Mobil melaju melewati jembatan, dua orang di dalamnya tidak saling berkomunikasi entah apa yang terjadi. Kemungkinan kecanggungan, naas sekali Wilona telah melihat langsung kejadian pada malam itu, inilah alasan kenapa dirinya tidak bisa memulai pembicaraan dengan Andreas dalam perjalanan pulang. Meski seperti ini, Wilona juga tetap kurang nyaman—pikirkan saja, mereka sudah cukup mengenal jika sekarang berpura-pura seolah mereka adalah dua orang asing yang tiba-tiba muncul rasanya memang bukan sebuah kebetulan.
Sedikit Wilona melirik di kursi belakang lewat pantulan rear-view mirror melihat jelas jika Andreas sedang duduk dengan gelisah, seolah ada sesuatu yang membuatnya demikian. Wilona mencari siasat agar anak itu setidaknya jujur akan kejadian malam itu, setidaknya kenapa Andreas mau melakukannya—bahkan mereka berdua adalah dua pria. Yang satu masih sekolah SMA dan yang satu sudah dewasa, layak menikah.
"Ku perhatikan kau sejak tadi gelisah, kira-kira apa ada yang kau pikirkan?" Wilona berusaha sedikit mengurangi sedikit kecanggungan ini.
Andreas yang pendiam tidak langsung menjawab, terlihat satu tangan kanannya menutupi sesuatu di leher sebelah kiri. Dan sekarang terhitung sudah satu menit, Andreas belum juga menjawab pertanyaan yang bahkan sangat sederhana dituturkan oleh Wilona. Orang yang sedang menyetir itu lantas membuang napas kasar, matanya bahkan sedikit menajam melihat ke arah jalanan yang sepi. Uap dari mulutnya terlihat begitu kentara, itu adalah cara Wilona mengatasi emosinya.
"Tidak perlu ditutupi, Andreas," pungkas Wilona, berani berucap lagi.
Andreas mengangkat wajahnya, melihat Wilona yang sesekali melirik padanya, tangan kanannya yang menutupi leher bagian kiri kini sudah jatuh, "Aku melihat bagaimana seorang ****** laki-laki bercinta dengan petugas negara!" sarkas Wilona, nada bicaranya begitu lantang bahkan kata-katanya begitu kasar.
"Harusnya kau sadar Andreas, tak disangka kakakmu yang ****** ternyata memberikan keturunan padamu, heh! Harusnya setelah kakakmu itu tewas, aku jadi penggantinya. Memiliki Franz adalah impian ku, itu benar! Dan kau dengan mudah merebutnya dariku." Wilona selama ini telah menyukai Franz secara diam-diam.
Andreas menekukkan wajahnya, bibirnya bergetar hendak berkata, telinganya memanas ketika mendengar pengakuan Wilona, "Sadar akan apa? Merasa cemburu disaat Tn. Franz sendiri lebih memilih memperhatikan diriku dibandingkan dengan mu? Bahkan selama ini, kau yang banyak mencoba untuk bisa memilikinya tapi sayang sekali Franz menaruh perasaan pada anak SMA di belakang mu, maaf." Andreas yang dikenal sopan berubah menjadi manusia bejat.
Wilona memukul setir, mobil tepat berhenti di persimpangan jalan menuju desa kediaman Andreas. "Yah! Memang, ****** laki-laki seperti mu harusnya dihukum oleh negara, bersyukur aku punya perasaan padamu tidak melaporkan hal ini pada Tn. Rasmus dasar biadab!" jawab Wilona, bahkan ada umpatan untuk Andreas yang sudah membuka pintu.
Andreas melangkah cepat menuju pintu mobil depan, ia mendekatkan wajahnya agar bisa bersintatap dengan Wilona yang terbakar oleh rasa kecemburuan, "Asal kau tahu N
yonya Wilona, aku tidak takut jika desa menghukum ku. Tapi, yang ku takutkan kau belum sempat merasakan tubuh Tn. Franz, terima saja jika orang yang kau sukai ternyata menyukai laki-laki!"
Wilona menatap tajam ke arah Andreas yang berjalan meninggalkan dirinya, giginya terdengar gemeletuk saat saling bertemu. Wilona mengambil senjata api dari kantong mobil, ia mengancungkan pada Andreas yang masih berjalan kaki tanpa menoleh ke belakang. Aura panas tubuhnya bisa ia rasakan sendiri, Wilona menekan pelatuknya dan peluru berhasil mengenai burung yang bertengger di pohon kering, Andreas menoleh—sekarang wajah pucatnya amat kentara. Burung tanpa bersalah jatuh terjerembab berlumur darah di rerumputan yang masih bersalju, Wilona meletakkan dengan kasar senjata api itu di kantong mobil.
