Arra bergegas melepas seat belt-nya ketika mobil Edo sudah sampai depan gedung fakultas. Arra menoleh dan menatap Edo yang sudah begitu rapi dengan setelan scrub warna merah dengan bordir namanya sebagai dokter muda di dada sebelah kiri.
"Terimakasih banyak ya kak, semangat koas-nya," guman Arra lalu hendak turun ketika kemudian tangan Edo meraih tangan Arra.
Arra terkesiap, ia kembali menoleh dan mendapati tatapan lembut dan hangat itu dari manik mata Edo.
"Kamu semangat belajarnya ya, biar cepat lulus. Nanti kalau sudah pulang jangan lupa telepon kakak ya."
Arra kembali tersenyum, ia mengangguk cepat, kemudian dengan perlahan Edo melepaskan genggaman tangan itu. Arra segera melangkah turun, keluar dari mobil kemudian melambaikan tangannya sebelum ia melangkah masuk ke gedung fakultas.
Edo menatap nanar kepergian gadis itu, sepertinya apa yang Zadid katakan itu benar. Sedikit demi sedikit ia harus mulai menunjukkan tentang perasaannya pada Arra. Membuatnya nyaman ketika bersamanya dengannya. Sehingga kelak, ketika waktunya itu tiba, Arra bisa menentukan dengan siapa ia akan melabuhkan cintsnya. Kalau dia kemudian memilih Edo, orangtua mereka bisa apa?
Edo tersenyum, ia kemudian membawa mobilnya pergi dari halaman kampus, ia sendiri masih harus lanjut berjuang untuk mendapatkan gelar dokternya.
Setelah mendapatkan gelar dokternya, ia masih harus internship. Harapannya sepulang dari internship nanti, ia sudah bisa mendapatkan jawabannya. Jawaban apakah ia bisa menikahi sosok itu.
Iya ... Edo sudah tidak main-main lagi! Ia ingin langsung menikahi Arra. Ia sudah begitu mantab ingin menjadikan dia sebagai pendamping. Bukan hanya dijadikan pacar dibawa kesana-kemari, tapi hati Edo sudah semantap ini dengan Arra.
"Ra, Will you marry me?"
***
Arra tengah sibuk mencari buku untuk referensi tugas kode etik kedokteran di perpustakaan ketika kemudian sosok itu tiba-tiba berdiri di sebelahnya, sosok cowok ganteng yang tempo lalu tersenyum ke arahnya ketika ia sedang di kantin bersama Giselle.
"Hai, Arra!" sapanya sambil tersenyum.
"Oh, hai kak," Arra masih tampak berpikir, sebenarnya dia siapa sih?
"Kamu benar-benar lupa ya sama aku?" ujarnya sambil ikut mencari-cari buku di rak.
Arra tertegun, ia menatap sosok itu dengan seksama. Memang ia seperti pernah melihat dan bertemu sosok ini, namun dimana?
"Serius kak, Arra lupa," guman Arra kemudian setelah ia tidak berhasil mengingat siapa sosok yang kini berdiri di sebelahnya ini.
"Aku pernah sekali kerumah mu sama mama papaku, waktu adik kembar kamu lahir," guman sosok itu sambil tersenyum manis, amat manis.
Sontak Arra terkejut, bahkan pernah kerumahnya? Memang dia siapa? Anak sejawat orangtuanya?
"Kakak kerumah Arra?" tanya Arra masih tidak percaya.
"Iya, dulu lihat Endra sama Esa," sosok itu kembali tersenyum, "Coba tanya sama Om Yudha, kenal Dicky Chandra Wijaya nggak?"
Arra coba kembali mengingat, pasalnya ketika si kembar lahir dulu banyak sejawat orangtuanya yang datang membawa anak istri kerumah. Jadi Arra bingung, siapa sebenarnya sosok ini?
"Papa kakak namanya siapa?" tanya Arra kemudian, itu kunci utamanya bukan?
"Yanuar Wijaya, papa kita satu rumah sakit kerjanya, Arra."
Sontak senyum Arra mengembang, jadi anak dokter THT itu ya? Astaga!
"Oalah, jadi kakak anaknya dokter Yanuar? Kenapa nggak bilang dari tadi sih?" Arra tersenyum, kalau Dokter Yanuar, Arra tentu tahu. Ia beberapa kali dibawa ke klinik Dokter Yanuar untuk sekedang membersihkan dan mengecek kondisi telinga dan tenggorokannya.
"Masa kenalan sama cewek sebutinnya malah nama bapak sih? Nggak lucu dong!" Dicky tersenyum, lalu bersandar pada rak buku, "Arra cari apa?"
"Referensi buat kode etik kedokteran nih kak, suruh bikin makalah."
"Oh itu, sini deh kakak bantu!"
Dengan cekatan Dicky memilih beberapa buku, membawanya ke sebuah meja dan dengan sabar menunjukkan satu persatu halaman yang bisa ia gunakan sebagai referensi tugasnya.
