"Ah, pelan-pelan."
"Maaf Tuan." Gladys ngeri sendiri melihat luka tembak pada lengan Arsen. Cairan kental merah tidak hentinya keluar.
Arsen menatap Gladys yang bengong melihat lukanya. "Kenapa? Tidak berani? Berikan alkoholnya." Arsen mengambil alih alkohol yang dipegang Gladys lalu menyiramnya pada luka ditangannya.
Sensasi perih yang luar biasa membuat bibirnya meringis. Gladys tidak berani melihat apalagi menyentuh. Setelah darah itu mulai bersih barulah Gladys membantu mengikat perbannya.
"Jangan sok berani. Melihat luka saja takut," sindir Arsen Gladys hanya diam.
"Apa setiap hari kamu melakukan itu? Apa pekerjaanmu seperti ini. Membahayakan dirimu sendiri."
"Jangan sok tahu. Pekerjaanku adalah pekerjaan ku bukan urusanmu. Ah! Jangan kencang-kencang."
"Aku pikir Tuan tidak akan merasa sakit."
"Ikatanmu terlalu kuat."
"Kuat mana dengan tembakan? Bahkan anda bisa menahannya." Arsen, tidak bisa berkata. Dia hanya diam membiarkan Gladys mengikat perbannya.
"Hari ini kamu berani melawanku. Berani membantahku."
"Bukankah Tuan yang mengajariku? Pukulan, bentakan yang selama ini Tuan berikan membuat ku harus berani," ucap Gladys dengan tegas. Kini tidak adalagi ketakutan pada dirinya mungkin sudah terbiasa diperlakukan kejam oleh Arsen.
"Tunggu di sini aku akan mengambilkan makan malam mu Tuan." Arsen menatap Gladys yang pergi meninggalkan kamarnya. Entah kenapa Arsen merasa sedang di marahi oleh istrinya.
Gladys datang membawa sebuah nampan salad buah yang dia buat di letakkannya di atas meja samping ranjang Arsen.
"Saya membuatkan salad untukmu Tuan, tapi tidak terlihat segar karena sudah lama."
"Berikan itu padaku."
"Apa kau mau memakannya sendiri?"
"Kenapa? Aku bukan anak kecil yang manja dan harus disuapi." Arsen mencoba mengambil sesendok salad. Tetapi karena bahu nya masih luka membuat Arsen sulit menggerakkan tangannya.
"Aish, sial."
"Berikan itu padaku. Jangan so' kuat jika memang terasa sakit." Gladys mengambil mangkok salad, mengarahkan sesendok salad padanya.
"Bukalah Tuan." Arsen masih enggan membuka mulut. Dia merasa lemah dihadapan seorang wanita.
"Apa aku harus membuka mulutmu Tuan?"
"Jangan berani menyentuh mulutku." Akhirnya Arsen pun membuka mulut satu suap salad masuk ke dalam tenggorokkannya. Gladys tersenyum melihat Arsen yang mengunyah pelan.
"Kenapa senyum-senyum?"
"Tidak. Apa saladnya enak Tuan?"
"Hm, lumayan."
"Aku tidak tahu makanan kesukaan mu Tuan. Bi Je yang memberitahuku, lain kali beritahu aku apa yang mau anda makan."
"Hari ini kau seperti istriku saja."
"Bukankah kita memang sudah menikah? Ah, aku lupa. Aku hanyalah gadis penebus hutang."
"Ya. Aku menikahimu bukan karena aku menginginkanmu. Tapi karena kamu adalah uangku. Dan ayahmu sudah memberikanmu padaku terserah aku mau menikahimu atau tidak." Kata-kata Arsen sangat menyakiti hatinya. Hingga Gladys diam tidak menyuapinya lagi.
"Kenapa denganmu?" Hati Arsen mulai gelisah melihat mata Gladys yang berkaca-kaca.
"Aku sadar diri sekarang. Aku hanyalah gadis penebus hutang. Sampai kapanpun aku dimatamu hanya gadis penebus hutang. Aku tidak berhak melakukan semua ini, menyuapimu, mengobatimu. Semua yang ku kerjakan tidak pantas ku lakukan."
"Ya, benar. Tapi … yang ku perintahkan harus kau turuti. Kenapa diam suapiku lagi." Gladys kembali menyuapi Arsen hingga salad itu habis.
"Bos!" seru Nico mengejutkan mereka berdua. Sedetik Nico tertegun melihat Arsen yang sedang di suapi Gladys.
"Sudahku bilang jangan pulang ke rumahku malam ini."
"Aku dengar kau di serang. Itu sebabnya aku datang kemari. Tapi aku akan keluar lagi maaf sudah mengganggu waktumu Bos."
"Aku sudah selesai," ucap Gladys lalu bangkit dari duduknya berjalan mendekati Nico. "Masuklah aku akan keluar sekarang."
"Hm."
Arsen menatap kesal pada asistennya itu. Baginya Arsen sudah mengganggunya. "Dasar! Asisten tidak berguna selalu saja mengganggu," umpatnya kesal.
"Apa kau terluka?" tanya Nico yang berjalan pada Arsen.
"Mereka menyerangku tiba-tiba, itu sebabnya aku terluka."
"Apa kau tahu siapa?"
"Tidak. Aku tidak mengenalnya. Sepertinya dia mengikutiku.",
"Aku akan melihat CCTV dan segera menemukan pelakunya."
"Ya. Kerjakanlah tugasmu." Nico pun melangkah pergi menuju ruangan CCTV.
Ditempat lain sekumpulan orang sedang berkumpul di keluarga Wiltert. Dario Mark lelaki yang sangat iri pada Arsen juga ada di sana. Entah apa yang dia rencanakan sepertinya Dario memang penasaran dengan kehadiran Arsen sebagai pewaris Wiltert grub. Sehingga dia mengunjungi adik dari Joshua Wiltert.
Tidak berselang lama datanglah seorang pemuda yang bergabung bersama mereka.
"Bagaimana? Apa kau mengerjakan tugas dengan benar?" tanya Dario.
"Saya sudah menembaknya tapi tidak membunuhnya. Karena para pengawalnya terlanjur datang dan menyerangku."
"Apa kamu yakin dia kena tembakan?"
"Yakin, hingga dia tersungkur. Tapi saya tidak tahu apa lukanya parah atau tidak."
"Cukup sulit juga untuk melenyapkannya."
"Kenapa kau ingin sekali melenyapkan anak itu? Jika saja Joshua masih hidup dia akan menangkapmu," ujar Xander adik dari Joshua.
"Ck, apa bedanya denganmu? Bukankah kamu seorang polisi juga."
"Tergantung. Kepada siapa ku berpihak." Xander tersenyum tipis. Xander sangat berbeda dengan Joshua yang membela kebenaran, menegakkan hukum untuk keadilan. Tapi Xander dia akan membela pada siapa yang bisa memberikannya uang.
Itulah sebabnya Dario sangat membenci Joshua karena dulu telah memasukkannya ke dalam jeruji besi. Dan kini mereka bekerja sama untuk melenyapkan Arsen.
"Lalu bagaimana dengan kesepakatan kita?"
"Aku akan memberikan Wiltert grup padamu. Setelah itu kau akan menjadi polisi yang terkaya karena memiliki perusahaan."
"Ya. Memang itu seharusnya milikku. Tetapi kebodohan Joshua memberikan perusahaan itu untuk anak angkatnya."
"Tapi pria itu cukup kuat dan pemberani."
"Sekuat apapun dia pasti punya kelemahan. Seperti Joshua dulu, putrinya adalah kelemahannya di saat putrinya hilang dia bagaikan mayat hidup. Begitupun dengan pria itu sejahat apapun seorang mafia pasti punya kelemahan. Kita harus cari kelemahannya."
"Ya, benar apa katamu." Itulah rencana jahat mereka.
*****
"Nona, Tuan Arsen memanggilmu."
"Iya Bi Je." Baru saja terbangun Gladys sudah harus menghadap Arsen. Dia bergegas pergi setelah mencuci wajahnya.
"Tuan?" panggilnya pada Arsen yang duduk di ruang makan. Arsen terus menatap tubuh Gladys dari bawah hingga atas kepalanya. Baginya wajah bangun tidurnya terlalu cantik hingga matanya tidak mampu berkedip.
"Tuan!" Segera Arsen memalingkan pandangannya.
"Ini."
"Apa ini Tuan?" Gladys mengambil sebuah kertas yang entah apa isi coretan di dalamnya.
"Sekarang kamu jangan tanya lagi apa kesukaanku. Dan tidak boleh salah, pagi, siang dan malam apa saja yang harus kau siapkan saya sudah menulisnya di sana."
Gladys tersenyum ketika Arsen memberikan menu masakan padanya. "Terimakasih Tuan. Sekarang akan ku siapkan sarapan untuk mu."
"Tunggu dulu!" tahan Arsen pada Gladys yang hendak pergi. Gladys pun berbalik.
"Untukmu." Arsen memberikan sebuah kotak yang di hias.
"Apa ini Tuan."
"Buka saja jika kau ingin tahu isinya." Gladys tidak berani bertanya lagi ketika Arsen berkata dengan dingin.
Mata Gladys membulat dengan sempurna. Sebuah kalung dengan liontin biru yang begitu indah. Kelap-kelip kalung itu yang berasal dari permata dan mutiara. Tentu saja Gladys sangat senang untuk pertama kalinya mendapat hadiah seindah itu.
"Terim …."
"Jangan katakan terimakasih. Karena aku memberikannya sebagai imbalanmu yang sudah mengobati luka ku."
"Sebagai apapun kau memberikannya itu tidak penting. Terimakasih ini adalah hadiah terindah yang pernah ku terima. Bolehkah aku memakainya?"
"Terserah itu milikmu. Tidak usah meminta izin padaku." Gladys masih bisa tersenyum walau Arsen begitu dingin padanya.
"Siapkan sarapan untukku segera."
"Baik Tuan." Arsen melangkah pergi tanpa terasa bibirnya mengulum senyum.
...----------------...
Maaf ya untuk hari ini updatenya kemalaman. 🙏🏻😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Pia Palinrungi
aduhh arsen kapan kamu bisa manis didepan gladys
2023-08-04
0
✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT
masih galak az arsen nya thor🤣
2023-03-16
1