Rumah yang Aman

Mendengar cerita asal mula pria itu sampai terkena penyakit psikologis eksibisionistik, psikiater itu pun mengangguk mengerti, namun perempuan dia sebelahnya hanya bisa terkejut tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ternyata pria yang ditolongnya ini adalah korban penjualan manusia yang berusaha melarikan diri dari dunia gelapnya. Dan baru pertama kali ia bisa mendengar secara langsung kisah erotis yang seperti itu. Apalagi cerita itu keluar dari mulut pria yang mulai kemarin dekat sekali dengannya.

"Lalu, apakah kamu masih bertemu dengan perempuan manis yang menolongmu itu? Apakah kamu masih mengingat wajahnya? Dan apakah kamu ingin bertemu dengan perempuan itu lagi?" Tanya psikiater itu dengan lembut.

"Semenjak hari itu, aku selalu bersama-sama perempuan manis itu. Perempuan itu adalah nona yang saat ini duduk di sebelah dokter." Ucap pria itu sambil memandang perempuan yang masih saja menatap dirinya dengan ekspresi tidak percaya.

"Iya, dok. aku perempuan itu. Dan hei! Aku tidak manis. Berhentilah menggombaliku." Ucap perempuan itu tidak terima.

"Kamu memang manis, nona. Sangat manis." Ucap pria itu pelan." Terimakasih karena telah menolongku."

"Jadi itu sebabnya kamu menuruti permintaanku supaya kamu tidak keluar rumah? Kecuali aku yang pinta?" Tanya perempuan itu yang dijawab anggukan oleh pria tersebut.

"Rumahmu membuatku aman dan dirimu membuatku nyaman. Itulah sebabnya aku menuruti permintaanmu supaya aku tidak keluar rumah. Lagipula, kalau kamu tidak ada di sisiku, aku sama sekali tidak merasa aman. Setidaknya untuk saat ini."

"Lalu, dok. Untuk penyakitnya, dia tidak boleh dibiarkan terus-menerus seperti ini, dok. Jadi bisakah penyakitnya disembuhkan?" Tanya perempuan itu kuatir, sedangkan pria yang sedari tadi menatapnya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi seperti itu. Entah mengapa melihat wajah perempuan itu ia merasa tidak ada lagi yang perlu ia takutkan.

"Dok maaf. Kalau memang perilakuku yang tidak biasa menggunakan pakaian semenjak penculikan dan pelecehan seksual itu membuat nona ku kuatir, maka aku akan membiasakan diri untuk kembali berpakaian." Ucap pria itu tegas, sambil wajahnya tidak mau berhenti menatap perempuan itu.

"Iya. Namun apabila kamu memang tidak nyaman, kamu bisa kembali lagi konseling di sini." Ucap psikiater itu. "Dan kamu nona, sepertinya pria ini lebih ingin supaya kamu yang merawatnya secara pribadi. Jadi kalau nona kebingungan cara menghadapi penyakitnya, nona bisa hubungi aku." Ucap psikiater itu lagi ke perempuan di sebelahnya.

"Terimakasih, dok." Ucap perempuan itu.

"Baiklah, sesi konsultasinya ditutup sampai sini, ya. Dan kamu harus kembali lagi berpakaian sebelum meninggalkan ruangan ini." Ucap psikiater itu. Lantas psikiater itu pun kembali ke mejanya dan pria itu pun kembali berpakaian.

"Terimakasih, dok. Kalau begitu kami permisi." Ucap pria itu setelah selesai berpakaian. Lalu perempuan dan pria itu pun pergi dari ruangan psikiater itu.

"Nona. Kalau kamu memang begitu kuatir dengan penyakit karena trauma ku itu, kamu tidak perlu lagi repot-repot ke psikiater itu. Aku akan menuruti segala perintahmu yang menurut kamu baik untukku. Termasuk memintaku untuk berpakaian apabila ke luar rumah." Ucap pria itu ketika mereka berdua sudah berada di luar rumah sakit.

"Iya, maaf. Aku terlalu kuatir. Jadi kamu tidak keberatan, kan kalau pelan-pelan kamu kembali berpakaian juga apabila berada di dalam rumah?"

"Aku tidak keberatan. Walaupun memang sudah tidak terbiasa, pelan-pelan aku akan membiasakan diri. Selama kamu ada di sampingku, entah mengapa aku merasa sangat tenang." Mendengar ucapan itu wajah perempuan itu kembali bersemu.

"Nona, wajahmu yang bersemu itu membuatmu jadi lebih manis."

"Bisakah kamu berhenti menggombaliku? Aku tidak manis sama sekali." Perempuan itu pun segera menatap tajam pria di sebelahnya.

"Aku tidak menggombal, aku berbicara apa adanya." Ucap pria itu tanpa rasa berdosa. "Memangnya kenapa kalau menurutku kamu sangat manis? Tenang saja, aku sama sekali belum berumahtangga. Dan aku juga tidak berniat membuatmu merasa tidak aman." Lantas pria itu pun mengelus-elus ujung kepala perempuan itu, dan itu membuat perempuan itu merasa nyaman.

"Kalau aku memang manis, aku tidak mungkin sendirian. Dan mantan pacarku tidak mungkin meninggalkan diriku saat itu."

"Aku tahu. Kamu memang ditinggal oleh mantan pacarmu, karena ia sama sekali tidak melihat keindahan yang telah kamu pancarkan. Dan aku adalah pria yang sangat beruntung karena berhasil melihat pancaran terindah dari dirimu."

"Sudah selesai menggombalnya? Sekarang mumpung kita lagi di luar rumah, kamu harus dibelikan beberapa stel pakaian. Ah lebih banyak harus pakaian yang nyaman dipakai di dalam rumah. Dan beberapa bulan lagi aku akan ada pameran."

"Nona. Apakah aku harus memakai pakaian ketika berada di dalam rumah? Aku masih ingin memberikanmu pemandangan terindah dari tubuhku. Kalau untuk pakaian pameran, aku tidak keberatan. Karena aku ingin melihat kamu bisa berbangga hati karena karyamu yang bisa dinikmati oleh banyak orang."

"Terimakasih atas suguhan pemandangan indah yang selalu kamu berikan kepadaku saat kita selalu berada di rumah. Tapi aku ingin supaya kamu terbiasa berpakaian. Apalagi kalau nanti tiba-tiba ada tamu yang berkunjung ke rumah, aku tidak mau kamu kembali lagi menjadi korban pelecehan seksual karena melihatmu telanjang bulat."

"Baiklah, aku turuti permintaanmu." Ucap pria itu menatap perempuan itu "Tapi aku masih ingin kamu melihatku telanjang bulat. Tapi bukan saat kamu mengintipi aku kalau lagi mandi."

"Lalu?" Tanya perempuan itu.

"Aku ingin kamu melihatku telanjang bulat saat tidur. Dan aku juga menginginkan dirimu memeluk tubuhku saat kamu tertidur. Kamu harus mau." Ucap pria itu tegas. Wajah perempuan itu pun kembali memerah.

"Kamu tahu, kan setiap aku menyentuh tubuhmu aku selalu merasa gugup. Bahkan terkadang salivaku tak bisa berhenti menetes setiap menikmati ketika menyentuh bagian tubuhmu? Bagaimana kamu bisa membiarkan dirimu lagi-lagi terkena pelecehan seksual dariku? Sebaiknya kita balik lagi ke psikiater itu. Kamu memang benar-benar butuh pengobatan!" Lantas perempuan itu pun memegang tangan pria itu untuk kembali ke dalam rumah sakit. Namun pria itu menahan perempuan itu.

"Tidak perlu. Tidak perlu psikiater. Kamu adalah obat yang mampu menyembuhkan penyakit psikologiku. Aku memang senang kalau kamu yang menyentuhku. Kalau kamu yang menikmati tubuhku. Bukan orang lain. Bukankah itu normal? Ketika kamu merasa senang apabila dirimu disentuh oleh orang yang membuatmu nyaman?" Ucap pria itu yang menahan langkah perempuannya. Sedangkan perempuan itu wajahnya semakin tidak bisa menahan ronanya.

"Kenapa perkataanmu begitu manis?" Tanya perempuan itu.

"Karena kamu sangat manis, nona. Aku senang karena kamulah yang justru membuatku aman. Membuatku nyaman. Dan kamulah yang membuatku menemukan rumah yang aman." Jawab pria itu yang wajahnya kini juga kembali memerah, tapi tetap menatap wajah perempuan di depannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!