Arra menyimak dengan serius penjelasan Dicky, putra Dokter Yanuar itu adalah mahasiswa FK semester lima. Entah seperti kebetulan, semua anak sahabat papanya lolos dan masuk FK universitas ini.
"Sudah paham?" tanya Dicky sambil menatap wajah Arra yang masuk serius menyimak itu.
"Sudah kak, makasih banyak ya!"
"Santai, kalau kamu butuh apa-apa, tanya tugas dan lain sebagainya bisa banget tanya ke aku," guman Dicky menawarkan diri.
Arra tersenyum dan mengangguk tanda mengerti, kemudian Dicky tampak merogoh saku celananya, menyodorkan iPhone itu kepada Arra.
"Bisa minta nomor WhatsApp mu?"
Arra meraih iPhone itu lalu mengetikkan nomor WhatsApp miliknya dan mengembalikan iPhone itu pada sang pemilik.
"Oke terimakasih, aku save ya!" Dicky tersenyum penuh arti, ia bergegas menyimpan nomor gadis itu.
"Kalau gitu Arra permisi, ya kak! Terimakasih banyak bantuannya."
***
"Bro, as-op di suruh Dokter Tandang!"
Rasanya Edo ingin misuh-misuh seketika itu juga. Kenapa harus as-op mendekati jam pulang seperti ini sih? Sebentar lagi pasti Arra menelepon kalau dia sudah pulang.
"Dadakan amat sih?" gerutu Edo tidak suka.
"Cito, makanya dadakan," guman Galih sambil mencatat hasil anamnesa pasiennya.
Dengan malas Edo bangkit lalu melangkah ke OK. Ia merogoh iPhone-nya, sekedar memberi kabar ke Arra bahwa ia harus Cito. Semoga bukan operasi yang memakan waktu lebih dari dua jam! Ia tidak mau Arra sampai menunggu lama, tidak!
Edo menghela nafas panjang, ia dengan lunglai masuk kedalam OK, sebuah tempat yang sejak dulu ia suka itu. Namun untuk pertama kalinya, ia begitu malas masuk kemari, begitu malas harus asistensi. Karena ia tidak mau membuat Arra menunggu, tidak mau sampai dia kesepian di goda laki-laki kurang ajar. Tidak mau!
***
Arra menerima pesan WhatsApp dari Edo, rupanya dia harus Cito operasi sebentar. Tidak masalah lah! Arra duduk di salah satu kursi yang ada di depan fakultas, ia membuka tasnya dan mengambil buku saku kedokteran yang selalu ia bawa kemana-mana itu.
Membaca buku mungkin akan membuatnya tidak merasa kesepian bukan? Sambil menunggu jemputan nya? Namun sampai hampir setengah buku ia baca, belum ada tanda-tanda Edo datang
Arra melirik jam tangannya, sudah satu jsm lebih. Apa operasinya belum selesai? Ia memasukkan kembali bukunya, lalu merogoh iPhone miliknya, belum ada pesan dari Edo lagi, itu artinya ia belum selesai asistensi.
Arra menghela nafas panjang, ia kemudian berdiri dan melangkah keluar, hendak mencari memesan ojek online ketika kemudian sosok itu kembali muncul dan menyapanya.
"Lho, Arra belum balik?" tanya Dicky sambil mendekati Arra.
"Belum, kak Edo baru as-op, jadi nggak bisa jemput."
"Edo?" Dicky mengerutkan keningnya, "Edo Ajiwasita itu ya? Lulusan sini juga?"
"Iya betul kak, dia anaknya Dokter Adnan," jelas Arra sambil celingak-celinguk siapa tahu mobil Edo sudah nampak, namun sayang ... nihil.
"Dokter Adnan ahli bedah itu?"
"Yups, betul kak."
Tampak Dicky mengangguk tanda paham, "Kakak anter pulang aja yuk, kasian kalau operasinya masih lama. Fakultas sudah hampir sepi lho."
Arra tampak berpikir sejenak, benar juga sih. Belum pasti juga Edo jam berapa menjemputnya bukan?
"Nggak ngerepotin kakak nih?"
"Nggak kok, santai, udah yuk kakak antar saja!"
Arra hanya mengangguk pelan, kemudian mengikuti langkah Dicky menuju parkiran. Seraya melangkah ia mengetikkan pesan ke WhatsApp Edo, bilang bahwa ia sudah dalam perjalanan pulang ke kost.
Sementara itu di ruang operasi, Edo benar-benar tidak tenang. Yang ada dalam pikirannya hanya satu. Arra!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 163 Episodes
Comments
Heny Ekawati
semoga dicky baik ya
2021-10-23
0
Wening Wulandari
arra ky li2 bnyk yg suka hhh
2020-12-08
0
Etha Oldrezzta
wahhh Arra banyak yg deketin ini,,,
Edo harus waspada
2020-12-08
0