Dari kejauhan, dua orang itu saling beradu pandang. Wilona menutup kaca mobil kemudian bergegas menghidupkan mesin dan menginjak pedal gas. Hatinya benar-benar sakit kali ini, ucapan manusia lebih menusuk dari pada senjata tajam yang tertancap di kulit. Wilona memijat pangkal hidungnya, ia mendengus beberapa kali meski kini ia telah sadar, dirinyalah yang keterlaluan terhadap Andreas. Jika saja tidak mengumpat kasar pada anak itu, mungkin perpisahan mereka sedikit baik—tapi ada sisinya baiknya bagi Wilona, setidaknya ia sudah jujur bahwa ia menyukai Franz selama ini meski begitu menyakitkan ketika mengetahui orang yang ia suka menyukai Andreas.
Dalam perjalanan pulang, Wilona benar-benar tidak bisa tenang. Ia menepikan mobilnya, singgah sebentar, tubuhnya keluar dari mobil. Ia berdiri menatap hutan yang lebat berkabut, sedikit demi sedikit pipinya mulai basah—Wilona menyadari akan hal itu, ia bergegas menyapunya. Wilona berusaha menenangkan dirinya dengan cara melihat hutan yang bahkan tidak ada hal menarik di sana. Sekitar lima belas menit hanya untuk menenangkan diri, Wilona kembali masuk ia harus secepatnya ke kantor kepolisian—masih ada rapat tentang dua suspek yang amat dicurigai. Lebih baik memfokuskan diri dibidang pekerjaan, Wilona yakin suatu saat ada seseorang yang benar-benar datang padanya—atas rasa mereka yang saling suka.
...🗞️🗞️🗞️...
Spekulasi dan spekulasi lagi, jika bukan Lorenz Schlittenbauer yang membunuh keluarga Gruber lantas siapa lagi? Ada kurang lebih seratus orang yang mulai dicurigai sejak awal, dimulai gelandangan, pedagang, pengrajin keliling dan bahkan masyarakat di dalam desa itu sendiri. Kasus ini memang sangat berat, tidak ada yang bisa memutuskan langsung bahwa Lorenz Schlittenbauer memang bersalah—karena apa? Karena bukti memang benar-benar belum kuat. Meski banyak juga dari pihak Polisi lain dan juga pihak masyarakat jika Lorenz Schlittenbauer berkemungkinan pembunuh atas Hinterkaifeck.
Hari ini, jasad enam korban telah dikembalikan. Pemakaman dilakukan, korban dikuburkan di seberang rumah mereka. Naasnya, enam mayat itu terpaksa diliburkan tanpa kepala sebab kepala mereka tidak ditemukan—Franz mencium salibnya kemudian menggenggam mulai berdoa agar keenam jasad yang baru saja memasuki kehidupan baru diterima oleh Tuhan. Bulir air mata Franz mengalir di pipinya, hidungnya yang mancung mulai memerah karena ingus, tidak tahu bagaimana caranya menyembunyikan rasa sakit di bongkahan perasaan—satu-satunya jalan hanyalah menangisi kepergian mereka.
Kopi di pagi itu, ketika kasus awal kematian keluarga Arsya Nur't, mungkin itu kopi terakhir yang ia teguk hasil jerih payah adiknya sebelum mencuci seragam sekolahnya. Dan dihari pemakaman Avies, mungkin itu juga terakhir kalinya ia melihat adiknya secara langsung, tangan kanannya yang dipegang oleh Frissca yang saat itu ia tepis begitu saja—sial, Franz menyesal melakukan itu. Ketika dirinya memarahi Aaric dan Frissca, itu juga bahkan untuk terakhir kalinya, Cazilia yang mencium keningnya saat ia benar-benar merasa jengkel—Cazilia yang memasak untuknya dan Aaric yang datang mengirimkan rantang susun berisi makanan untuknya.
