"Pagi Tuan." Gladys membungkuk hormat saat berpapasan dengan Arsen. Sedetik Arsen melihat luka lebam pada bibir Gladys atas perbuatannya kemarin, lalu melewatinya begitu saja tanpa sepatah kata maaf yang terucap.
Gladys mengikutinya, menyajikan sarapan pagi untuk Arsen.
"Duduklah." Gladys tercengang, apa tidak salah dengar, Arsen memintanya untuk duduk.
"Apa kamu tidak dengar apa yang aku katakan." Bokong Gladys segera mendarat di atas kursi setelah tatapan tajam itu keluar.
"Makanlah." Lagi-lagi Gladys di buat termenung. Pagi ini Arsen begitu berbeda.
Tuhan, apa yang terjadi padanya? Pagi ini dia begitu lembut padaku, batin Gladys.
Sangat tidak bisa ditebak. Seperti apa Arsen itu? Terkadang kasar, terkadang lembut. Dan kini Arsen hanya fokus pada makanannya. Tidak ada lagi percakapan antara mereka, suasana semakin hening yang terdengar hanyalah suara dari piring dan sendok yang saling bersahutan.
Gladys masih ragu, apa dia harus makan bersama atau tidak. Hingga suara Arsen kembali mengejutkannya.
"Kenapa hanya bengong? Apa kamu tidak sudi makan bersamaku?"
"Ah, tidak begitu Tuan. Ini satu kehormatan bagiku." Suatu kehormatan? Padahal sudah sepantasnya Gladys bersanding di meja makan dengan Arsen.
Beberapa lembar roti diambilnya. mengolesnya dengan selai lalu segera memakan roti panggang itu. Bukan karena menghormati Arsen, melainkan takut melihat tatapan Arsen yang begitu tajam.
Mungkin, bagi sepasang pengantin baru makan bersama adalah hal yang wajar. Mendapat kelembutan dari suami itu juga sangat wajar. Tapi tidak bagi Gladys yang merasa semua itu adalah keberuntungan. Karena bebas dari amukan Arsen selama ini.
"Akan ada Dokter yang datang untuk melihat lukamu."
"Dokter?"
"Kakimu yang terluka tidak cukup hanya diperban. Perlu perawatan medis." Katanya yang langsung bangkit dari duduknya meninggalkan meja makan.
"Tuan …," panggil Gladys menghentikan langkah Arsen. Lalu berbalik pada Gladys
"Apa?"
"Kemana Tuan akan pergi?"
"Sejak kapan aku harus meminta izin padamu. Kemanapun ku pergi bukan urusanmu."
"Maaf." Hanya itu yang bisa Gladys katakan.
Mungkin Gladys berharap Arsen akan memberitahukannya kemana ia pergi dan kapan ia kembali. Layaknya seperti seorang isteri mendapat kecupan lembut dari suami sebelum pergi. Namun, nyatanya pernikahannya tidak seindah itu. Arsen pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun.
"Nona." Suara Bi Je mengalihkan pandangannya dari mobil Arsen yang sudah lama menghilang.
"Iya Bi Je?" tanya Gladys setelah menoleh.
"Dokter sudah datang Nona."
"Iya, saya segera ke bawah." Bi Je hanya mengangguk lalu pergi menuruni tangga. Gladys berbalik ke arah jalanan berharap masih bisa melihat mobil Arsen. Yang hanya bisa menatapnya dari atas balkon.
Gladys segera meninggalkan balkon, melangkah menuruni tangga menghampiri Dokter yang sudah Arsen siapkan untuknya. Haruskah ia berterimakasih karena Arsen sudah peduli padanya walau terlambat.
*****
Arsen menepikan mobilnya di sebuah gedung tinggi berlogo Handerson. Salah satu perusahaan ternama yang dikenal sepanjang dunia.
Mata elang itu menatap fokus pada gedung, lalu turun dari mobilnya berjalan memasuki perusahaan. Tidak berselang lama sebuah mobil berhenti di belakang mobilnya. Nico, turun dari mobil itu melangkah mendekat.
"Apa meetingnya sudah di mulai?"
"Sudah Tuan."
"Bagus. Kita masuk sekarang."
Dengan gaya angkuhnya Arsen memasuki gedung. Menutupi mata elangnya dengan kacamata hitam. Nico, mendampinginya. Dalam seketika mereka jadi pusat perhatian.
Di dalam ruangan keadaan ricuh. Para petinggi saham saling berselisih tentang turunnya saham perusahaan. Tiba-tiba Arsen datang mengejutkan mereka semua. Sebab, tidak ada satupun dari mereka yang mengenalnya.
"Siapa kamu?" tanya seorang wanita dia adalah Davira Wibert pemilik perusahaan. Bibir Arsen tersungging tipis melihat wanita itu.
"Aku dengar perusahaan ini sedang pailid. Aku datang untuk menyelamatkan perusahaan ini." Ucap Arsen, yang menopang tangannya di bawah dagu.
"Siapa kamu beraninya memasuki perusahaanku?"
"Apa Nona tidak mengenal siapa Tuan ku?" Kini Nico yang menyahut. Davira semakin kesal atas kedatangan kedua pemuda yang tidak di undang itu.
"Tidak apa-apa Nico. Biar aku perkenalkan." Arsen menopang kedua telapak tangannya di atas meja. Tubuh tegaknya menatap pada semua orang yang ada di ruangan itu. Dengan tegasnya Arsen berkata, "Perkenalkan saya Arsenio Gavin Alvaro, pewaris keluarga Wilter," ucapnya membuat Davira termenung.
"Arsenio? Nama itu seperti tidak asing di telingaku," gumam Davira tetapi Arsen bisa mendengar.
Tentu saja karena kita sangat mengenal, batin Arsen.
"Apa anda pemilik Wilter grup?"
"Wilter grup yang sangat dikenal itu?"
Para investor mulai tertarik. Karena mereka tahu Wilter grup adalah perusahaan yang sangat besar. Namun, tidak dengan Davira yang menolak kerjasama dengan Arsen karena menginginkan setengah sahamnya.
"Nyonya Davira kenapa anda menolak? Perusahaanmu sudah si ujung tanduk. Bersyukurlah masih ada orang yang akan menyelamatkan perusahaanmu."
"Ya, benar. Kita tidak ingin rugi ya Nyonya." Para penanam saham ikut protes.
"Saya tidak bisa memberi keputusan sebelum suami saya kembali."
"Memangnya dimana suamimu?" tanya Arsen yang tidak sabar mendengar jawabannya.
"Suaminya masih di Roma, menjalankan bisnis yang sama sekali tidak berkembang," ucap seorang klien nya.
"Aku hanya ingin memberitahukan mu Nyonya. Jika kamu menolak tawaranku perusahaammu tidak akan terselamatkan. Jika Kamu ingin menunggu suamimu silahkan saja. Ku berikan waktu mu hingga esok malam. Ini kartu namaku." Arsen memberikan kartu namanya. Lalu pergi meninggalkan mereka semua.
"Nico, hubungi seseorang untuk menyelidiki Lucas Wilbert di Roma."
"Baik Tuan."
"Mungkin kerjasama kita gagal. Tapi kita mendapatkan informasi yang sangat penting. Orang yang selama ini ku cari ternyata ada di Roma, Itali." Arsen segera memasuki mobilnya pergi meninggalkan tempat itu begitu pun dengan Nico.
****
Gladys hanya diam merenung di atas balkon kamarnya. Merasa tidak ada kegiatan yang dilakukan sungguh sangat membosankan. Mungkin jika dia tidak di jual orangtuanya Gladys masih bisa menikmati masa mudanya yang hidup bebas tidak terkekang.
Kadang Gladys berpikir siapa orangtua kandungnya? Dan dimana mereka? Saat itu Gladys tidak ingat, dirinya masih kecil. Yang diingat hanyalah ketika ia menangis di tengah jalanan mencari keberadaan ibu dan ayahnya. Rasa takut terus menghantui, beruntung ada seorang wanita yang baik menyelamatkannya. Membawanya ke rumah itu.
"Siapa namamu? Dimana ibumu?" tanya wanita itu. Gladys hanya menangis memanggil-manggil ibu dan ayahnya.
"Dimana ibumu?" Gladys hanya bisa menggeleng.
"Kamu ikut Tante. Besok kita kembali ke sini mencari ibu dan ayahmu." Gladys hanya mengangguk lalu pergi dengan wanita itu.
"Siapa bocah itu? Kenapa kamu membawanya ke sini?" Gladys sangat takut melihat pria itu. Itulah hari pertamanya bertemu Jicko yang tidak seramah isterinya.
"Aku menemukannya di jalanan Mas. Biarkan dia tinggal di sini kasihan dia."
"Memangnya rumah kita penampungan. Bawa pergi anak itu kecuali kamu bisa merawatnya sendiri." Begitulah Jikco dari dulu tidak menyukai Gladys.
"Siapa namamu?" Gladys pun tidak ingat siapa namanya. Entah karena terlalu kecil atau takut hingga lupa namanya sendiri. Hingga akhirnya wanita itu memberikan namanya Gladys.
"Seandainya ibu masih ada mungkin aku tidak akan pernah ada di sini." Wanita tidak sekejam katrin istri Jicko yang sekarang.
Krekk,
Suara itu membuyarkan lamunannya. Gladys bangkit dari duduk mencari asal suara itu. Hingga saat di belakang rumah Gladys melihat sebuah pintu terbuka. Namun, Gladys tidak tahu jika itu adalah kandang seekor macan.
"Kandang apa ini?" Gladys melangkah lebih maju memasuki kandang itu, ia tidak melihat apapun di sana. Berpikir jika peliharaan Arsen hilang dan akan mencarinya.
"Apa pria itu memiliki seekor anjing? Atau kucing? Gawat. Jika hilang aku pasti di marahi." Gladys hendak keluar dari kandang untuk mencari hewan yang dianggapnya seekor anjing. Namun, seekor macan sudah berada di depannya.
Gigi taring dan tajam, tatapan sangar menakutkan, dan kuku-kuku akrilik yang sangat runcing begitu mengerikan, saat tubuh besar itu melangkah ke arahnya tidak ada yang bisa dilakukan selain lari.
"Tidak, aku tidak ingin mati di makannya. Tolong!" Gladys terus berlari mengelilingi kandang itu. Larinya tidak begitu cepat karena kakinya masih terluka. Hingga macan itu mendekat dirinya tidak bisa lagi menghindar.
"Ah!"
Srekk,
Dorr!.
...----------------...
Di tunggu kiriman bunga dan kopinya ya 🤗 biar author gak ngantuk dan semangat nulisnya. Pasti penasarankan apa yang terjadi pada Gladys ☺. Komentarnya jangan lupa🙏.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Pia Palinrungi
apakah arsen yg menembank peliaraannya..??
kalau bener berarti dimulai ada rasa sm gladys krn tdk mau gladys mati krn hewan itu
2023-08-04
0
Sri Mulyati
yang yang kena tembakan?
Semoga bukan Gladys.
Semangat 💪💪💪 juga up nya Thorrr 😘😘😘😘😘😘😘😘 😘
2023-03-16
2