"Udah jangan banyak nanya. Kayak wartawan aja lo. Sekarang lo gue kasih tugas baru. Bawain laptop dan kasur buat gue tidur!" perintah Djiwa seenaknya.
"Iya," jawab Rendi pasrah.
Rendi pun melakukan tugasnya sebagai asisten yang baik. Menyiapkan keperluan Djiwa selama tinggal di kontrakkan. Djiwa pun melakukan akting yang baik dengan berpura-pura terharu saat Rendi menolongnya, tentu hanya di depan Mawar saja. Di belakang Mawar, Rendi kembali kena omelan.
Djiwa yang sedang tiduran di atas kasur tipis tiba-tiba terkejut saat ada suara ketukan di pintu. Djiwa membukakan pintu dan nampak Mawar berdiri di depan rumah Djiwa membawa nampan berisi nasi dan lauk.
"Aku bawa makanan buat Mas Djiwa." Mawar masuk ke dalam rumah Djiwa dengan cueknya dan menaruh nampan di atas lantai.
"Aduh Mawar, aku jadi tak enak hati nih. Aku selalu saja merepotkan kamu. Aku malu. Andai aku tidak kena hipnotis, aku tak perlu menyusahkan kamu kayak begini," kata Djiwa dengan nada memelas.
"Aku bantu Mas Djiwa ikhlas kok, mengharap pahala dari Allah. Ayo dimakan dulu, Mas. Nanti dingin." Mawar duduk di ruang tamu Djiwa dan menemani Djiwa yang makan dengan lahap. Masakan Mawar memang enak dan sesuai selera Djiwa. Tak heran kalau Djiwa yang lapar menghabiskan sampai sepiring penuh.
"Kontrakkan Mas Djiwa masih kosong ya. Hanya kasur saja satu dan tak ada yang lain. Kalau Mas bosan, boleh kok numpang nonton TV di rumahku. Biar ada hiburannya," tawar Mawar dengan tulus.
Djiwa menahan dirinya untuk tidak tertawa, TV 14 Inch yang dianggapnya sangat jadul malah ditawari Mawar untuk hiburan. Lucu sekali. Mawar yang baik dan polos, tipe yang sangat Djiwa suka. Sayang, Mawar sudah janda. Bukan perawan tingting, tapi tak masalah bagi Djiwa. Sekali ia jatuh hati, ia akan terus mengejar mangsanya.
"Jam segini memang acara yang bagus apa?" tanya Djiwa.
"Ada kontes dangdut, sinetron dan film kartun. Ayo Mas, ke rumah aku saja. Daripada Mas bosan di rumah." Mawar pun mengajak Djiwa ke rumahnya.
Mawar membuka pintu rumahnya agar tidak terjadi fitnah. Dinyalakannya TV 14 Inch miliknya, Djiwa sekuat tenaga menahan tawanya melihat TV 14 Inch tersebut kini menjadi hiburan satu-satunya.
Mawar pun menyetel kontes musik dangdut yang lebih banyak komentar jurinya dibanding peserta menyanyi. Sesekali Mawar tertawa saat lelucon di TV dilontarkan.
Tanpa sadar Djiwa terus memperhatikan Mawar sambil tersenyum. Perempuan di depannya sangat sederhana. Ia bisa saja menjadi wanita yang tinggal menikmati kekayaan jika memilih salah satu lelaki centil yang menggodanya jadi suami. Namun Mawar malah memilih bekerja keras menafkahi dirinya dan hidup sederhana. TV 14 Inch jadul adalah hiburan sederhananya. Hal yang sudah langka sekali terjadi.
"Eh, Mas Djiwa suka tidak dengan kontes musik dangdut ini? Kalau Mas Djiwa tidak suka biar aku ganti. Mau nonton apa?" tanya Mawar tiba-tiba. Djiwa yang sedang menatap Mawar cepat-cepat membuang pandangannya, jangan sampai Mawar melihatnya sedang memandang tanpa berkedip.
"Tak apa. Mawar nonton saja. Aku sedang banyak pikiran." Djiwa lalu kembali berakting layaknya orang yang sedang banyak masalah. Ia teringat ekspresi karyawannya yang terlilit pinjol dan kini malah mengikuti ekspresi karyawannya tersebut agar Mawar percaya.
Mawar mengecilkan TV yang ia tonton dan mengajak Djiwa berbicara serius. "Mas Djiwa memikirkan apa?"
"Banyak, Mawar." Djiwa lalu menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Mirip sekali dengan ekspresi karyawannya yang terlilit pinjol. Kosong, bagaikan tak ada semangat hidup.
"Cerita saja. Siapa tau aku bisa bantu," kata Mawar.
"Aku pikir, merantau di Jakarta akan membuat hidupku lebih baik namun ternyata tidak. Baru datang saja sudah disambut dengan kejamnya Ibukota. Uang tabunganku raib, malah aku berhutang budi pada Mawar dan sepupuku. Padahal uang tersebut ... hasil panen kopi yang kukumpulkan bertahun-tahun." Djiwa meneteskan air matanya, membuat Mawar merasa kasihan dengan penderitaan yang Djiwa rasakan.
"Ya Allah, Mas. Sabar ya." Mawar menghibur Djiwa. Meski awalnya ragu, namun Mawar akhirnya mendekat dan menepuk lembut bahu Djiwa yang masih menangis.
"Aku harus apa Mawar? Huaaa ...." Akting Djiwa semakin jago saja. Menangis sesegukan pun ia lakukan.
Mawar yang pernah merasakan ada di posisi Djiwa menangkup wajah Djiwa. Mata mereka kini saling tatap. Mawar menatap Djiwa dengan tatapan penuh yakin, sementara Djiwa yang berakting nangis mulai grogi dengan sikap spontan Mawar.
"Mas Djiwa tenang saja, aku akan bantu! Mas Djiwa jangan mudah putus asa. Uang masih bisa dicari. Masih ada jalan. Mulai besok, Mas bisa bantu aku jualan. Mas Djiwa mau?" Mawar menatap Djiwa dengan kesungguhan hatinya ingin membantu.
"Aku malu." Djiwa yang tak sanggup ditatap Mawar terus pun mengalihkan pandangannya.
Mawar kembali menangkup wajah Djiwa. "Tak perlu malu, Mas. Kita usaha bareng. Mungkin warung aku bukan warung besar, namun kita bisa memajukannya bersama. Yang penting kita punya uang untuk makan. Mau ya?"
Malu-malu Djiwa menganggukkan kepalanya. Ia tak sanggup sedekat ini dengan Mawar. Jiwa liarnya mulai tak terbendung dan ingin menyergap Mawar lalu menghimpitnya dibawah kungkungan lengannya yang kekar. Kelemahan Djiwa adalah gadis polos. Mawar bisa meruntuhkan pertahanan diri Djiwa jika terus mendekat seperti ini.
Mawar tersenyum puas. Dalam jarak dekat begini, Djiwa melihat betapa cantiknya Mawar, apalagi saat tersenyum. Sekuat tenaga Djiwa menahan dirinya. Bahaya. Alarm lelakinya mulai berbunyi.
"A-aku sakit perut, Mawar. Aku ke kamar mandi dulu!" Djiwa berdiri tiba-tiba dan melangkah keluar rumah Mawar. Ia berhenti di depan pintu lalu bicara lagi pada Mawar. "Besok aku harus apa?"
"Ke rumahku ya jam 3 pagi. Kita belanja ke pasar," jawab Mawar sambil tersenyum.
"I-iya." Cepat-cepat Djiwa pergi ke rumah kontrakkan barunya dan mengunci pintu. Ia bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan melampiaskan hasratnya yang memuncak sendiri. Bayangan Mawar yang tersenyum cantik ada di pikiran Djiwa disertai suara eerangan miliknya dan nama Mawar yang terus ia sebut. Kamar mandi ini jadi saksi Djiwa menahan dirinya, tidak langsung eksekusi seperti biasa.
*****
Keesokan subuh, Djiwa terbangun karena alarm ponsel jadulnya berbunyi kencang. Ia malas untuk bangun namun teringat janji yang ia buat bersama Mawar semalam. Djiwa pun pergi ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Ia mengganti celana pendeknya dengan celana training panjang dan jaket.
Sambil menguap, Djiwa mengetuk pintu rumah kontrakkan Mawar. Tak lama Mawar membuka pintu dan menyambut Djiwa dengan senyuman manisnya. "Ayo, Mas! Kita naik mobil sewaan."
Djiwa menurut saja saat dirinya ikut dengan Mawar naik mobil pick up dan harus duduk di belakang bersama ibu-ibu dan bapak-bapak. "Mereka siapa?" tanya Djiwa sambil berbisik.
"Pejuang subuh. Sama kayak kita. Bedanya, mereka itu jualan sayur keliling," jawab Mawar.
Djiwa diam saja selama perjalanan dan terkejut saat dirinya masuk ke dalam tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya.
"Pasar Induk?"
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
✨️ɛ.
impas dong, Dji.. lu juga udah gak tong² lagi..
2024-08-30
0
Dwi Sasi
Perjuangan hidup
2023-12-20
0
Abie Mas
pasar induk
2023-08-05
1