Suara deruan mobil mengalihkan pandangan Gladys yang segera turun dari ranjang berjalan mendekati jendela. Sedikit tirai dibuka untuk melihat siapakah yang sudah datang ke rumah tuannya. Sekilas senyumnya mengembang saat melihat mobil Arsen terparkir di bawah sana.
"Dia sudah pulang. Haruskah aku menemuinya? Mungkin dia lapar atau ingin mandi." Segera Gladys berlari keluar. Namun, baru saja menuruni tangga senyumnya memudar saat melihat Arsen pergi lagi. Mungkin Arsen hanya mengganti pakaian saja. Pakaian yang dikenakannya bernuansa hitam, karena akan pergi ke pemakaman Lucas.
"Dia pergi lagi," ucap Gladys lemas yang kecewa karena ditinggal pergi. Tubuhnya hendak berbalik, tapi tiba-tiba.
"Gladys!" Arsen memanggil, membuat Gladys menoleh kembali. Sedetik senyum mengembang. Keduanya saling menatap dalam diam.
Mungkinkah mereka rindu? Tatapan Arsen kali ini sangat berbeda begitu teduh dan menyejukkan. Arsen sangat merindukan wajah cantik itu tetapi tidak berani mengatakan jika dirinya rindu. Begitupun dengan Gladys.
"Siapkan makan malam untukku. Aku akan segera kembali," ucap Arsen datar lalu melangkah pergi. Gladys kembali tersenyum, melangkah dengan semangat menuju dapur.
Bahan masakan cukup banyak dan tersedia. Tapi Gladys tidak tahu apa yang harus di masak. Dia tidak tahu apa kesukaan Arsen sehingga bingung sendiri.
"Tuan hanya akan memakan salad buah jika malam hari," ucapan Bi Je mengalihkan pandangan Gladys.
"Bi Je."
"Untuk apa lagi buatlah. Semua buah yang dia suka ada dalam kulkas."
"Terimakasih Bi Je."
"Semangat. Aku yakin Nona bisa meluluhkan hati Tuan."
Gladys segera membuat salad. Tangannya mulai sibuk mengupas dan memotong buah. Setelah itu semua buah dimasukan ke dalam kulkas agar dingin dan menyegarkan. Mulailah Gladys membuat saos salad.
****
Arsen baru saja sampai di kediaman Lucas. Rangkaian bunga ucapan bela sungkawa berjejer di dalam sana tidak lupa Arsen pun mengirimkannya. Rumah duka masih dipenuhi para pelayad.
Arsen dan Nico melangkah memasuki rumah itu. Lalu duduk di kursi yang sudah tersedia. Arsen bisa melihat betapa sedihnya Davira yang hanya menatap kosong pada mayat Lucas di depannya.
"Bos apa anda mau menemuinya?"
"Hm. Aku akan menemuinya dulu kau tunggulah di sini."
"Baik Tuan."
Arsen pun berjalan menghampiri Davira. Mereka terlihat berbicara walau hanya sebentar.
"Saya turut berduka Nyonya, semoga suamimu pergi dengan tenang. Walaupun saya tidak mengenal suami anda tapi saya tahu bagaimana perasaan anda."
"Terimakasih Tuan Arsen. Suamiku tidak akan tenang sebelum … pembunuh itu ditemukan."
"Ya. Aku dengar suami anda pernah di rampok. Perampokan sadis memang marak terjadi di sana," ucap Arsen dengan tenang.
"Sabarlah. Ikhlaskan kepergiaannya." Katanya yang menepuk lembut bahu Davira lalu melangkah pergi.
"Apa kau sudah puas Bos, melihat kesedihannya?"
"Menurutmu?" Tatap Arsen pada Nico dingin. "Darah yang baru dibayar hanya satu masih ada tiga darah lagi," ujarnya yang duduk dengan tenang. Nico yang mendengarnya merasa ngeri apalagi melakukannya.
Tidak berselang lama datanglah seorang pria. Perawakan yang tegak, tinggi, dan rahang yang tajam. Usianya masih sangat muda pria itu datang menghampiri Davira lalu memeluknya.
"Siapa dia?" tanya Arsen yang sangat penasaran.
"Mungkin putranya Bos."
"Putra?" Arsen tidak tahu jika Davira memiliki seorang putra.
"Ya. Ansell Wilbert itu namanya dia menetap di Amerika," jelas Nico yang langsung mendapat tatapan dari Arsen.
"Informasi sepenting itu kamu tidak memberitahukanku?"
"Maaf Bos. Aku kira itu tidak penting dan Bos juga tidak bertanya 'kan?" Nico cengengesan. Arsen jadi kesal.
"Ya, tidak penting. Kamu tidak boleh pulang ke rumahku."
"Bos! Lalu aku akan tidur dimana?"
"Apa itu penting? Aku tidak peduli kamu tidur dimana malam ini." Kata Arsen yang bangkit dari kursi dan melangkah pergi.
"Aish sial. Bos!" Nico segera mengejar tapi sayang dia terlambat karena Arsen sudah membawa mobilnya pergi.
"Akh, kalau begini aku tidur di luar," ucapnya kesal lalu menghentikan sebuah taksi. Terpaksa malam ini Nico harus menyewa hotel.
Selama perjalanan Arsen terus menggerutu. Mengendalikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia masih penasaran pada Ansell, kenapa tidak pernah tahu soal anak itu? Mungkin karena hubungan mereka tidak terlalu dekat sejak kecil. Sehingga Arsen melupakan sepupunya itu.
Ansell terus menatap luka pada wajah ayahnya. Hingga dia menemukan satu luka yang orang tidak lihat. Luka tembakan. Ansell merasa yakin jika ayahnya di bunuh bukan dirampok.
"Mama kita harus segera semayamkan ayah. Sepertinya semua tamu sudah pergi." Davira hanya mengangguk, Ansell tetap menggandeng ibunya yang lemah itu.
Di tempat lain Arsen masih mengendalikan mobilnya membelah jalanan yang begitu lenglang malam ini. Ada sebuah mobil yang mengikutinya dari belakang, sepertinya Arsen tidak menyadari itu.
Mobil itu melaju sangat cepat mengikuti Arsen kemanapun mobil itu mengarah. Entah apa tujuan mobil itu mengikutinya hingga Arsen tiba disebuah mansion mewah miliknya.
Malam ini cukup sepi tidak terlihat para pengawal yang berbaris di depan gerbang. Mobil itupun semakin leluasa memantau pergerakkan Arsen.
"Dasar! Asisten tidak berguna," umpat Arsen yang masih kesal pada Nico. Lalu dia turun dari mobilnya.
Gladys sudah mempersiapkan salad buah untuk Arsen. Menyajikannya di atas meja. Tubuhnya berdiri dengan tenang menunggu Arsen datang. Namun, bukan langkah kaki Arsen yang dia dengar melainkan suara tembakan.
DORR! DORR!
Suara itu sangat memekakan telinga hingga berkali-kali. Bahkan mencemaskan Gladys yang mendengarnya.
"Suara apa itu? Tuan Arsen." Segera Gladys berlari ke luar teras. Dilihatnya Arsen tergeletak di atas lantai. Gladys pikir Arsen teluka parah dan tidak sadarkan diri. Namun, Arsen hanya mendapat luka di lengan kanannya.
Gladys begitu khawatir yang akan menghampiri Arsen. Namun, Gladys tidak tahu apa yang terjadi di luar sana sehingga langkahnya terhenti saat sebuah tembakan melesat ke arahnya.
DORR!
"Ah …!" jeritnya saat sebuah tembakan mengenai kaca jendela dan hampir mengenai tubuhnya.
Tubuh Gladys masih gemetar, suara itu sangat menakutkan.
"Brengsek!" umpat Arsen saat tembakan itu hampir saja mengenai wanitanya.
"Apa yang kau lakukan di sana? Apa kau ingin mati!" teriak Arsen, tapi tidak membuat Gladys pergi dari tempat itu.
"Ah sial! Dasar wanita itu tidak bisakah dia menurut padaku." Arsen ingin sekali membalas tembakan itu hanya saja dia tidak memegang senjata saat ini. Beruntung para pengawalnya datang yang menyerang mobil itu dengan beribu tembakan.
Dan salah satu pengawal membantunya untuk bangun.
"Lepaskan aku. Kejar orang itu yang sudah berani menyerangku."
"Baik Bos." Para pengawalpun memasuki mobil mereka dan mengejar mobil misterius itu. Arsen menatap Gladys yang masih menunduk ketakutan.
Sekuat mungkin Arsen berdiri menyeret Gladys untuk masuk ke dalam mansionnya.
"Bangun kamu, bangun!" GLadys terkejut dengan sikap Arsen yang kembali arogan.
"Tuan sakit."
"Apa kamu ingin mati hah!" Segera mata itu Gladys pejamkan. Tatapan elangnya sangat menakutkan.
"Maaf Tuan. Saya hanya mengkhawatirkan mu Tuan."
"Ah …." Arsen meringis ketika luka ditangannya semakin terasa.
"Tuan luka mu."
"Jangan sentuh!" bentak Arsen.
"Izinkan aku untuk mengobatinya Tuan." Arsen tidak mengerti pada Gladys. Sebenarnya terbuat dari apa hatinya? Bisa-bisanya dia masih khawatir setelah Arsen bentak. Tatapan tajam dan teduh itu saling bertemu. Mungkinkah Arsen akan luluh melihat tatapan teduh itu?
...----------------...
Double up hari ini walau kemalaman. Hehe
Adakah yang akan memberikan kopi untuk author. Berikan juga vote nya ya 🤗.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Pia Palinrungi
beri arsen kelembutan gladys biar asren buvin akut sm.kamu
2023-08-04
0
✍️⃞⃟𝑹𝑨🤎ᴹᴿˢ᭄мαмι.Ɱυɳιαɾ HIAT
lanjut thor arsen pasti bakalan bucin sama gladys😍
2023-03-15
0
Yunda Saputro
lgi thor semangat ya
2023-03-15
1