Keluarga yang ia anggap sangat buruk selama ini menjadi tempat pengaduan dirinya, meski Aaric dan Frissca yang kriminal ia tetap mencintai keluarganya. Benar apa yang dikatakan Andreas, bahwasannya; rumah adalah segalanya, rumah yang memberimu rasa sakit, rumah juga yang memberimu kebahagiaan. Rumah tempat mu bertemu dengan orang-orang yang kau sayangi yang kau miliki, rumah adalah satu-satunya tempat ternyaman melebihi kursi istana Sang Raja Mesir.
"Ini memang menyakitkan tapi, cukup sudah untuk menangisi orang yang tidak lagi bisa memeluk mu, Tn. Franz." Rasmus datang tanpa permisi, sembari mengelus bahu Franz.
Jaksa Pop ikut mendatangi, ia terlihat berdoa setelah selesai ia melihat ke arah Franz yang masih menitikkan air mata, "Tn. Franz, ketahuilah air mata tidak akan menjadi penenang bagi mereka yang ditinggalkan, semua yang bernyawa pasti akan kembali pada pemiliknya, bahkan kalimat basi dari para petinggi agama masih terus terekam di otakku. Ya, kami tunggu sampai kau benar-benar tenang, rapat akan segera kita mulai saat kau bersedia." Jaksa Pop menepuk pundak Franz, hingga sedetik kemudian Rasmus, pop dan beberapa Polisi lain masuk ke dalam mobil.
Huh... Mereka tidak mengerti bagaimana rasanya ditinggalkan, manusia sangat mudah berucap tanpa merasakan. Franz melepas topi bundar miliknya, ia menutupi sedikit wajahnya—itu cara Franz bersalaman kepada keluarganya, Franz menghirup ingus kembali memasang topi miliknya lalu berbalik melangkah cepat menuju mobilnya. Benar, tidak perlu banyak bersedih, tugasnya adalah mencari pelaku atas kematian keluarganya—hanya itu satu-satunya cara agar ia merasa tenang, pelaku ditangkap dan dijatuhi hukuman yang setimpal.
Sekarang baru pukul 10.09, mobil-mobil mereka lantas beriringan meninggalkan pemakaman. Bukan hanya itu, Franz akan menetap sementara di kantor Polisi sebagai tempat tinggalnya, lagi pula rumahnya memang belum diberikan izin untuk kembali dihuni katanya selama pelaku belum ditemukan dan orang-orang yang dicurigai belum memberikan keterangan maka rumah di Hinterkaifeck tetap dikosongkan. Tidak terasa, iring-iringan mobil berwenang terparkir rapi ditempat parkir kantor kepolisian, mereka dengan sabar masuk ke dalam—Franz masuk ke dalam ruang kerja pribadi, ia melepaskan mantel hitam berbahan tebal sejurus rasanya ia memang merasakan ketidak nyamanan. Semua orang yang ia sayangi berangsur-angsur pergi, tidak satu pun dari mereka telah menetap.
Lihat saja sekarang! Ia kehilangan semua keluarganya, kehilangan Fernia dan sekarang ditinggalkan oleh anak laki-laki tujuh belas tahun itu. Seolah dirinya memang manusia yang buruk, bahkan seseorang yang ia percayai yang ia anggap kehadirannya adalah tempatnya untuk bersandar, lalu mengadu dan mengeluh—manusia itu juga memilih untuk pergi, meninggalkan dan dengan ringan hati membiarkan dirinya dilenyapkan oleh rasa bosan, kesepian, dan kesendirian. Franz menggelengkan kepalanya dengan cepat, ia kembali membuka pintu setelah berhasil mengganti pakaian menghadiri rapat yang akan segera dimulai.
Mata Franz melihat ke arah seseorang yang membawa teko di atas nampan, "Sejak kapan kau datang?" tanya Franz ketika Wilona sudah duduk di kursi yang kebetulan bersebelahan dengannya.
Wilona melihat sekilas ke arah Franz, "Dua menit yang lalu." jawabannya dengan nada bicara yang tak biasanya didengar oleh telinga Franz.
Kerut jidat Franz terlihat menggaris, "Hei, ada apa dengan mu? Biasanya tid..."
"Sudahlah Franz! Untuk sekarang jangan terlalu dekat dengan ku, kau sudah mempermainkan perasaanku. Jika kau tanya apa alasannya maka berpikirlah lebih dewasa. Asal kau tahu, di dunia ini—wanita masih banyak yang menanti akan pasangan yang mapan dan berkualitas, tapi, seperti serigala bodoh yang mengejar sendiri ekornya. Aku tertipu oleh perlakuan mu, binatang jenis apa yang membuatmu tertarik dengan anak SMA itu!" Wilona menekan suku kata terakhirnya, ia menatap tajam ke arah Franz.
Franz terdiam, ia yakin Wilona tahu jika Andreas adalah kekasihnya. Beruntungnya Wilona masih menstabilkan suaranya saat mengatakan itu pada dirinya, seolah masih menjaga mulut demi menutupi aib besar Franz. Wilona tergesa-gesa berdiri ia berpindah tempat duduk, menjauhi Franz yang diam-diam tertunduk penuh rasa heran. Dari mana Wilona tahu akan hal itu? Apakah Andreas yang mengatakannya? Ah tidak mungkin.
Franz sempat melamun, namun itu secepatnya beralih saat suara Rasmus menelisik indera pendengarannya, maka artinya rapat akan segera dimulai. Semua peserta rapat mulai serius untuk mengikuti rapat menjelang siang ini, Rasmus menatap semua peserta sebelum memulai pembicaraan.
"Baiklah rekan-rekan, suspek kedua, Karl Gabriel. Apa pendapat kalian tentang orang itu? Kita sudah membahas setengah dari kisahnya, apa kalian punya asumsi atau spekulasi bagaimana Karl Gabriel bisa membunuh keluarga Gruber?" Rasmus tidak biasanya seperti itu, ah, rasanya semua orang sudah ingin menyerah untuk mencari siapa pelaku pembunuhan ini—jika boleh berkata jujur, kasus ini amat rumit.
Jaksa Pop mengangkat tangannya, maka artinya dia punya spekulasi atau asumsi yang mungkin diterima oleh peserta rapat lainnya, "Begini Tn. Rasmus, tadi malam aku sudah mengulik sedikit berita lama dari beberapa catatan. Karl Gabriel, ditahun 1914 dirumorkan meninggal dunia pada perang bulan Desember di Arras, Prancis. Berita meninggalnya Karl Gabriel mungkin menjadi duka yang dalam untuk Victoria Gabriel pada saat itu," semua orang mendengar penuturannya.
Seperti seseorang yang mempresentasikan hasil temuan atau sebuah diskusi, Jaksa Pop berdiri, dengan kepercayaan diri yang kuat Jaksa Pop kembali mengeluarkan suara, "Berita duka itu membuat luka pada seorang istri yang menunggu kedatangan suaminya, kemungkinan setelah tidak ada kepulangan dari suaminya sekitar tiga bulan maka Victoria Gabriel telah menanggapi jika suaminya benar-benar tewas. Tapi, siapa tahu jika benar Karl Gabriel belum tewas?" pertanyaan itu, seperti seorang guru sejarah yang memberikan ilmu pada anak didiknya.
Franz mendengus, ia tiba-tiba punya asumsi yang bagus. Mungkin saja, "Bagaimana jika dia belum tewas? Tepat sekali, setelah kabar dari kematian empat bulan Karl Gabriel hal memalukan terjadi pada keluargaku. Kalian pasti tahu, kasus inses sudah masuk dalam catatan pengadilan—coba berpikir sedikit kritis kali ini. Semisal Karl Gabriel memang belum tewas pada perang itu maka sudah jelas Karl Gabriel mendengar berita jika istrinya atau Victoria Gabriel hamil bersama dengan suaminya yakni Aaric Gruber." semua mata menatapnya.
Jaksa Pop mengangguk, "Itu yang ku maksud Tn. Franz, kau cukup tanggap. Ya, ketika berita simpang siur tentangnya tewas dalam perang, dan istrinya telah kembali hamil tanpa sentuhan suaminya. Mudahnya begini, coba bayangkan jika Karl Gabriel yang selamat dari tembakan peluru musuh, bertahan hidup dalam persembunyiannya lalu melakukan perjalanan setelah pasukan musuh tidak lagi berada di kawasan Medan perang. Dan, bayangkan dia berhasil menemukan jalan menuju Hinterkaifeck." Jaksa Pop menelan air ludah, peserta rapat memikirkan sebentar pernyataan dari Jaksa Pop ini.
"Em, setelah sampai di Hinterkaifeck dalam jangka sepuluh atau dua belas bulan, Karl Gabriel yang merindukan kasih sayang istrinya harus terluka karena menemukan jika istrinya sudah melahirkan anak, yang bukan dari perlakuan dirinya," Wilona mencoba berinteraksi, dengan menyimpulkan sebuah gagasan yang mungkin akan masuk akal.
