Benarkah yang dilihatnya saat ini adalah Arsen? Apakah matanya yang rabun. Sangat sulit dipercaya seorang Arsen mengulurkan tangannya hanya untuk mengobati lukanya.
Mungkin saja karena tidak ada yang boleh menyentuhnya. Sehingga Arsen rela melakukannya.
"Terimakasih."
Jangankan menjawab ungkapan rasa terimakasihnya. Sepertinya Arsen tidak peduli yang acuh dan berlalu pergi. Gladys sangat tidak mengerti seperti apa Arsen sebenarnya? Kejam kadang terlihat baik.
*****
"Nona?"
"Eh, Bi Je." Panggilan Bi Je mengalihkan pandangannya pada taman bunga. Wanita paruh baya itu berlari ke arahnya.
"Di luar ada tamu. Katanya ingin bertemu Nona."
"Bertemu saya?" Gladys merasa heran karena tidak ada seorangpun yang tahu tempat tinggalnya. Tapi siapa yang ingin bertemu dengannya.
"Kak Lorenz." Panggil Gladys pada seorang wanita berambut pirang yang duduk santai di sofa yang besar.
Gracia Lorenza kakak angkatnya, yang entah kenapa datang ke tempat Arsen, yang sama sekali tidak diketahui alamatnya. Bukan senang, melainkan gelisah yang Gladys rasakan apalagi Arsen tidak ada di rumah.
Bagaimana jika Arsen tahu dan marah padanya?
"Hai adikku yang cantik. Kamu tidak bilang jika tinggal di rumah mewah seperti ini?"
"Ini bukan rumahku. Dan apa tujuanmu datang ke sini?"
"Ini bukan rumahmu tapi rumah suamimu." Tatap Lorenz dengan tajam. Lalu melangkah mendekati Gladys.
"Apa kamu tidak senang? Melihat ku datang? Ah, nyaman sekali," ucap Lorenz setelah melemparkan tubuhnya ke atas sofa. "Aku jadi ingin tinggal di sini," lanjutnya.
"Lebih baik sekarang kamu pergi!" tegas Gladys yang tidak ingin mendapat masalah karena ulah kakaknya.
"Kamu mengusirku?"
"Kenapa? Bukankah kalian menjualku? Untuk apa aku menerima tamu sepertimu."
"Sombong sekali." Lorenz tersenyum sinis.
Sepasang netranya menatap ke bawah kaki Gladys yang di perban.
"Kenapa dengan kakimu?"
"Kamu pikir aku senang tinggal di sini? Aku bukanlah ratu yang bisa menerima tamu kapan saja," jawaban Gladys membuat lorenz tersungging tipis. Lorenz yakin jika Gladys tidak diperlakukan dengan baik oleh Arsen.
"Apa mafia itu yang melakukannya? Mungkinkah dia juga akan marah jika aku melakukan ini."
Prang!
"Kak Lorenz!" teriak Gladys saat Lorenz dengan sengaja menjatuhkan sebuah guci hias yang terpajang di ruang tengah.
Masalah. Benar-benar mencari masalah.
"Opss, sorry." Bisa-bisanya Lorenz pura-pura terkejut padahal dia yang melakukannya.
"Kak Lorenz lebih baik pergi dari sini dan jangan membuat kekacauan."
"Uhh … adikku terlihat sangat takut," cibir Lorenz dengan ekspresi mengasihani. "Percayalah mafia itu tidak akan marah."
Prang!
"Kak Lorenz!"
Lagi-lagi Lorenz menjatuhkan sebuah pajangan yang dinilai sangat berharga. Mungkin jika dijual akan sangat menguntungkan.
Keadaan semakin kacau berantakan. Lorenz pergi begitu saja setelah membuat kekacauan. Gladys segera membereskan semua itu tetapi sayang, Arsen sudah kembali.
"Gladys! Apa yang kamu lakukan dengan semua barang-barang ku?"
Mata elang itu menatap dengan tajam. Suaranya melengking, menghentikan tangan Gladys yang sedang memungut satu persatu pecahan guci itu.
Tubuh Gladys mulai gemetar, menatap Arsen begitu menakutkan. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Arsen sangat marah, tetapi apa Arsen tidak akan marah jika Gladys mengatakan yang sebenarnya?
"Ini bukan perbuatanku Tuan."
"Lalu perbuatan siapa? Apa ada hantu di sini."
"Tidak! Tadi kakak ku datang dan membuat kekacauan."
"Sejak kapan kamu berani mengundang keluargamu?"
"Ma-maaf …."
Plak!
Ah … ringis Gladys yang merasakan panas pada pipinya yang baru saja ditampar Arsen. Tidak hanya tamparan, Arsen dengan kejam menyeret tubuh Gladys entah mau dibawa kemana.
"Tuan tolong lepaskan, aku tidak bersalah," mohon Gladys yang tidak didengar. Dengan penuh amarah Arsen menarik tubuh Gladys yang menyedihkan.
