“Wuxian! Aku menemukan sebuah lorong. Sepertinya, lorong itu bisa menjadi jalan kita keluar dari Kota ini,” cetus Huang Chao seraya menghampiri Huang Chao dan anak kecil yang bersamanya.
“Benarkah? Apakah lorong itu aman? Bagaimana dengan penduduk lain? Apa mereka juga bisa menyelamatkan diri bersama kami?” tanya Wuxian secara beruntun.
Huang Chao menghela nafasnya, tatkala Wuxian lagi-lagi mencemaskan orang lain, lebih daripada dirinya sendiri. “Wuxian, aku benar-benar heran denganmu. Adakalanya, kau tidak perlu menjadi orang yang terlalu baik. Tentang penduduk Kota, kau tidak perlu mencemaskan mereka. Aku telah menghimbau mereka untuk pergi dari lorong yang kutemukan. Mereka telah berbondong-bondong untuk keluar dari Kota ini lewat jalur tersebut. Dan, kau bisa tenang. Aku telah memastikannya dan memeriksanya dengan diriku sendiri. Aku telah menyusuri lorong itu. Tidak ada bahaya, jalurnya menghubungkan ke tempat asing yang cukup gelap. Dari nuansa yang bisa kucermati, itu adalah gua. Lupakan tentang menjelaskan lorong itu. Yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan diri kita sendiri. Ayo!” ajaknya.
Yu Wuxian dan anak kecil yang diselamatkannya, bersama Huang Chao menuju ke jalur lorong yang disebutkan oleh Huang Chao.
Ketika hampir tiba, banyak penduduk Kota yang berbondong-bondong mengantre agar bisa bergiliran keluar lewat jalur lorong tersebut. Sedangkan Huang Chao dan Wuxian pun mengalah dan menunggu para penduduk Kota itu keluar terlebih dahulu. Setelah semuanya telah masuk ke dalam lorong, kini giliran Wuxian dan Huang Chao yang masuk ke dalam sana.
Di dalam lorong, terasa dingin dan lembab. Tik… tik… tik… sedikit demi sedikit air menetes dari celah-celah batu dinding lorong tersebut. Tanah yang mereka injak pun terasa becek, karena air yang menetes dari celah dinding lorong tak pernah berhenti, meskipun tidak deras dan hanya tetes demi tetes saja.
“Ada apa?” tanya Wuxian kepada anak yang ia selamatkan, ketika anak itu menarik pakaian Wuxian.
“Kakak, sekarang kita ada di mana?” tanya anak itu kepada Wuxian.
“Ini… ini jalur lorong,” jawab Wuxian seadanya.
“Kenapa sangat gelap dan menakutkan?” tanyanya.
“Karena tak ada satu pun cahaya. Tapi tenang saja. Setelah kita keluar dari sini, di luar tidak akan segelap ini.” Wuxian berusaha menenangkan.
“Kakak, apa kau bisa membantuku menemukan orangtuaku? Apa orangtuaku juga ikut bersama kami? Apa mereka aman?” tanya anak itu.
Wuxian terhenyak kala mendengar pertanyaan dari anak itu. Ia tertegun dan benar-benar tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Dia tak bisa menjanjikan apa pun kepada anak itu, selain keselamatannya yang akan dia lindungi sebisa mungkin.
Huang Chao terdiam bukan karena ia tidak mendengar dan tidak benar-benar perduli dengan pembicaraan keduanya. Ia mendengar dengan baik, tentang apa yang saat ini tengah mereka bicarakan. Namun, ia memilih untuk diam dan tidak ikut campur. Hingga ketika Wuxian terdiam, Huang Chao barulah memiliki inisiatif untuk angkat bicara.
“Hei, anak kecil… berhenti mengkhawatirkan hal lain dan khawatirkan saja dirimu sendiri. Jangan membuat orang lain kerepotan dengan masalah pribadi yang tidak menguntungkan. Kita tidak memiliki banyak kesempatan hanya untuk mengkhawatirkan urusan pribadi yang tidak berhubungan dengan tujuan,” ucap Huang Chao sembrono. Dia benar-benar tidak memikirkan siapa yang tengah ia ajak bicara, meskipun anak kecil sekalipun. Huang Chao benar-benar tidak perduli dengan perasaan mereka.
Anak itu hanya terdiam mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Huang Chao. Kata-kata Huang Chao terlalu kejam untuk didengar oleh anak kecil seumuran anak itu. Akan tetapi, Huang Chao benar-benar tidak perduli apakah dia akan melukai perasaan anak sekecil itu. Huang Chao tidak perduli, karena ia tidak pernah ingin perduli dengan perasaan orang lain yang dianggap merepotkan.
“Aku akan membantumu menemukan mereka,” cetus Wuxian.
“Benarkah? Apa kau benar-benar akan membantuku menemukan kedua orang tuaku?” Anak itu tidak terlalu yakin dengan apa yang baru diucapkan oleh Wuxian kepadanya.
“Benar. Aku tidak pernah berbohong dengan ucapanku. Jika aku memutuskan untuk mengatakan sesuatu, sebisa mungkin aku pasti akan memenuhi perkataan itu,” cetus Wuxian.
“Hekh!” Huang Chao. “Wuxian… Wuxian… kau adalah orang paling bodoh yang pernah aku temui. Senang sekali merepotkan diri sendiri, dengan mencampuri urusan orang lain. Aku tidak percaya jika aku menjadikan orang terbodoh ini saudaraku. Ya, ya… lakukan sesukamu, karena percuma saja jika aku melarangmu. Anak keras kepala sepertimu tidak akan pernah mendengarkan semua ucapanku. Keputusanmu tidak pernah bisa diganggu gugat,” celetuk Huang Chao dengan nada bicara malas.
“Oh, ya. Siapa namamu?” tanya Wuxian kepada anak kecil itu.
“Li Jing, namaku Xiao Li Jing,” jawabnya.
“Hmm… nama yang bagus,” ucap Wuxian. “Aku Wuxian, dan dia Kak Huang Chao,” lanjutnya.
Anak yang bernama Li Jing pun hanya terdiam sembari mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.
“Di depan sana sudah terlihat tidak terlalu gelap. Sepertinya, sebentar lagi kita akan sampai ke pintu lorong,” ucap Huang Chao.
“Benar. Di depan sana sudah tidak terlalu gelap. sepertinya, kita akan segera keluar dari lorong ini,” ujar Wuxian.
Mereka pun mulai mempercepat langkah mereka, mengejar cahaya redup yang perlahan mulai terang. Lorong yang tengah mereka arungi memang cukup panjang.
Ketika Wuxian telah hampir keluar dari lorong, tiba-tiba seseorang menghentikan langkahnya hingga Wuxian tak sengaja menabraknya dari belakang. Wuxian dengan tangkas meraih lengan orang itu agar tidak terjatuh karenanya. Kemudian, Wuxian pun bertanya, “Kau tidak apa-apa?” tanyanya.
Orang itu membenarkan posisi tubuhnya, lalu berbalik menatap wajah Wuxian di kegelapan. “Aku tidak apa-apa, terimkasih,” ucapnya.
“Tidak, kau tidak perlu berterimakasih. Seharusnya, aku yang meminta maaf. Maaf karena sudah menabrakmu. Aku kurang berhati-hati,” ucap Wuxian.
“Tidak masalah,” ujarnya.
“Kakek, apa itu kau?” Tiba-tiba anak yang bernama Li Jing angkat bicara dan bertanya kepada orang yang tidak sengaja Wuxian tabrak, dengan sebutan ‘Kakek.’
“Siapa kau?” tanyanya.
“Aku Li Jing,” jawab anak itu.
“Li Jing… apa itu kau, Nak? Apa kau berhasil selamat?” tanyanya.
Tanpa banyak berpikir, Li Jing berlari ke arah Kakek itu dan memeluknya dengan erat. Ia menangis di pelukan Kakek itu.
“Li Jing, apa kau terluka?” tanya Kakek itu.
“Aku baik-baik saja. Berkat Kakak-Kakak ini, aku berhasil selamat,” ujarnya.
“Benarkah? Kalau begitu, terimakasih karena telah menyelamatkan cucuku,” ucap Kakek itu. Samar-samar terlihat di tengah kegelapan, ia menundukkan kepalanya, isyarat berterimakasih kepada Huang Chao.
“Tidak, kau tidak perlu berterimakasih padaku. Sudah tugasku untuk menolong orang lain,” ujar Wuxian.
“Kau tidak perlu berterimakasih kepadaku, tetapi kau bisa berterimakasih kepada Wuxian. Di sini, Wuxian adalah pahlawannya. Dia yang menolong anak itu tanpa memikirkan konsekuensi, bahkan tanpa kemampuan,” sindir Huang Chao.
“Kak Chao … .”
“Kenapa? Bukannya memang itu kenyataannya? Hei, Wuxian! Pasti menyenangkan bagimu karena telah bersikap sok pahlawan,” celetuk Huang Chao.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments