Di persimpangan antara perkebunan dan jalan menuju jembatan untuk menuju kantor kepolisian. Aaric dan Xaviers terhalang salju yang licin menutupi jembatan, mereka berdua berdiri mencoba menyingkirkan salju yang sedikit menggunung di jembatan. Xaviers mempendarkan cahaya lampu ke arah tapak kaki segar di atas salju, awalnya ia memeriksa kaki dirinya dan Aaric—untuk membedakan ukurannya, Xaviers yakin itu bukan tapak kaki mereka. Argumennya semakin menguat bahwa ada orang yang baru saja melewati tempat ini.
"Tn. Aaric, ada tapak kaki berasal dari hutan." ucap Xaviers memberitahu, Xaviers mengarahkan lampu senternya ke arah tapak kaki itu.
Aaric memperhatikan, kemudian melangkah mengikuti tapak kaki itu. Cukup jauh mereka berdua masuk, tapak kakinya ada empat itu artinya ada dua orang yang baru saja keluar dari hutan. Xaviers melipat jidatnya lagi, mereka saling bertukar pandang—ada beberapa bercak darah basah di atas salju, sedikit darah itu tertutup salju yang turun. Mereka berdua semakin mempercepat langkah hingga berhasil berada di pertengahan hutan—bus terletak rapi di bawah pohon mahoni yang tertutup salju.
Mereka berdua mendekat hati-hati, atas bus sudah tertutup salju. Menyusahkan mata untuk mengenali bus itu, Xaviers lebih dulu masuk ke dalam bus—ada pecahan botol anggur di sana, "Oh Tuhan!" Aaric berseru saat melihat jasad pak supir tergeletak mati.
Celananya yang terulur sepaha masih dalam posisi sama, alat kelaminnya bahkan masih menegang. ****** ***** wanita juga di dapat bergelantungan di pegangan kursi paling belakang—Aaric berspekulasi jika pak supir tewas itu sudah berhasil memperkosa seorang anak, entah siapa yang telah dilecehkan. Xaviers dan Aaric keluar dari bus mereka menggeleng, sekarang sudah pukul 00.11 udara masih tetap dingin.
...🗞️🗞️🗞️...
Frissca dan Avies kembali ke sekolah, sesuai perjanjian Frissca banyak memberitahu sesuatu pada Avies. Dalam posisi yang tak berdaya, Avies menulis untaian kata di atas kertas—sementara Frissca masih menjadi villain sembari mengancungkan pisau daging itu di ujung mata Avies. Baju yang dikenakan Avies basah oleh keringat, sementara kelaminnya mengalami pendarahan bahkan terasa begitu perih.
Frissca tersenyum puas saat Avies menyelesaikan tulisan itu sesuai apa yang dikatakan Frissca. Masih dalam mengancam, Frissca menyuruh Avies jangan pergi kemana-mana, sementara ia mencari sepeda di dekat kantor sekolah. Jika Avies berani pergi maka Frissca akan benar-benar membunuh Avies—yang diancam tidak bisa berkutik, anak itu terduduk di atas salju, ia berdesis beberapa kali menahan rasa perih di area vitalnya karena pendarahan.
Frissca menyimpan pisau daging itu ke dalam tas, turun dari sepeda, "Sekarang bawa aku pulang!" perintah Frissca sambil menyerahkan sepeda berkarat itu.
Avies mencoba berdiri, mengapit vitalnya yang perih. "Tolong Frissca, biar kau saja. Kelaminku sakit sekali." Avies mengeluh.
Frissca mendelik, "Kau melawan? Cepat ambil alih!" bentak Frissca, gadis itu tidak berperasaan dan kejam.
Avies tidak lagi berani menjawab, dengan susah payah Avies menaiki sepeda, membawa Frissca yang duduk di kursi belakang. Avies tidak bisa mengeluh saat berhadapan dengan Frissca, namun beberapa kali perjalanan menuju pulang terhambat karena setiap Avies mengayuh maka rasa sakit yang luar biasa datang dari organ vitalnya, entah robek atau bagaimana.
Hampir dekat dengan rumah warga, sepeda yang dikendalikan oleh Avies jatuh. Rasa sakit itu menghasilkan nyeri di ari-arinya—Frissca masih bisa berdecih, kali ini ia mengambil posisi sebagai pengendara dan Avies sebagai penumpang. Cukup cepat Frissca mengayuh sepedanya, sekarang ia sudah berhasil melewati rumah paman Xaviers—sedikit lagi melewati halte dan lima menit selanjutnya melewati rumah Paman Hans dan Lorenz.
