Arra melambaikan tangannya pada Edo yang mulai membawa mobilnya pergi dari depan gerbang kostnya. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul delapan malam. Arra tersenyum kecut, lalu berbalik dan melangkah masuk dengan plastik putih hasil belajaan yang Edo belanjakan untuknya tadi.
Ia mulai naik ke lantai dua, dan melangkah menuju depan kamarnya, diputarnya kunci lalu masuk kedalam.
Arra menghela nafas sejenak, kenapa rasanya begitu aneh? Bukan apa-apa, ia merasa hampa setelah berpisah dengan sosok Edo, kenapa begitu aman dan nyaman ketika bersama sosok itu? Apa namanya perasaan aneh ini?
Arra bergegas melepas sepatunya, meletakkan plastik belanjaan di dekat rak sepatu lalu melangkah masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya.
Arra menatap bayangan wajahnya di cermin, kenapa setiap mengingat Edo wajahnya memerah? Seperti saat ini, saat mengingat Edo begitu sabar mengantarnya kemana-mana, saat ia menggenggam erat tangannya, apakah tadi wajahnya Semerah ini?
Arra tersenyum kecut, ia buru-buru mencuci wajahnya lalu segera mandi untuk menghilangkan rasa lengket di badannya. Ia masih belum mengerti, sebenarnya perasaan apa ini?
***
Edo merasa hampa ketika jok di sisinya kosong, ia memutuskan untuk pergi ke kost Zadid, teman kuliah dan teman koas nya. Ia kebetulan sudah pulang jaga, jadi Edo langsung saja meluncur ke tempat kost Zadid.
Edo turun dari mobil ketika melihat sosok itu sedang duduk di depan kamar kostnya. Edo tersenyum lalu melangkah menghampiri sosok itu.
"Darimana?" tanya Zadid sambil tersenyum melihat kedatangan Edo.
"Dari mana-mana," jawab Edo asal lalu duduk di sebelah Zadid.
Zadid memetik gitarnya, sementara Edo masih berkutat dengan pikiran dan perasaannya, hingga kemudian ia menyenggol lengan Zadid hingga sosok itu berhenti memetik gitarnya dan menatap Edo lekat-lekat.
"Lu kenapa sih? Lesu amat kayaknya?" Zadid tahu, pasti Edo sedang ada masalah bukan?
"Kalau gue jatuh cinta sama anak tiga belas tahun, menurut lu gimana?" tanya Edo lirih.
"Gile! Sadar, Do! Anak tiga belas tahun? Lu pedofil?" Zadid hampir berteriak, memang tidak ada gadis seusia Edo yang menarik perhatian? Kenapa harus anak tiga belas tahun?
"Masa cuma karena gue jatuh cinta sama anak tiga belas tahun ku katakan pedofil sih? Gue nggak ada niatan mau jahat ke dia, cuma ada perasaan ke dia, Did!" protes Edo tidak terima, ia malah ingin terus melindungi Arra, bukan malah merusaknya.
"Kenapa harus anak tiga belas tahun, Do?"
"Entah, gue udah jatuh cinta ke dia saat dia masih empat tahun."
Zadid melongo, ditatapnya Edo dengan tajam. Dia tidak salah dengar kan? Edo sudah jatuh cinta sama dia sejak dia umur empat tahun? Jatuh cinta sama anak umur empat tahun? Wah kelainan nih Edo!
"Apa? Lu jangan mikir gue aneh-aneh, Did! Gue cuma jatuh cinta sama dia, bukan sama setiap bocah di bawah umur!" terang Edo sebelum Zadid mengunduhnya yang tidak-tidak.
"Kok bisa gitu sih, Do? Gue nggak habis pikir!"
Edo hanya menghela nafas panjang sambil menggelengkan kepalanya, ia sendiri juga tidak tahu kenapa ia bisa seperti ini. Cuma bayangan Arra benar-benar sejak dulu sudah menganggunya!
"Siapa dia kalau gue boleh tahu?"
Edo buru-buru merogoh iPhone-nya lalu membuka WhatsApp, bahkan nomor Arra ia pin diteratas. Bergegas Edo membuka foto profil WhatsApp Arra dan menyodorkan ke Zadid.
"Ini kan yang anak tiga belas tahun lolos FK UGM itu, Do!" pekik Zadid yang tahu betul siapa gadis itu.
"Ya betul, dan itu orangnya."
"Lu kenal dari kecil?" Zadid benar-benar penasaran, darimana mereka kenal?
"Dia anak temen bokap, makanya kenal soalnya bokap dia sama bokap gue kerja satu rumah sakit, temen baik lagi."
"Nah berarti gampang dong buat elu dapetin dia?"
"Tidak segampang itu, Did," guman Edo lirih, tiba-tiba hatinya menjadi pedih.
"Kenapa begitu? Katanya bokap kalian sahabatan?"
"Dia udah dijodohin sama Adek gue sendiri."
Zadid kembali terperanjat, astaga tahun moderen gini masih jalan model jodoh-jodohan? Tapi kalau gadis secemerlang itu sih nggak masalah kali ya kalau kemudian harus dijodohkan? Pasti papanya Edo tidak mau kehilangan calon mantu idaman bukan?
"Kenapa bukan elu yang dijodohin sama dia, Do?"
"Entah gue sendiri juga nggak tahu, sejak dulu banget dia udah jadi jatah Adek gue. Masa iya sih gue harus nikung adik sendiri, Did?" desis Edo lirih, matanya memerah, kenapa harus Aldo?
Zadid hanya tersenyum kecut sambil menepuk lembut pundak Edo. Ia tahu betul Edo dengan dilema. Selama sahabat dengan Edo, Zadid tahu betul Edo belum pernah jatuh cinta pada siapapun. Dan sekarang Edo tahu apa penyebabnya, ia jatuh cinta pada sosok itu. Gadis yang secara tidak langsung sudah menjadi milik adiknya sendiri.
"Gue harus gimana?" tanya Edo frustasi.
"Biarkan dia yang memilih!"
Edo menatap Zadid tidak mengerti, maksudnya apa dengan biarkan dia yang memilih?
"Tunjukkan perasaan lu ke dia, jangan terlalu mencolok takutnya dia tidak nyaman, buat dia nyaman sama elu, dan pada saatnya nanti biarkan dia yang memilih, mau nikah dan hidup sama elu, atau sama adik lu!"
***
Arra sudah selesai mandi, ketika kemudian iPhone-nya berdering, ia meraih iPhone itu, Aldo? Aldo menelponnya? Sontak wajah Arra menjadi cerah, dengan bergegas ia menerima panggilan suara itu.
"Hallo, kenapa Al?" Arra membaringkan tubuhnya di atas kasur, melupakan sejenak perasaan anehnya terhadap sosok Edo.
"Lancar kuliahnya? Aku kangen kamu nih."
Sontak senyum Arra mengembang, wajahnya makin memerah mendengar kata-kata Aldo dari seberang telepon.
"Ah yang bener? Sini main ke Jogja!"
"Belum bisa sekarang, kan tau sendiri aku nggak ada yang antar."
Arra tahu, bukankan mereka seumuran? Meskipun Aldo sudah jago bawa motor sendiri tapi anak tiga belas tahun tidak boleh bawa motor ke jalan raya bukan?
"Tunggu aku yang balik Solo kalau gitu," guman Arra sambil menatap langit-langit kamarnya.
"Oh ya, kapan mau balik? Nanti nonton ya kalau kamu balik?"
"Belum tahu sih, tunggu aja ya! Ini masih padat banget di awal kuliah."
"Kamu sih, masih tiga belas tahun ngapain buru-buru kuliah segala?"
"Ya karena aku mau cepet-cepet jadi dokter lah!" Arra tertawa, memang sih seharusnya ia masih duduk di bangku SMP bukan? Seperti Aldo, masih duduk di bangku SMP kelas satu, namun karena kelebihan Arra ia sudah harus duduk di bangku perguruan tinggi.
"Apa enaknya sih jadi dokter?"
"Enak, bisa jadi penolong sesama, bisa jadi orang yang berguna bagi sesama," jawab Arra mantab.
Terdengar Aldo mengembuskan nafas panjang, obrolan mereka terus berlanjut. Hingga Arra tidak sadar bahwa di Solo sana ada yang sedang berusaha keras menghubungi nomornya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
Heny Ekawati
susah ya klu adik sendiri yg jdi sainganx
2021-10-23
0
fina
teim arra aldo. biar jadi kaya Drakor DOTS😄
2021-03-27
0
Rosdiana
aduh, jatuh cinta aku sma karya mu thor😍
2020-12-08
0