Franz mengaduk kopi hitam, matanya menerawang ke arah pekarangan rumah. Di sana ada adiknya yang sedang menjemur pakaian, mungkin seragam sekolahnya—Franz mengangkat gelasnya ia menghirup isinya sedikit, lagi dan lagi ia terpikirkan kasus yang baru saja datang kemarin, ah setidaknya ia hari ini bisa sedikit menginterogasi Fernia kendati rasanya mungkin akan campur aduk.
Franz membenarkan posisi duduknya, ia mencari sedikit posisi yang nyaman untuk menyandarkan tubuhnya. Franz mengambil biskuit kering yang utuh terletak di atas piring kecil, Franz hanya menggigitnya sedikit. Matanya kemudian beralih lagi pada adik perempuannya yang tengah berjalan menuju pintu belakang, Franz mengalihkan pandangannya ketika adiknya yakni Frissca sudah datang dan meletakkan keranjang pakaian.
"Kau belum berangkat, apa tidak akan terlambat?" Frissca melemparkan pernyataan kepada Franz.
"Sebentar lagi." jawab Franz sekenanya, padahal sudah waktunya datang ke TKP dan mengadakan wawancara kedua pada Fernia.
"Ya, bagaimana dengan perkembangan kasus kemarin?" itu sebuah pertanyaan yang sering dituturkan Frissca jika Franz menangani sebuah kasus, sebelum kasus kematian keluarga Arsya.
"Hari ini ada wawancara dengan Fernia, dan entah kenapa aku merasa sulit melakukannya." Franz hanya terbuka jika saudara perempuannya.
Frissca tidak langsung menjawab, melainkan duduk di sebelah kanan Franz, menuang teh hangat dan meminumnya. "Apa karena Nona Fernia adalah kekasihmu? Jangan seperti itu, jika memang dia patut dicurigai kenapa harus sulit bagimu?" Frissca melemparkan dua pertanyaan yang mungkin akan membenarkan dari apa yang dirasakan Franz.
"Kenapa kau begitu? Bukankah harusnya kau mencari sebuah perkataan lain yang tidak terlalu menonjolkan jika memang ada sedikit rasa curiga ku padanya. Kau selalu mengatakannya secara terbuka, Frissca, aku kurang suka dengan sifat mu ini." entah apa yang membuat Franz tiba-tiba meninggikan suaranya, padahal apa yang dikatakan Frissca bisa saja benar.
Frissca menghela napasnya, ia meminum kembali teh miliknya yang tersisa separu. "Bukankah aku selalu seperti ini?" Frissca malah bertanya kembali dan pertanyaan itu direspons dengan anggukan kepala oleh Franz.
Franz berdiri dari kursinya, tidak lupa memasang topi bundar miliknya yang selalu ia bawa setiap bertugas. Frissca melirik Franz yang pastinya akan berangkat untuk kerja, Frissca sedikit menahan Franz dengan menanyakan perihal sapu tangannya yang bermotif kotak-kotak, ia lupa meletakkan benda itu karena biasanya Franz lebih sering menyimpan barang Frissca ketika Frissca lupa untuk menyimpannya.
Franz menggeleng, pasalnya ia memang tidak tahu menahu soal benda itu, lagi pula sejak kemarin ia tidak di rumah, jadi mana mungkin ia akan tahu. Frissca hanya mengangguk pasrah, sepertinya ia akan membeli yang baru dengan motif yang sama—padahal ia sangat menghargai dan menyayangi barang itu, sapu tangan motif kotak-kotak adalah pemberian mendiang Tante Valencia ketika si kembar tidak menyukai motif itu.
...***...
"Kau membohongi kami, Fernia? Kau berbohong soal kepergian mu kembali ke tempat asal mu untuk memberikan uang iuran bulanan adik mu?" Rasmus menyorotkan padangan matanya yang terlihat mengkilat di bawah sorot cahaya lampu ruang interview investigasi.
Fernia tidak mengangkat kepalanya, seolah tidak ada yang perlu dikejutkan ketika Rasmus menyimpulkan asumsinya. "Bagaimana kau yakin? Apa kau sudah menghubungi keluarga ku dalam kurun waktu semalam?" postur tubuh Fernia tidak berubah apa-apa, nada bicaranya juga tetap sama seperti kemarin.
Rasmus mendengus, ia mengaitkan kedua tangannya dan menyimpannya di bawah paha. "Kami sudah menghubungi keluarga mu dan telepon kami tidak direspons baik, lalu kami datang ke desa mu dan bertanya kepada penduduk desa alamat rumahmu. Tapi, keluarga mu tidak berada di rumah. Apakah kau meneleponnya dan menyuruhnya pergi dari rumah untuk menyembunyikan alibi mu?" kini Fernia berani mengangkat kepalanya, matanya ikut menembus ke dalam pupil Rasmus.