Tidak adakah seseorang yang menolong? Sangat Gladys harapkan.
"Tuan berhenti!" Nico datang di waktu yang tepat. Entah kenapa Gladys bahagia melihat kedatangannya. Mungkinkah Nico akan menjadi penolongnya lagi.
"Tuan! Apa yang kamu lakukan!"
"Berhenti!" teriak Arsen, menghentikan langkah Nico. "Jika kamu berani menyelamatkannya, aku tidak akan segan-segan memasukkan mu ke dalam kandang."
Kandang yang di maksud Arsen adalah kandang macan yang dia punya. Arsen berniat melemparkan Gladys ke dalamnya. Wajah menyedihkan Gladys membuat Nico iba. Namun, Nico tidak bisa melakukan apapun.
Hati Nico semakin teriris saat melihat tatapan dan air mata Gladys, seolah memohon padanya.
"Apa bedanya kamu dengan mereka? Mereka yang sudah membunuh orangtua mu. Gadis yang tidak bersalah harus menjadi korban keegoisan mu."
"Apa maksud mu." Perkataan Nico membuat Arsen terdiam.
"Bukankah hanya karena guci itu kamu menyiksanya seperti ini. Tidak bisakah kamu melihat kejujuran di matanya? Dia sudah mengatakan tidak. Tapi kamu tidak peduli dan tetap menyeretnya. Siapapun yang menjatuhkan guci itu tidak sebanding dengan Gladys. Guci hanya sebuah barang yang akan rusak kapan saja. Gladys adalah manusia yang jika rusak tidak akan ada gantinya. Tidak akan bisa dibeli dimana pun."
"Aku tidak butuh nasehatmu. Apa kamu menyukainya?" Tatapan dengan bibir menyeringai Arsen pancarkan. Namun, Nico tetap tenang.
"Menyukai? Bukankah kamu yang bilang menyentuh saja tidak boleh apalagi menyukai wanitamu. Jika kamu memperlakukannya dengan buruk tidak akan segan-segan ku bawa Gladys pergi darimu."
Tangan Arsen mengepal kuat. Dia sangat marah karena Nico terlalu ikut campur dalam urusannya. Namun, Nico tidak pernah main-main dengan perkataannya. Nico, seorang asisten yang sangat tegas, berpendirian.
Akhirnya perkataan itu membuat Arsen tersadar. Melepaskan Gladys dan berlalu pergi. Nico, menatapnya dalam diam. Dia tahu pasti Arsen sedang menghadapi hari yang buruk karena tidak menemukan orang yang dia cari. Dan melanpiaskannya pada Gladys.
Segera Nico berlari pada Gladys yang sedang terisak.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Terimakasih telah menolongku."
"Sudah tugasku."
Nico, membawa Gladys ke atas sofa. Mendudukkannya, lalu mengobati lukanya.
Dengan perlahan tangan itu menghapus moda merah pada sudut bibir Gladys. Tamparan Arsen sangat menyakitkan.
"Aku tidak tahu. Sampai kapan aku akan bertahan. Jika seperti ini lebih baik aku mati."
"Jangan katakan itu. Aku akan melindungimu."
"Siapa aku? Kenapa kamu begitu baik padaku?" Gladys tidak mengerti kenapa Nico sangat peduli. Padahal mereka baru saja mengenal.
"Kamu bisa menganggapku sebagai temanmu," ucap Nico dengan tenang lalu mengobati lukanya lagi.
Seandainya Arsen adalah Nico, mungkin Gladys akan menerima dengan ikhlas pernikahannya walau terpaksa.
****
Di dalam kamar Arsen berbaring di atas ranjang empuknya dengan kedua tangan yang dijadikan sandaran. Mata elang itu menatap fokus ke langit-langit kamar. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mungkinkah Arsen menyesal?
Sedetik tubuhnya terbangun, lalu turun dari ranjang dan melangkah ke arah meja yang terdapat sebuah laci. Ditariknya laci itu lalu mengambil sebuah potret di dalamnya.
Potret seorang gadis kecil, yang tersenyum lebar. Gadis itulah yang selalu membuatnya tenang. Tatapan tajam itu berubah jadi sendu. Entah siapa gadis itu.
"Aku akan menemukannya. Aku janji ayah … aku akan menemukannya," ucapnya dengan yakin.
...----------------...
Sebelum lanjut beri like, vote dan komentarnya dulu ya jangan lupa 🤗.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
mama JK
Katanya rumah mafia kok mudah banget orang masuk tanpa penjagaan?
2024-04-19
0
Pia Palinrungi
apakah itu gadis kecil adalah gladys, semoga aja dan kamu akan menyesal arsen
2023-08-04
0
Sri Mulyati
Semoga gadis kecil itu Gladys.
Semangat 💪💪💪 juga up nya Thorrr 😘😘😘😘😘😘😘😘😘😘
2023-03-16
1