"MOM!" Frissca berteriak sambil menaiki anak tangga, mengetuk pintu rumah.
Cazillia, Victoria dan Maria, mereka bertiga serempak menghampiri teriakan panik dari Frissca. Cazillia mendapati putrinya berdiri dengan wajah pucat, keringat dingin membasahi pelipis. Victoria membawakan minum agar Frissca sedikit tenang. Frissca tidak bisa berucap, ia terlihat gagap dan gemetar meminum air itu—Frissca menarik tangan Cazilia kemudian menunjuk ke arah sepeda yang di sana ada Avies tak sadarkan diri lagi.
"Oh Tuhan! Apa yang terjadi padanya!" seru Maria mendekat, keributan mereka mengundang tetangga yang merasa terganggu.
"Di... dia diperkosa pak supir Mom!" Frissca terisak, jatuh terjerembab, kakinya gemetar menggambarkan ketakutan dan kepanikan.
"Bawa dia ke perawat, aku akan mengabari orang tuanya!" Victoria tidak kalah panik, Maria dan Cazillia mengendong Avies yang sudah tak sadarkan diri. Darah tetes di atas salju yang segar—sementara Victoria berlari ke arah kanan, tidak merasa takut untuk mendatangi tempat tinggal Avies.
Hans dan Lorenz, dua tetangga keluarga Gruber (satu tanah di kediaman keluarga Hans, Lorenz tinggal di rumah berukuran sedang—artinya Lorenz dan Hans bertetangga) berhati baik meminjamkan mobil untuk membawa Avies menemui seorang perawat—yang memang cukup jauh dari desa.
...🗞️🗞️🗞️...
Kamis, 1922
Pagi ini, desa berduka atas kematian Avies yang tidak bisa terselamatkan. Diperkirakan meninggal sekitar pukul tiga dini hari, menurut catatan perawat setempat—Avies tewas karena ada robekan besar di bagian area vitalnya, selaput dara yang robek tidak bisa menahan pendarahan yang keluar pada saat dinding rahim terluka. Pendarahan itu mengeluarkan begitu banyak eritrosit ¹ malangnya, diduga pula Avies mengindap penyakit Hemofilia ².
Rasmus datang bersama rekan kerja, termasuk Franz. Meraka ikut upacara pemakaman Avies. Gadis malang itu meninggal dengan tragis, kedua oorangtua Avies duduk berlinang air mata—rasa berat menganggu perasaan keduanya, putri kesayangan mereka telah pergi selamanya karena ulah supir bejat itu. Frissca datang sambil melap air mata, ia menyentuh bahu ibu dari Avies. Frissca memberikan pelukan hangat, mencoba menenangkan.
"Avies, sudah tenang nyonya." itulah ucap orang munafik seperti Frissca, pelukan mereka melerai.
"Aku berterima kasih karena kau sudah membantu Avies, kalian berdua pasti sangat takut. Orang biadab itu harus ditempatkan di tempat yang terburuk." cetus Ibu Avies, menekan kata akhirnya. Sambil menderai air mata Frissca kembali memeluk Ibu Avies.
Franz mendatangi Frissca usai pemakaman sekitar dua puluh menit, ada sedikit wawancara yang akan dilakukan. Franz menyentuh sedikit lengan Frissca, kemudian berbisik untuk mengajak adiknya menjauh dari keramaian—mereka masuk ke dalam rumah, rupanya sudah ada Rasmus di ruang tengah. Franz mengeluarkan lipatan kertas dari saku mantel tebal miliknya, Frissca duduk tenang di seberang Franz.
"Sekarang aku harus mendengar pengakuan mu sebagai saksi, siapa yang membunuh pak supir itu?" buntut dari kata pembuka adalah pertanyaan inti, sepertinya Franz tidak lagi pandai membuka permulaan berbasa-basi.
Frissca menggerutu dalam hati, kemudian membuka suara, "Avies, dia yang menghabisi. Aku terbangun dan sudah menemukan pak supir tewas serta Avies yang memasang roknya," Frissca mengambil napas sekaligus menelan ludah.
Frissca menggigit ujung jari telunjuk, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku benar-benar syok, aku dan Avies berlari kami kembali ke sekolah. Aku mengambil sepada di samping kantor, membawa Avies yang terus mengerang kesakitan." Franz mengangguk memahami penjelasan adik perempuannya yang bahkan belum runtut.
Franz meminta Rasmus mengambil barang bukti dari dalam tas yang berada di pangkuan Rasmus, "Ini sisirmu 'kan? Jika sisir ini melukai bagian perut supir itu, maka artinya kau ikut menyerang." pungkas Franz, Rasmus hanya diam—Franz bisa diandalkan kendati Frissca adalah keluarganya sendiri.
Frissca terdiam, sepertinya sedang mencari alasan yang lebih lugas, "Baiklah, ku akui, aku sempat keluar dari bus karena ketakutan—aku kembali masuk karena kasihan pada Avies. Aku mengambil botol anggur lalu memecahkan botol itu, niat ku tetap tertuju agar supir itu berhenti menyakiti Avies. Tapi sialnya," Frissca mengambil napas dan kembali menelan ludah.
"Botol anggur yang runcing terjatuh, pak supir itu menyadari jika aku ada di belakangnya. Aku mencoba melindungi diriku sendiri dengan mengambil sisir ku, aku tidak menyadari jika aku telah melukai perutnya karena tanganku menusukkan duri sisir itu. Pak supir itu melotot, dia sempat melihat luka di perutnya, aku mendorong pak supir agar menjauh dariku hingga pada akhirnya," ucapannya terpotong. Frissca menatap bola mata Franz.
"Hingga akhirnya Avies mengambil botol anggur yang runcing itu, dan dengan sembarangan botol itu menancap di wajahnya. Kami berdua sempat bertengkar karena tidak tahu harus kami apakan jasad itu, sebelum akhirnya aku dan Avies kembali ke sekolah." Frissca tertunduk lesu, setelah mengucapkan segalanya.
Franz ikut tertunduk, demi melindungi hal yang berharga Frissca nekat menusuk perut pelaku dengan sisir itu, "Saat jasadnya dibersihkan tadi malam. Pihak kami menemukan lipatan kertas ini, kami mencocokkan tulisan ini dengan tulisan di buku Avies. Hal ini ada kecocokan, tapi jenis kertas dengan buku catatan milik Avies berbeda. Kau kenal jenis kertas milik siapa ini?" Franz menyorot tajam ke arah Frissca, kertas itu sudah terpampang di atas meja kayu.
"Kertas ini milik ku, aku tidak tahu jika ia meminta kertas ku untuk menulis wasiat." jawab Frissca, sembari melirik tulisan yang tergesa-gesa.
"Betulkah? Kapan Avies meminta kertas mu?" kali ini bukan Franz yang memberikan pertanyaan, akan tetapi Rasmus.
"Kemarin sore, Avies bilang ia meminta kertas dan meminjam pena untuk menulis lirik lagu yang kami nyanyikan saat puncak malam natal nanti." jawab Frissca, dengan percaya diri.
"Terima kasih atas kesaksian mu Frissca, kami akan mengirimkan semua bukti dan catatan ini kepada pihak pengadilan." pungkas Rasmus, sembari berdiri diikuti oleh Franz. Kedua orang itu masih punya tugas untuk mencari jasad Violin seperti yang telah dituliskan Avies di surat wasiatnya.
Frissca menatap Franz, berdiri dan bergegas menghampiri Franz yang berdiri di undakan tangga. "kau pergi lagi? Kenapa tidak sehari saja di sini? Aku akan tampil paduan suara, apa kau akan melewatkan itu juga?" pertanyaan beruntun keluar dari mulut Frissca, mimik wajahnya begitu serius.
Franz melepas genggaman tangan adiknya, "Masih banyak yang harus dikerjakan." itu jawaban yang dingin, Frissca diam mematung melihat Franz masuk ke dalam mobil. Hari ini, ia melihat Franz begitu kasar—Frissca mungkin bisa saja menebak, jika Franz masih mengingat insiden saat ia menggeledah kamar itu.
...🗞️🗞️🗞️...
Andreas tertegun, ia mengikuti langkah Wilona yang memimpin perjalanannya, Wilona tidak banyak bicara tidak juga memberikan banyak informasi kenapa ia harus ikut lagi ke desa ini. Wilona mengandeng lengan kanannya, anak tujuh belas tahun itu tertunduk malu—terlihat ditarik dengan paksa oleh Wilona yang melangkah begitu cepat memasuki kantor kepolisian. Wilona menyuruh Andreas duduk di kursi ruang tengah, sementara Wilona terlihat membuka beberapa map plastik yang dibawanya dalam tas.
Andreas diserang oleh kegelisahan, jantungnya berpacu lebih cepat. Tangannya sedikit gemetar, tubuhnya yang terasa lebih dingin meski sekarang memang musim dingin. Wilona datang mendekatinya, membawa map plastik itu lalu duduk dan membuka map plastik, memperlihatkan isinya. Andreas kikuk, ia menyembunyikan ketegangan dirinya dengan memasang mimik wajah yang biasa-biasa saja.
"Andreas, aku yakin kau masih tahu tentang kakak mu. Coba lihat ini, dalam foto ini!" Wilona memperlihatkan foto kusam, terlihat Fernia memeluk Aaric dan tangan kanan Fernia mengandeng lengan seorang remaja dengan wajah yang hanya setengah terlihat.
Andreas menatap foto itu, putaran ingatan membuncah memori internal otaknya, "Fee bertemu dengan Aaric, pertemuan ketiga." jawab Andreas, matanya masih menatap tajam foto itu.
"Aku sudah tahu tentang itu dalam catatan buku pribadinya, yang ku pertanyaan adalah. Siapa anak yang digandeng Fernia? Jika dilihat lebih dekat dan teliti, anak itu mirip denganmu." pungkas Wilona, tidak lagi ingin memperlambat waktu, anehnya kematian Fernia sudah diketahui alasannya tapi kenapa Wilona masih bergerak seolah kasus Fernia belum juga usai.
"Aku." jawab Andreas, pelan namun terdengar suara yang menekan kata di telinga Wilona.
Wilona mengembuskan napas kasar, "Aku sudah curiga itu, jadi kau tentu tahu tempat mereka bertemu 'kan? Dengar Andreas, kita bekerjasama untuk memecahkan kasus kematian keluarga Arsya Nur't, Tn. Franz mempercayaimu itulah kenapa aku memanggil mu kembali," akhirnya Wilona memberikan sedikit kejelasan pada Andreas, anak itu hanya diam memperlihatkan wajah pucatnya.
"Aku sudah mencoba mencari sidik jari di senjata api yang ditemukan di TKP, tapi sialnya pelaku memakai sarung tangan kain sehingga membuat sidik jarinya tidak tertinggal. Andreas, apa kau tahu sesuatu tentang kedekatan Fernia dengan Tn. Arsya?" pertanyaan yang menggebu-gebu dalam rasa keingintahuan Wilona keluar dengan mulus melewati rongga mulutnya.
Andreas diam, ia melihat lawan bicaranya. Membuka suaranya dengan suara yang pelan. "Jawabannya ada di tangan Tn. Franz."
Wilona mengacak rambutnya, "Oh astaga! Tn. Franz mengadakan pencarian jasad, tolong kau beritahu saja padaku." pinta Wilona.
"Jika saja aku tahu mungkin aku akan memberitahu mu, Nyonya Wilona." jujurnya, jelas Andreas tidak pernah nama tempat itu, sebab Fernia tidak hanya bertemu dalam satu tempat yang sama pada setiap bulannya. Dan Andreas hanya sekali ikut dalam pertemuan itu, yakni pertemuan ketiga.
"Kalau begitu ikut aku." pungkas Wilona, merapikan berkasnya memasukan kembali ke dalam map plastik, Andreas berdiri dari tempat duduknya.
Wilona kembali menarik tangan Andreas, Wilona membukakan pintu mobil mempersilahkan anak remaja itu duduk di kursi belakang. Mobil itu melakukan perjalanan, Andreas terus diam sementara Wilona tengah fokus menginjak pedal gas lebih dalam agar mereka bisa secepatnya datang ke sekolah itu, kendati jalanan yang licin Wilona masih bisa mengendalikan keseimbangan laju mobilnya. Sekarang sudah pukul 14.52.
Di seolah, jasad Violin yang mengeras karena tertutup salju diangkat perlahan menggunakan alat. Jasad Violin gagal membusuk karena masih segar oleh timbunan salju, jasad yang keras berhasil dievakuasi dan dimasukkan ke dalam kantong jenazah sebelum di adakan otopsi di TKP. Kedua orang tua Violin menangis keras, bahkan sang ibu telah kehilangan kesadaran sementara.