"Bagaimana kalau ku jawab iya? Semisal ku jawab tidak maka sudah bisa ditebak kau juga tidak akan percaya, bukan begitu Tn. Rasmus?" nada bicara Fernia masih sama, mungkin itu ciri khasnya.
Rasmus sedikit melirik kedua tangan yang bertaut milik Fernia di bawah sana, rupanya tangan gemetar seperti kemarin juga. Tapi kenapa ekspresinya selalu terlihat begitu tenang, Rasmus menghempaskan napasnya dengan kasar ia terlihat menyandarkan tubuhnya di kursi. "Kalau kau menjawab 'iya' maka aku punya pertanyaan yang lebih menarik, begini saja Nona Fernia. Jika kau berkata jujur maka kasus ini akan segera selesai, dan dirimu akan terlepas dari seretan rasa curiga kami."
Fernia kembali menunduk kemudian ia mengambil segelas air yang tadi diberikan oleh Rasmus saat awal kali ia masuk ke dalam ruangan ini, Fernia meneguk air itu—dan ia kembali mengangkat kepalanya. "Aku hanya meminta Ibu ku pergi ke rumah sakit menemani Ayahku yang sakit, jadi apa aku salah jika aku menyuruhnya pergi? Bahkan tentang telepon itu, aku tidak tahu jika kalian menghubungi Ibu ku."
"Ayahmu sakit? Apa yang dideritanya?" sepintas pertanyaan Rasmus seperti jebakan yang tiba-tiba mengenai tikus tanpa sepengetahuannya.
"Lupus, Dokternya memvonisnya begitu." jawab Fernia ala kadarnya, Rasmus kemudian mengangguk-anggukan kepalanya.
"Ya, aku memahami itu. Jadi, apa kau akan berkata iya jika ku berikan satu pertanyaan menarik ini?" Rasmus mengembalikan topik pembicaraan yang sudah liar dalam isian kepalanya.
Fernia mengangguk ragu. "Tergantung apa pertanyaan itu." jawabnya.
"Apa yang terjadi pada keluarga Arsya sebelum insiden kemarin?" tanya Rasmus penuh selidik untuk mendapatkan sedikit informasi yang mungkin akan amat penting.
Fernia bungkam, ia menyelipkan anak rambutnya pada belakang telinga. "Dua hari sebelum insiden kemarin, Tn. Arsya kedatangan tamu, aku tidak tahu siapa tamu itu. Aku tidak mengantarkan kudapan untuk mereka melainkan Nyonya Valencia sendiri, sehingga aku tidak tahu siapa yang bertamu," jawab Fernia, dan Rasmus mulai menggerakkan penanya.
Fernia menelan salivanya, "Samar-samar percakapan mereka kudengar, suara Tn. Arsya sedikit meninggi ketika tamunya meminta sesuatu yang mungkin memberatkan diri Tn. Arsya sendiri." Fernia mengakhiri ucapannya.
"Apa kau mendengar, atau kau tahu permintaan apa yang dikemukakan tamunya saat itu?" pertanyaan Rasmus seolah memperdalamnya dan menekan sedikit mental Fernia.
"Aku tidak tahu pasti, tapi mungkin saja Tn. Arsya dan tamunya beradu mulut karena masalah pinjaman uang dari pihak tamunya itu." Rasmus hanya mengangguk memahami tapi tidak luput tangannya menulis semua perkataan Fernia.
Rasmus mengakhiri wawancara itu, ia membiarkan Fernia sementara beristirahat di ruang investigasi itu. Rasmus meraih ponsel kantor yang berdering, ia menempelkannya pada telinga. Mendengarkan orang yang telah menghubunginya—Rasmus mengangkat sebelah alisnya, ia kemudian bergegas keluar dari kantor menuju parkiran dimana ia bisa menemukan mobilnya. Rasmus menghidupkan mesin dan menjalankan mobilnya menuju tempat kejadian, Franz baru saja mengabarinya jika ada bukti baru yang ditemukan di pintu belakang rumah keluarga Arsya.
Franz berusaha mengenali milik siapa gerangan sepatu bot kebun yang tertinggal di pintu belakang. Sepatu bot kebun itu berwarna hitam, jika dilihat lebih detail bagian bawah sepatu itu kotor, seperti tanah khas kebun yang menempel pada bawah sepatu. Franz berusaha mengingat kembali malam sebelum jasad keluarga Arsya ditemukan, kemungkinan malam itu gerimis, jika diasumsikan pelaku menghabisi korban di saat hujan turun.
