menuju tempat penyimpanan peralatan yang sedang mereka bawa.
"Saka jurusan apa?" tanya Dion sambil berjalan menjauhi tiga wanita yang masih berdiri di posisi mereka masing-masing.
Tamara pun mengajak Indira pergi ke gelanggang mahasiswa dan meninggalkan Karin seorang diri. Meskipun Karin adalah kakak kelas mereka, namun sikap dan perkataannya tidak menunjukkan dirinya adalah seorang senior.
Indira menghentikan langkahnya saat Tamara menarik paksa tangannya. "Tunggu dulu!" seru Indira.
"Apa lagi?" tanya Tamara.
"Ayo, kak. Kita bareng, tujuan kita kan sama", ajak Indira pada Karin yang masih mematung diposisinya. Wajah masam Karin menunjukkan kekesalannya pada Dion yang telah meninggalkan dirinya seorang diri.
"Cih, jangan sok perhatian. Urus saja dirimu sendiri!" ejek Karin sambil bersedekap. Lalu berjalan melewati Tamara dan Indira.
Tamara pun menahan tawanya. "Sudah jangan diladeni. Kau terlalu baik mengajaknya", ujar Tamara sambil menepuk pelan pundak Indira. "Masih diliatin juga!" Tamara menarik kembali tangan Indira yang masih melongo saat menatap punggung Karin yang mulai menjauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 103 Episodes
Comments
FT. Zira
salut.. berani melawan
2023-05-01
0
triana 13
kirim kopi ya biar makin semangat nulis nya kak
2023-04-28
0
Indah
I like this one...heh😏
2023-04-02
1