Franz masih berfokus membaca wasiat Avies, tertulis di sana bahwa Violin membuat Avies kesal dengan mengotori jatah makan siang dan mendorongnya hingga terjatuh dari dalam bus. Avies membunuh Violin sore setelah latihan vokal, Avies juga mengakui bahwa ia membunuh Viona dengan menggunakan pisau yang ia dapatkan dari dapur kantin, Avies juga menuliskan jika ia juga menusuk telapak tangan Violin dengan gunting yang didapat dari ruang koperasi. Bahkan meminumkan Violin racun tikus bubuk yang didapat dari ruang olahraga.
Franz menggelengkan kepalanya, ia tidak menyangka jika Avies membunuh teman dekatnya sendiri. Jadi kemungkinan Avies tewas mengenaskan karena dosa besar yang dilakukannya pada Violin, Franz lantas terkejut ketika seseorang menghampirinya—memintanya pergi sebentar ke depan kelas. Franz sesegeranya melangkah ke tempat yang ditunjukkan, untuk jasad Violin, Rasmus yang akan menangani bersama dengan tim forensik dari teman Wilona.
Franz sedikit tersenyum mendapati Andreas di sisi Wilona, entah Kenapa setiap bertemu anak itu Franz merasa sedikit tenang. Kendati usia mereka jauh berbeda, beranggapan apakah Franz terhadap Andreas—kita tidak tahu, karena perasaan orang tak pernah bisa dibaca kendati kau mengenal mereka dengan kurun waktu yang lama. Kita tidak perlu memikirkan sesuatu yang merumitkan tentang suatu perasaan, Franz sudah cukup dewasa tentunya ia akan lebih paham masalah perasaan.
"Andreas, kukira kau akan menolak datang." itu yang dikatakan Franz pada Andreas, sembari mengusap sedikit pucuk kepalanya.
"Aku memaksanya, maaf Franz. Ah langsung saja, dia bilang kau tahu jawaban tempat pertemuan Fernia dengan Aaric." Wilona mencoba mengeluarkan foto itu, sebab baru dirinya yang tahu perihal itu.
Franz menyambut foto itu, ia melihat dengan teliti. Matanya bahkan sesekali melirik ke arah Andreas yang menunduk. "Rumah singgah, dimana karyawan paman Arsya meninggali rumah itu." jawab Franz, ia bahkan masih benar-benar terkejut jika Aaric dan Fernia melakukan hubungan badan di tempat itu.
"Apa kau masih sibuk mengurus jenazah anak itu? Jika tidak, ada banyak hal yang harus dibicarakan denganmu. Termasuk anak ini." Wilona sedikit menoleh ke arah Andreas yang menunduk, remaja itu rupanya memang Pendiam.
"Kupikir ya, mari." jawab Franz, Wilona langsung berbalik badan melangkah menuju tempat dimana mobilnya terparkir. Sementara Franz menarik tangan kanan Andreas, membawa anak itu ikut bersamanya masuk ke dalam mobil.
Kedua mobil itu saling beriringan, tapi yang memimpin perjalanan adalah Franz. Tempat itu sedikit jauh dari desa, sedikit jauh dari rumah besar keluarga Arsya Nur't—dalam perjalanan itu, Andreas terus menunduk dan diam di kursi seberang Franz yang sedang menyetir. Mata Andreas sesekali naik melihat ke arah jalan dan mencuri pandang ke arah Franz. Jauh dalam jalan pikirannya, Andreas hendak sekali saja mengatakan sesuatu—kini rasa takut Andreas justru semakin memuncak.
Mobil Franz tepat singgah di depan pintu berpagar kayu, Andreas lebih dulu turun sebelum Franz. Wilona tergesa-gesa keluar mobil, sebelum akhirnya mereka bertiga masuk ke dalam perumahan—para karyawan paman Arsya saling pandang lalu menyapa dengan senyuman ke arah mereka bertiga. Satu orang yang dikenal oleh Franz menghampiri.
"Tn. Franz, apa kalian akan mewawancarai kami? Perihal kematian Tn. Arsya Nur't." Franz sedikit menarik sudut bibirnya.
Franz menepuk pundak orang itu pelan, "Tidak, oh Sam apa kau pernah melihat Dad ku datang bersama seorang wanita seumuran dia?" Franz menunjuk ke arah Wilona, untuk contoh usia wanita itu.
"Setiap bulan Dad mu datang, kau lupa jika Dad mu memang bertugas memeriksa kediaman kami?" orang yang dipanggil Sam memberikan jawaban yang setimpal.
Franz sedikit terdiam, benar, Aaric punya tanggung jawab dari paman Arsya untuk memperhatikan kondisi setiap pekerja dan datang ke perumahan untuk memeriksa persediaan makanan serta hasil panen. "Jadi, apakah Dad ku datang dengan seorang wanita?"
"Dad mu bilang wanita itu pekerja baru sebagai asistennya, mereka berdua selalu tidur di rumah utama. Dan bersama anak ini," penjelasan itu berbuntut menunjuk ke arah Andreas.
Franz dan Wilona langsung menoleh serentak. "Tapi aku hanya melihatnya sesekali datang ke tempat ini, yang paling sering adik mu Tn. Franz, keluarga mu sangat kompak." sambung Sam sembari tersenyum saat mengatakan kalimat akhirnya.
Franz memamerkan senyum palsunya, "Ah, sebuah keluarga akan kompak jika orang pribadi saling berhubungan dengan baik. Baiklah, terima kasih informasinya mu Sam. Kalau begitu kami pergi dulu." Franz menjawab dengan ringan kendati Wilona tahu itu adalah ekspresi wajah kepura-puraan.
Tangan kanan Andreas dicengkram kasar oleh Franz, ia benar-benar menahan emosi di pucuk kepalanya, mengingat kembali tentang perkataan Sam jika Frissca juga sering datang kemari—bersama Aaric dan Fernia. Mereka bertiga sudah masuk ke dalam rumah itu, disaat itulah Franz menghempas tangan kanan yang dipegangnya. Mata Franz menghunus tajam pada Andreas yang menunduk, rasa kejenuhan itu membuat Andreas benar-benar tersudut.
"Tahan dirimu, jika kau tak mau namamu tercemar." Wilona mencoba mengingatkan. Andreas masih menunduk.
Wilona menyerahkan foto tadi, kepada Franz untuk mencocokkan tempat ini. Memang ada kecocokan, Franz tidak habis bagaimana Aaric pergi ke tempat ini—padahal biasanya Aaric di rumah dan bahkan jarang sekali berpergian tapi coba mengingat sesuatu. Franz bekerja dan bahkan sering lembur kerja, ia jarang bisa bertemu dengan Fernia jika disimpulkan Aaric mengambil kesempatan setiap datang ke perumahan ini dengan mengajak Fernia.
"Apa kau tak pernah curiga setiap kau bertemu Fernia, Franz?" tanya Wilona, dirinya sedang memotret tempat ini.
"Tidak pernah, karena bagiku dia tidak pernah berubah. Lagipula aku gila kerja, sehingga semuanya bukan kesalahan Fernia. Tapi juga kesalahanku, karena jarang bisa menemuinya membuatnya mudah mendua. Malang sekali." jawab Franz, sambil merogoh saku celananya—sesuatu yang sering dibawanya kini mungkin telah ia butuhkan untuk sekarang.
Franz melirik ke arah Andreas, "kau pernah melihat Fernia dan Aaric bercinta?" tanya Franz, sembari menarik kursi kayu agar ia bisa duduk. Bukan dia, tapi untuk Andreas.
Andreas menggeleng, "Tidak pernah, aku selalu pergi. Dan Frissca yang berada di dalam." jawabnya jujur.
Sontak Franz mematung, diam sebentar sementara Wilona mulai mendekat, "Duduklah Andreas katakan saja apapun yang kau tahu, aku berani menjamin jika kau mengatakan semuanya aku berjanji membantu mewujudkan impianmu." ucapnya, dengan mata yang menyorot dalam netra Andreas.
"Semuanya sudah terjawab Tn. Franz." pungkasnya singkat, Andreas tidak berani menatap kedua orang yang saling pandang—mungkin sama-sama mencoba memahami perkataan orang Pendiam yang selalu pucat itu.
––––––––––
1) Eritrosit : Sel darah merah
2) Hemofilia : Penyakit darah sukar membeku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Evelyne
huuuuhhh serem.... psikopat ...
2023-05-25
0