Franz mengetatkan sarung lateks, ia mencari nomor ukuran sepatu bot kebun itu, meski sedikit sulit karena tertutup oleh tanah yang sudah kering. Franz mencoba memastikan, tanah itu benar dari kebun atau justru dari peternakan—Franz mengambil sedikit tanah kering itu ia kemudian mencium tanahnya, Franz diam sebentar sebelum ia bisa menyimpulkan sendiri hasil dari bau itu.
Franz meletakkan kembali tanah yang ia pegang, kemudian matanya menangkap Rasmus yang sedang datang menghampiri dirinya, Franz langsung menyapa kemudian menunjukkan sepatu bot kebun itu. Rasmus memperhatikan benda itu, beberapa kali ia melihat dengan rinci dari bagian luar hingga membolak-balikkan benda itu untuk mencari ukuran sepatu.
"Sepertinya pelaku datang dari kebun, apa Paman mu ini punya rekan kerjanya dibidang perkebunan?" Rasmus melemparkan pertanyaan setelah berhasil menentukan bau tanahnya.
"Ya, dia punya beberapa orang yang mengurus perkebunan itu. Ah ya, bagaimana dengan Fernia? Kau sudah mendapatkan jawaban yang bisa membantu kita?" Franz menoleh sedikit ke arah lawan bicaranya yang sedang membungkuk.
"Fernia, dia kekasihmu? Dia tidak banyak membantu, dia bilang dua hari sebelum insiden, Tn. Arsya kedatangan tamu, sayang sekali dia tidak tahu tamu itu. Sebenarnya aku sedikit menaruh curiga terhadap kekasihmu." tangkas Rasmus, tubuhnya yang semula menunduk kini sudah berpindah melangkah dengan posisi tangannya di belakang punggung.
Franz mengiringi langkah Rasmus dari belakang, ia terlihat membenarkan topi bundar miliknya. "Apakah sekarang harus aku yang mencoba berbicara dengannya? Omong-omong dari segi mana kau mencurigainya?" dua tembakan pertanyaan, Rasmus berhenti melangkah, ia mengayun-ayunkan kedua tangannya.
"Dari cara berbicaranya dan gerak-gerik Fernia, dia selalu menunduk dengan kedua tangannya gemetar di atas paha. Kurasa akan lebih mudah jika kau coba berbicara dengannya, karena kaliankan saling mengenal jadi tidak mungkin gadis itu harus menundukkan kepalanya padamu." masuk akal juga yang dikatakan oleh Rasmus.
Franz mengangguk mengiyakan. "Akan kucoba malam ini, aku harus pergi membawa senjata api dan sepatu bot itu ke pihak forensik, mereka pasti akan menganalisis." ucap Franz, yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Rasmus.
...***...
Franz singgah sebentar ke rumahnya, ia memarkir mobilnya di pekarangan rumah kemudian bergegas masuk untuk mengambil bukti barang yang sudah ia dapatkan saat pertama kali jasad itu ditemukan. Franz menyipitkan matanya saat ia melihat pintu kamarnya telah terbuka—Franz bergegas mendatangi hal itu, franz mengerutkan keningnya saat melihat siapa yang berada di dalam kamarnya.
"Oh Dad, apa yang kau cari?" tanya Franz tiba-tiba saat dirinya sudah berhasil berdiri di ambang pintu kamarnya sendiri.
Orang yang selaku dipanggil langsung menghentikan aktivitasnya, berbalik kaku dengan ekspresi wajah yang panik bercampur kebingungan. "Adik mu kehilangan sapu tangannya, aku mencoba membantunya, biasanya kau yang sering menyimpan barang milik Frissca." ucap Aaric Gruber selaku Ayah dari Franz.
"Aku juga tahu itu Dad, baiklah aku akan mencoba mencarikan miliknya nanti. Aku harus istirahat sebentar." jawab Franz, sembari masuk ke dalam kamarnya dan membiarkan Aaric berjalan keluar kamarnya.
"Maaf, aku tidak izin padamu terlebih dahulu soal masuk ke dalam kamarmu, rupanya Dad mu ini lupa akan privasi anaknya." ada sela tawa yang garing datang dari Aaric saat hendak menutup pintu kamar Franz, dan Franz sendiri hanya mengangguk sembari tersenyum miring.
Franz melepaskan kancing tangan kemejanya, kemudian mengambil sebotol air mineral di kulkas kecil di dalam kamarnya, ia meminumnya sebentar. Kemudian matanya tak sengaja tertuju pada laci meja kerjanya, ia langsung menghampiri dan mengecek barang bukti yang kemarin ia temukan, alis kirinya mulai tertarik—isi laci mejanya berantakan Franz menyipitkan matanya ia menggeledah bagian bawah dimana benda bukti itu ia tutupi dengan kertas berkas perkara.
Franz menghempaskan napasnya dengan kasar, senjata api itu masih ada dalam posisi yang sama. Ia hanya takut jika Aaric selaku Dad-nya mengambil dan menyimpan benda itu. Ironisnya Dad-nya memang suka mengoleksi, ya, biasanya digunakan untuk berburu atau hiasan dinding di kamarnya—Franz melangkah mengarah lemari pakaian lalu mengambil kaos hitam lengan panjang, ia bahkan tidak luput untuk menyemprotkan parfum pada area leher dan dadanya yang atletis.
Setelah selesai berpakaian, Franz langsung memasang topi bundar kesayangannya, ia bahkan mengambil ransel baru untuk dibawa bekerja. Rutenya kali ini pergi ke kantor forensik kemudian ikut mewawancarai Fernia, Franz memasukkan senjata api terbungkus plastik itu ke dalam tas tidak lupa dengan pulpen dan juga catatan saku. Franz mengambil kunci mobil, ia mengunci kamarnya dan bergegas menaiki mobil dan menghidupkan mesin.
Di perjalanan, Franz memutar lagu lawas milik Lilian Russell—seorang penyanyi dari Amerika serikat, ia memang sangat menyukai setiap alunan melodi. Bahkan Franz sering sekali mendengarkan lagu opera dengan suaranya yang sama sekali tidak ada bagusnya. Tapi Fernia bilang, bila memang menyanyi adalah kesenangannya, maka tidak buruk bagi diri Franz sendiri—entahlah, bagaimana pendapat orang lain saat mendengar suaranya. Franz tidak mempermasalahkan itu, ia hanya merasa senang dan waras saja saat mendengar musik.
Franz mematikan lagu itu, ia keluar mobil sembari membawa barang bukti itu sekaligus dengan sepatu bot kebun yang baru saja ditemukan. Franz memelankan langkah kakinya saat memasuki lift untuk mendatangi tempat kerja Wilona—Franz menekan tombol lantai, dan lift mulai bergerak naik dari lantai dasar. Franz merapikan sedikit rambutnya yang berantakan, lift berhenti sesuai lantai yang dituju Franz.
Ia mulai mengetuk pintu sebelum masuk, "Boleh aku masuk?" tanya Franz dari luar. Orang yang berada di dalam langsung mengiyakan.
"Kau sudah membawa bukti yang kau maksud untuk dianalisis?" tanya Wilona sembari berbalik kendati masih duduk di kursi putarnya.
"Tentu saja." respons Franz singkat, menyerahkan dua benda yang terbungkus plastik.
Wilona memasang sarung tangan lateks, kemudian ia menating dua benda itu perlahan-lahan. "Kami butuh waktu untuk pengerjaan analisis seperti ini, mungkin sekitar satu minggu hasil akan keluar." ucap Wilona memberitahu Franz soal waktu pengerjaan mereka dalam menganalisis dua benda yang dianggap sebagai bukti kematian satu keluarga.
Franz berbalik badan hendak permisi dari ruang kerja Wilona. "Ya aku tahu soal itu, lebih baik cepat bawa ke laboratorium dan segera mengerjakannya. Kabari jika sudah selesai." Wilona hanya mengangguk dan tersenyum sementara Franz sudah menyentuh ganggang pintu untuk segera enyah dari tempat ini.
Franz baru saja masuk ke dalam mobil, sekarang baru saja sekitar pukul 18.12 dan sekitar pukul delapan malam nanti ia akan mengadakan wawancara dengan Fernia. Sosok Franz melepaskan topi bundar dan menghidupkan mesin, lampu mobilnya menyorot dinding parkiran yang catnya sudah terkikis—ia mulai menjalankan mobilnya meninggalkan bangunan tua.
––––––––––––––––
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Evelyne
awalan yang cukup bagus... cuma terasa ada yang kurang...mungkin sedikit di penekanan di setiap gambaran tentang para tokoh... kurang dalam aja... coba gali sedikit lagi...biar berasa rasa nya thor... tapi cukup ok.. gw mau lanjut.. semoga makin menarik..
2023-05-25
1