"Mungkin saja selama berbulan-bulan ini Karl Gabriel mengintai keluarga Gruber, mencari waktu yang tepat untuk membunuh istrinya, karena yang mungkin dalam pikiran Karl Gabriel jika Victoria telah berselingkuh. Bagaimana jika ternyata orang asing yang ditemui masyarakat adalah Karl Gabriel? Ini kronologi yang memungkinkan rekan-rekan," Wilona menelan ludah, Jaksa Pop bahkan kembali duduk di kursinya. Untuk mendengarkan kronologi yang disusun Wilona.
"Begini, mungkin saja Karl Gabriel sudah jelas mendengar tentang inses istri dan mertuanya, sehingga dengan sangat marah Karl Gabriel membunuh semua anggota keluarga Gruber kecuali Tn. Franz yang bertugas dan tinggal di tempat ini. Tapi jika dilihat-lihat jasad Frissca, ada sesuatu yang tak lazim seperti kematiannya bukan kesengajaan tapi kecelakaan—jasad yang diterangkan Dokter Johann Baptist Aumuller, jika Frissca menggenggam gumpalan rambutnya sangat memungkinkan jika Frissca sebenarnya hanya terkena imbasan cangkul itu, kenapa ku bilang begitu? Karena anak itu seolah-olah kesakitan. Tapi, aku belum bisa memikirkan kenapa Karl Gabriel akhirnya membunuh Frissca, tapi mungkin karena anak itu sudah tewas karena luka imbasan di kepala, Frissca mungkin meninggal karena rasa syok melihat kakak, dan kedua orangtuanya tewas—Karl memenggal kepala setiap keluarga untuk menyembunyikan pembunuhan ini," Wilona mengakhiri kata, ia menuang air teh hangat itu ke dalam gelas meminumnya dengan tergesa-gesa.
Wilona meletakkan gelas itu, kembali berbicara, "Setelah menutupi empat jasad di gudang Karl Gabriel membawa cangkul masuk ke dalam rumah, karena ia tahu dimana kamar Victoria Gabriel—Karl bergegas datang ke tempat itu, dengan satu tujuan yakni membunuh bayi dua tahun itu, sebab itulah bukti satu-satunya jika istrinya berselingkuh atau tidak setia padanya. Namun, tidak keberuntungan menghampiri pembantu baru mereka yakni Baumgartner yang dibunuh sebagai korban sampingan atau Collateral Damage."
Rasmus memijat pangkal hidungnya, "Aku yakin jika Karl Gabriel berniat untuk melakukan penguburan pada jasad-jasad itu tapi, karena tidak bisa Karl Gabriel memilih untuk menutupi jasad tanpa kepala itu dengan jerami. Dalam keterangan, roti yang habis, pisau daging dan papan didekat oven serta cerobong yang masih mengeluarkan asap. Besar kemungkinannya jika Karl Gabriel memang tinggal di rumah selama tiga hari, memberikan makan ternak. Lagi pula Karl Gabriel juga sudah hapal seluk beluk rumah itu. Tapi, sialnya orang itu berhasil meninggalkan Hinterkaifeck entah di malam hari atau pagi ditanggal 4 April itu."
Semua peserta rapat terdiam, mereka tidak bisa berpikir leluasa. Banyak sekali pukulan keras dalam kasus ini, tidak ada kejelasan dari TKP dan bahkan jika ingin melakukan penangkapan pada Karl Gabriel yang sudah bulat diasumsikan sebagai pembunuh kemana mereka mencari Karl Gabriel? Lihat saja wajah lelah orang-orang berwenang itu, semua mata melorot karena pikiran—lingkaran hitam menguasai di sekitar mata mereka, dan sudah jelas itu bukti jika mereka insomnia selama menangani kasus ini.
"Kita tidak punya pilihan rekan-rekan, bahkan jika dugaan kita besar kepada Lorenz Schlittenbauer yang melakukan pembunuhan ini, sayang sekali kita tidak menjumpai bukti penguat untuk melakukan penangkapan dan pembuktian sidang. Karl Gabriel, bahkan dua tahun ini banyak orang yang tidak lagi melihat batang hidungnya, seolah kabar tentang dirinya memang sudah lama mati." Rasmus berkata lagi, seperti orang yang putus asa, kasus ini memang berat.
"Karl Gabriel dan Lorenz Schlittenbauer, dua-duanya bahkan menjadi pemaksaan dalam pikiran kita. Bagaimana dengan tokoh serial killer yang bergerak di Amerika serikat?" Jaksa Pop lagi dan lagi membuat pernyataan, huh mereka semua sudah benar-benar pening dengan ini lantas kenapa Jaksa pintar ini masih punya asumsi dengan satu orang suspek lagi.
"Ya? Maksudmu adalah Paul Muller? Imigran dari Jerman. Kau yakin dia bisa jadi salah satu pembunuhan terhadap keluarga ku?" tanya Franz penuh keyakinan pada Jaksa Pop. Rasmus dan Wilona kali ini hanyalah mampu mendengar, ah mungkin saja dua orang itu harus meminum ramuan untuk mengurangi rasa pusing mereka.
"Paul Muller, dia pembunuh berantai di Amerika serikat, dia juga membunuh targetnya dengan senjata yang sama seperti yang digunakan untuk membunuh keluarga mu, yakni cangkul. Mungkin sajakan dia kebetulan melewati Hinterkaifeck lalu mempunyai nafsu untuk membunuh keluarga mu dengan memata-matai beberapa bulan, dia sering menghilangkan nyawa orang lain dengan tujuan yang tidak jelas, ya, lebih tepatnya tidak ada niatan untuk merampok—setelah keluarga itu benar-benar tewas maka Paul Muller pergi begitu saja." keterangan itu membuat perdebatan dalam pikiran Franz untuk sekarang.
"Yah, mungkin bisa saja begitu. Karena ada bekas tapak kaki dan suara langkah kaki setiap malam di loteng, bisa saja Paul Muller itu yang masuk ke dalam rumahku. Tapi, apa mungkin jika seorang pembunuh sepertinya masih peduli pada hewan ternak? Rasanya tidak mungkin Jaksa Pop, kepada manusia saja dia tidak punya hati nurani apalagi pada hewan ternak itu." apa yang dikatakan Franz juga sangat memungkinkan jika tidak mungkin rasanya Paul Muller sebagai pembunuh atas keluarga Gruber ini.
"Sudahlah rekan-rekan, kita sudahi rapat ini. Kita semua butuh istirahat sebelum berpikir, lebih baik untuk kasus ini." Rasmus seperti orang yang sudah menyerah, semua peserta rapat meninggalkan tempat itu.
Rasmus masuk ke dalam ruang pribadinya, Wilona dan Jaksa Pop memilih pergi meninggalkan kantor, sepertinya mereka berdua langsung pulang saja. Sekarang hanya tersisa Franz yang duduk sambil memegang kepalanya yang ibaratnya hendak meledak begitu saja. Rasa putus asa sudah sejak kemarin malam menghantui, mungkin janjinya pada diri sendiri tentang ia akan secepatnya mencari pelaku pembunuhan ini sudah menjadi sumpah yang dilanggarnya.
Franz duduk berjongkok, ia memilih untuk mendekatkan dirinya dengan perapian memasukkan kayu yang hampir habis. Musim dingin masih panjang, tapi malam puncak yang dulu ia tunggu untuk melihat Frissca bernyanyi bersama temannya telah hilang sudah—ia masih ingat, Frissca berbangga diri mengatakan jika dirinya berhasil terpilih menjadi bagian dari anggota paduan suara, bahkan Cazilia juga bilang padanya jika Frissca adik kecilnya itu akan menyiapkan kursi paling depan untuk keluarganya. Ah! Jika mengenang itu, sama saja rasanya Franz membuka lukanya sendiri.
Sambil menikmati biskuit kering, Franz merebahkan dirinya di depan perapian. Kerut di jidatnya sangat kentara jika ia memang stres selama manangani kasus ini, lihat wajahnya yang dulu tak berkerut sekarang sudah terlihat jika sebentar lagi Franz memang akan tua dengan rasa penasarannya. Terhadap siapa yang membunuh keluarganya ini. Selama ini, mereka menyelidiki seolah pekerjaan itu ternilai amat sia-sia, Lorenz Schlittenbauer meski orang itu satu-satunya yang paling mencurigakan di mata mereka tapi apa artinya jika menangkap seseorang tanpa bukti penguat. Sudahlah, acungkan bendera putih dan katakan jika kita semua telah menyerah.
––––––––
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments