Setelah menenangkan dirinya sendiri di kamar mandi, Jena bergegas keluar. Dia mengurangi rambutnya supaya menutupi punggung. Max sudah menunggu di sana, pria itu terlihat kesal.
"Maaf saya sedikit lama tuan."
"Kau memang lama," ucap Max kemudian mengulurkan tangannya di mana Jena dengan ragu melingkarkan tangan di sana. Mereka berjalan layaknya sepasang kekasih.
"Apa orang-orang tidak akan curiga seorang majikan membawa sekretarisnya seperti ini, tuan?"
"Mereka tidak akan menganggapmu sebagai kekasihku, kau tidak cukup cantik untuk itu."
Jena hanya menyunggingkan senyumannya menahan kesal. Mereka memasuki ballroom pesta, beberapa mata terpaku padanya. Max langsung membawa Jena pada kerumunan orang yang sudah menjadi targetnya.
"Maxime, kau terlihat berbeda malam ini. Dengan Kekasihmu?"
Bukan dia adalah sekretarisku, aku sudah resmi mengambil alih perusahaan nenek. "Dia sudah tidak bisa lagi berdiri."
"Oh benarkah. Kau jena?"
"Salam kenal." Jenna menyalami tangan itu dan duduk dalam satu Bundaran meja yang sama.
"Kau sudah mengenalku, Jenna. Hanya saja aku yang tidak mengenalimu karena dari tahun ke tahun kau terlihat semakin cantik."
Jena terkekeh dengan Anggun. "Itulah yang dinamakan dengan perubahan ke arah yang lebih baik."
Max menyipitkan matanya melihat bagaimana respon Jena terhadap laki-laki. Dia terlihat Jengah. "Mana orang yang akan bekerja sama denganku, paman?"
"Sebentar lagi dia akan datang. Tunggu saja di sini."
Karena Jenna merasa tidak nyaman di sini, apalagi tatapan pria tua itu terlihat mesum.
"Bolehkah saya pergi dari sini tuan? Bukankah ada misi yang harus saya kerjakan?"
"Tarik perhatian mereka dan bawa ke meja ini."
"Baik, Tuan."
Setidaknya Jena tidak lagi mendapatkan tatapan sinis dari Max, dan tatapan jijik dari pria tua itu.
"Dia terlihat sangat cantik, Max, kau yakin tidak tertarik dengannya?"
"Aku tidak tidur dengan sembarangan wanita," ucapnya sambil meneguk wine.
Mengalihkan pembicaraan dengan kalimat. "Aku akan mengunjungi nenekmu nanti, dia pasti sangat merindukan sahabatnya ini."
Namun, Max terlanjur mengetahui apa yang ada di dalam otak pria tua itu. "Kau tertarik dengannya paman? Wanita bernama Jena itu?"
"Siapa yang tidak tertarik dengan gadis muda yang terlihat begitu elegan, independen dan juga percaya diri sepertinya."
"Gadis?" Max memainkan wine di tangannya. "Dia wanita yang tidak terduga."
****
Jena berhasil menarik perhatian pria pria itu hanya dengan kecantikan dan juga pesonanya. Satu per satu pria itu datang ke meja tempat Max berada. Hingga ketiga pria itu selesai dibawa sesuai keinginan Max.
"Duduk di sini dulu." Perintah Max pada Jena. Kemudian baru mereka mulai pembahasan tentang bisnis, Jena ikut andil di dalamnya karena dia tau proyek pembangunan hotel yang harusnya dilakukan oleh Emma pada bulan depan.
Jena yang memimpin pembicaraan, menjelaskan bagaimana keuntungan jika tempat itu dibangun hotel dan tempat wisata. "Tidak mengenal musim, konsep ini akan abadi dan sesuai dengan tujuan kita yaitu meraup keuntungan yang lebih banyak. Lokasi yang strategis menjadi nilai jualnya."
"Bagaimana dengan pemerintahan di sana?" Tanya salah satu.
"Kami sudah mengurusnya, hanya tinggal eksekusi saja," Ucap Jena.
"Sepertinya aku tertarik."
"Aku juga. Apalagi orang yang meng-handle semua ini adalah wanita cantik sepertimu." Menatap Jena dengan matanya yang berwarna biru. "Karena aku sudah menyatakan setuju, bolehkan aku meminjam sekretaris mu, Tuan Max? Ada lantai dansa yang menunggu kami."
Max meneguk minumannya. Dia melirik Jena yang memberikan senyuman pada pria di depannya. Seolah mengabaikan Max sebagai majikannya. "Bawa saja dia pergi."
Setelah Jena dan pria itu pergi, baru dua pria lainnya merasa kalah. "Sebenarnya aku juga tertarik dengan sekretaris mu itu, Tuan Max."
"Dia menawan." Puji yang satunya lagi.
Max mengetatkan rahangnya melihat bagaimana Jena berdansa dengan lembut di sana. Matanya juga menatap sang lawan. "Mata Anda sangat indah, Tuan."
"Jangan bicara formal denganku. Kau bisa memanggilku sesuka hatimu."
"Aku tidak boleh melakukannya. Anda adalah rekan kerja majikanku."
"Itu dalam circle kerja. Kita bisa bertemu di luar jam itu. Kau mau?" Tanya pria itu menggoda. Bahkan tangannya sekarang sudah mulai turun hendak menyentuh panttat Jena. Sayangnya, Jena menahan pergelangan tangan itu dan kembali mengarahkannya pada pinggang. "Ada apa? Kau ingin tas baru? Ayok, aku belikan." Pria itu tampak menggebu. "Katakan saja apa yang kau inginkan. Akan aku berikan apapun itu. Kekayaan? Kau bisa mendapatkannya. Ayo kita bermain, Jena."
Jena terkekeh, dia mengelus belakang leher Sang pria kemudian berbisik tepat di telinganya, "Hanya orang tertentu yang bisa menyentuhku."
****
Max membiarkan Jena sesuka hatinya, meskipun matanya tidak bisa melepaskan pandangan ketika Jena dan pria itu semakin dekat. "Sepertinya kau juga tertarik dengan sekretaris nenekmu itu, Max."
"Tidak, Paman, aku hanya tidak mau dia terluka dan membuatnya tidak bisa bekerja."
Dirasa sudah cukup, Max berdiri dari duduknya. Hal itu menarik perhatian Jena. Dari tatapannya saja, Jena sudah tau kalau ini waktunya pulang. Jadi, Jena berpamitan pada pria yang tengah berdansa dengannya itu. "Saya permisi dulu, Tuan."
Dalam langkahnya, Max tidak mengatakan apapun. Bahkan pria itu tidak menggandeng Jena lagi. Mereka masuk ke dalam mobil dan hanya ada keheningan yang melanda.
"Ini bukan jalan pulang." Jena kebingungan.
"Kita akan melakukan satu pekerjaan lagi." Max menjawab dengan wajahnya yang begitu dingin
Mereka berhenti di hotel yang berbeda, Jena hanya mengikuti dari belakang. Setiap dia bertanya, "Kemana kita akan pergi? Siapa yang akan anda temui lagi, Tuan?" Karena setahu Jena, sudah tidak ada lagi target untuk proyek pembangunan hotel dan tempat wisata.
"Diam dan ikuti saja aku." Max membawanya ke sebuah kamar suite dengan pemandangan yang sangat indah. Max membuka jasnya. Sementara Jena masih berada di depan pintu yang baru saja tertutup. "Mana orang yang akan kita temui?"
"Orang? Aku bilang kita yang akan melakukan perkejaan." Membuka kancing kemejanya sambil menatap tajam pada Jena. "Lakukan lagi. Seperti malam itu."
"Apa maksud anda?" Jena mencoba menahan rasa takutnya.
"Kau ingin melayani ku seperti malam itu, atau aku siksa lagi seperti dulu, Jena?" Kini Max sudah bertelaanjang dadda melangkah mendekati Jena yang perlahan mundur. "Hanya dua pilihan yang kau miliki. Kusetuubuhi, atau aku sakiti?"
***
To be continue
Komentarnya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 12 Episodes
Comments
gia nasgia
Bilang aja kalau kamu cemburu Jena di dekati pria lain
2025-03-01
0
Ass Yfa
sakit bngt... masuk kandang macan Jena... nggk bisa keluar dgn mudah...
2023-11-09
0
Dewi Ariyanti
mendingan ngak 2 2nya pergi aja jena
2023-08-27
0