Cinta Satu Malam Mama Muda
Jakarta.
22.30 WIB
"Nyo-nya Miran-da," ucap resepsionis apartment, terbata-bata kala melihat sosok wanita yang dia segani muncul dihadapannya.
"Kamu kenapa? Kayak lihat hantu aja? Anis ada di atas, Kan?" tanyanya dengan mengamati mimik muka resepsionis apartment sekretarisnya. Dahi wanita bertubuh molek dan seksi itu berkerut sangat kuat.
"Ada-a-da Nyonya," ucapnya, ketakutan sekaligus kalut sekarang.
"Ya sudah, kalau begitu saya mau ke atas, kamu kenapa sih?" Miranda sangat penasaran, mengapa sang resepsionis seperti menyembunyikan sesuatu.
Aduh, mampus aku, gimana nih!? Ah ribet banget, gimana kalau aku di pecat sama Tuan Tama! Jangan sampai! Lagian, kenapa sih pak Tama malah selingkuh, padahal istrinya cantik! Argh!
Sang resepsionis menjerit histeris di dalam hati sambil membayangkan dirinya akan di pecat oleh Tama Nahendra, suami dari wanita dihadapannya. Meneguk ludah berulang kali, sambil menutupi kegugupannya saat ini.
"Hei, kok malah ngelamun?"
Wanita bersurai hitam itu membuyarkan lamunan sang resepsionis seketika.
"Kaget ya, lihat aku datang tiba-tiba? Ini surprise loh buat Anis, kemarin Anis ulangtahun, demi dia aku datang kemari, padahal aku baru saja sampai ke Jakarta, aku belum pulang ke rumah ketemu sama suami dan anakku," cerocos Miranda panjang lebar sambil mengambil ponsel di dalam tas mini berwarna putih.
*
*
*
Drrrttt
"Ah, ah, ...h..., Tama, ada yang meneleponmu?"
Wanita berambut sebahu itu berkata dengan nafas tersengal-sengal. Melirik gawai pria yang menindihnya sekarang, bergetar sangat kuat di atas nakas.
Tama menghentikan gerakan pinggul sambil mengambil gawai dan menekan layar-layar sejenak. Kemudian beralih menatap lekat wanita di bawah tubuhnya.
"Siapa?" tanya sang wanita sambil menyentuh dada bidang Tama.
"Miranda, biarkan saja Anis, pasti dia menanyakan keadaanku," ucap Tama.
Anis hanya beroh ria, lalu mengecup singkat bibir tebal Tama. Sementara Tama menatapnya dengan penuh damba sembari mengembangkan senyuman.
"Tama, sampai kapan kita seperti ini? Aku sangat mencintaimu. Cepatlah bercerai dengan Miranda," kata Anis.
Mendengar hal itu, Tama mengubah posisi tubuhnya tiba-tiba, kemudian merebahkan diri di samping Anis. Melihat Anis sambil menyeka peluh keringat yang banjir di keningnya saat ini.
"Anis, kamu tahu sendiri kan, sampai kapanpun aku tidak bisa bercerai dengannya," jelasnya singkat.
Anis menggeram kesal, secepat kilat duduk dan menyambar selimut di sisi kiri lalu menutup tubuhnya.
"Oh, jadi kamu mencintai Miranda?! Bukan kah kamu mengatakan padaku, kalau pernikahan kalian hanya sebatas bisnis saja! Come on, Tama, aku tidak mau tahu! Kamu harus bercerai dengannya! Aku sudah lelah, Tama, selama empat tahun aku berakting dan menyamar menjadi sekretaris wanita si@lan itu!" murka Anis dengan menatap tajam Tama.
Tama duduk jua lalu menatap sendu wanita yang selama ini menjadi kekasihnya secara diam-diam, sejak di bangku kuliah.
"Anis, mengertilah, apa kamu lupa jika aku dan Miranda bercerai, perusahaan kami akan sama-sama bangkrut, bersabarlah sedikit, Nis," ucap Tama, dengan menyentuh pundak Anis.
Anis tergugu, bibirnya kelu. Bingung, apa yang harus dia lakukan untuk menjadi Nyonya Nahendra sepenuhnya. Kalau bukan karena Eyang Sari, wanita tertua di dalam keluarga Nahendra. Ia tak akan menjalin hubungan diam-diam bersama Tama sejak lama.
Karena perbedaan kasta, Anis tak bisa secara terang-terang menjalin hubungan dengan Tama kala itu. Meskipun begitu dia berharap adanya mukjizat suatu saat nanti, bisa hidup bersama Tama.
Siapa yang tidak tahu Tama Nahendra, CEO dari Nahendra Groups, salah satu perusahaan terbesar di Negeri Seribu Pulau ini. Tama Nahendra merupakan keturunan ningrat, dan memiliki bisnis yang bergerak di bidang real estate, makanan, infrastruktur dan sebagainya.
Beberapa tahun silam, Nahendra groups mengalami penurunan saham, dikarenakan beberapa oknum bermain licik. Demi menyelamatkan ribuan karyawan yang mengais rezeki di Nahendra Groups. Eyang Sari menikahkan Tama dengan wanita muda dan tentu saja kaya raya sama seperti Tama. Ialah Miranda Gunadhya, putri tunggal dari pasangan konglomerat dari Singapura.
Sewaktu itu, Anis marah, kesal dan harus menelan kekecewaan ketika mendapatkan kabar Tama akan menikah dengan wanita pilihan Eyang. Dia ingin berjumpa dengan Eyang, mengatakan hubungannya dan Tama. Akan tetapi Tama melarangnya. Dia tak mau Eyang akan melukai Anis. Setelah ditenangkan dan di beri penjelasan, akhirnya dengan sebuah janji manis dari Tama, Anis mencoba untuk ikhlas.
Karna tak mampu menahan rasa cemburu, Anis ingin selalu dekat dengan Tama. Oleh karena itu di hari pertama Miranda menginjakkan kaki di Indonesia. Ia langsung melamar berkerja sebagai sekretaris Miranda di perusahan Gunadhya Groups. Di bantu Tama, akhirnya ia bisa berkerja menjadi bawahan Miranda.
Hari demi hari ia lewati bersama Miranda, menyamar dan menjadi teman baik wanita itu. Jika ada kesempatan, di belakang Miranda, ia dan Tama pasti bercumbu mesra layaknya pasangan suami istri.
"Apa kamu mencintai, Miranda?" Anis bertanya tiba-tiba membuat Tama gelagapan.
Tama tak langsung menjawab. Pria yang memiliki rahang tegas dan ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitar pipinya, terlihat berpikir sejenak.
"Cepat jawab, Tama!" tanya Anis dengan menaikkan intonasi lebih tinggi.
"Aku hanya mencintaimu, Anis," ucapnya, dengan menghela nafas berat.
Anis sedikit meragu kala melihat pancaran mata Tama menyiratkan ketertarikan pada Miranda. Sebuah ide jahat melintas cepat dibenaknya sekarang.
"Tama, aku hamil," ucap Anis seketika membuat Tama melebarkan mata.
"Kamu hamil?" Tama mengulangi perkataan Anis dengan memandangnya lekat-lekat.
Anis mengangguk cepat. Sementara Tama mematung di tempat.
Hanya itu satu-satunya cara agar kamu mau menikahi aku! Semoga saja aku benar-benar hamil! Aku harus membuat Tama selalu meniduri aku!'
Crang!!!
Anis dan Tama terkejut manakala mendengar suara pecahan kaca berdengung dari luar ruangan. Keduanya menolehkan mata ke daun pintu sekilas, lalu saling melemparkan pandangan satu sama lain.
"Anis, pembantumu masih di sini?" tanya Tama mengerutkan dahi.
Anis menggeleng.
Tama terlihat gusar. Dengan cepat ia beranjak sambil melilitkan kain di pinggangnya. Ia berjalan menuju pintu utama. Kepalanya menyembul keluar sedikit, Tama celingak-celinguk, melihat lorong apartment nampak sepi. Harum parfum seseorang yang sangat dia kenali menyeruak ke indera penciumannya seketika.
"Miranda..." ucapnya lirih.
Mungkin hanya mirip, Miranda masih di Singapura, pasti ada orang yang jahil.
Tama melihat vas bunga kecil di depan pintu utama hancur berkeping-keping di lantai.
Sementara itu, beberapa meter dari Tama. Miranda bersembunyi di balik pilar sambil memegang dadanya yang berdenyut nyeri. Barusan dia mendengar semua percakapan Anis dan Tama melalui ponsel.
Mitanda tak menyangka, pria yang dia sukai sejak pandangan pertama ternyata menduakannya. Belum lagi satu fakta yang ia dapatkan bahwa Tama tak mencintainya, jadi selama ini cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.
Hati Miranda semakin remuk redam. Tubuh Miranda bergetar kuat. Ia terisak pelan dengan mengigit bibir bawahnya. Menangis dalam diam, ditemani dengan kesunyian malam.
Ingin sekali dia masuk ke dalam ruangan dan menghajar habis suami dan sekretarisnya itu. Namun kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya, masih menyangkal kejadian yang dia alami barusan hanyalah khalayan semata saja.
Tiba-tiba suara tawa terdengar dari bibir sensual Miranda. Dia tengah menertawai kebodohannya selama ini. Sebab telah dibohongi Tama dan Anis. Pantas saja, Anis kerap kali meminta padanya untuk menjadikan dia baby sitter anaknya.
Satu menit telah berlalu. Setelah puas menangis, Miranda mengusap jejak tangisannya lalu menarik nafas panjang. Ia menolehkan mata ke tangannya, ketika merasakan getaran pesan whatsapp berasal dari ponsel-nya.
^^^Hai, mama muda, party yuk, eyke tunggu di Ibiza Club, jangan nolak! Sekalian ajak Anis.^^^
Sebuah pesan singkat dari Tina, tangan kanan sekaligus sahabatnya baru saja masuk.
"Ngapain ajak Anis, come on Miranda! Jangan lemah, lebih baik kamu pergi ke Club!" seru Miranda sambil mengusap jejak tangisnya di pelupuk mata.
*
*
*
Miranda menoleh. Memandangi papan nama Ibiza club di atas sana. Menghela nafas sejenak, karena untuk pertama kalinya dia akan masuk ke tempatnya dunia malam.
Miranda mengedarkan pandangan, melihat manusia yang lalu lalang di sekitar, memandanginya dengan seksama.
Gila, cantik banget nih cewek, kayak pernah lihat tapi di mana ya. Di baliho kali ya?
Anjir, bohay amat dah, modelan begini, kagak keluar kamar deh gue! Bakalan gue kurung selama-lamanya!
Spek body gitar nih, boleh nih!
Pujian-pujian terucap begitu saja di dalam hati pengunjung club. Mereka terpana sesaat dengan paras dan penampilan Miranda. Yang membuat para kaum adam meronta-ronta ingin menjamah tubuh Miranda.
Dentuman musik DJ menggema di telinga Miranda. Acuh tak acuh, dengan cepat mendorong pintu club lalu melangkahkan kaki jenjangnya, berjalan masuk ke dalam.
Ketika Miranda masuk, semua mata tertuju padanya seketika. Para pengunjung tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada sosok wanita yang berdiri di depan pintu sekarang.
Merasa diperhatikan, Miranda nampak kikuk. Dia menggaruk kepalanya sesaat lalu menundukkan wajahnya.
"Miranda!" pekik seseorang di ujung sana.
Miranda mengangkat wajahnya, kemudian bergegas mendekati Tina. Begitu sampai, secepat kilat ia menyambar gelas dari temannya.
"Oh my God! Are kidding me?! Stop, Miranda, itu banyak alkoholnya!"
Seakan tuli Miranda tak menggubris perkataan temannya malah menghabiskan minuman dalam sekali tegukan. Tak hanya satu gelas saja, ia bahkan meminta bartender memberikannya sebotol bir. Miranda tak peduli ketika Tina berteriak-teriak padanya saat ini.
Miranda melampiaskan semua kemarahannya, dengan minum, minuman keras. Dia marah, benci, kesal dan kecewa, karena telah diduakan oleh suaminya.
*
*
Tepat pukul satu dini hari. Miranda membuka kelopak mata saat merasakan kepalanya sangat pening. Melirik Tina sekilas sedang berjoget-joget di lantai dansa.
Dalam keadaan setengah sadar, Miranda bangkit berdiri dari tempat duduknya, lalu berjalan dengan langkah terseok-seok sambil mengibas-ibaskan tangan pada para kumpulan manusia yang masih hanyut dalam dunianya.
Sesampainya di lorong club, Miranda menyipitkan mata, melihat seorang pria berstelan jas biru tua, tengah berjalan di depan sana. Karena mabuk berat, dipenglihatan Miranda pria itu adalah suaminya.
"Hei, b@jingan! Berhenti!" Miranda melangkah cepat, lalu menarik jas pria itu dari belakang.
Plak!!!
"Dasar binatang! Mengapa kamu tega berselingkuh dariku? Aku kurang apa?!" teriak Miranda menggema di koridor yang nampak sepi itu.
Pria itu memegang sejenak rahangnya yang bergeser tadi akibat tamparan keras Miranda. Lalu memandangi Miranda tanpa ekspresi sama sekali.
"Tama!" Miranda mendekat lalu mencengkram kuat kerah pakaian sang pria. "Tama! Cepat jawab? Aku kurang apa?!" jeritnya sambil menitihkan air mata.
Enggan menyahut. Pria itu malah mengangkat satu alis matanya.
"Tama! Kenapa kamu diam?!!" pekiknya sekali lagi.
"Haruskah aku menjawab? Aku tidak mengenalmu, pergilah!" Suara pria itu terdengar tegas membuat Miranda memandang lekat-lekat.
Dalam sepersekian detik, Miranda mendekatkan wajahnya, menatap dua bola mata berwarna coklat itu, secepat kilat menangkup kedua pipi sang pria.
Cup!
Setelah mengecup singkat bibir pria dihadapannya. Miranda menjauhkan wajahnya seketika.
"Aku mencintai kamu, Tama!" serunya.
Sementara sang pria mematung. Kedua matanya terbelalak seketika. Saat bibir seksi Miranda menempel dibibirnya. Ada gelanyar aneh merasuk ke relung hatinya saat ini.
Dalam hitungan detik, dia menarik pinggang Miranda lalu *****@* habis bibir wanita yang tak ia kenali itu. Rasa alkohol dan manis bercampur menjadi satu di indera perasa sang pria saat ini. Naluri lelakinya semakin bersemangat, mengeksplor rongga mulut Miranda kala rasa manis lebih dominan.
Sedangkan Miranda melebarkan matanya saat mendapatkan serangan mendadak. Entah sejak kapan Miranda mengalungkan tangan di leher sang pria, menikmati permainan lidahnya. Kedua insan manusia itu saling mencumbu satu sama lain dengan mata terpejam.
"Tama..." ucap Miranda dengan lirih saat sang pria menjauhkan wajah lalu menempelkan keningnya ke kening Miranda.
"Hmm." Sang pria berdeham rendah, menatap datar pada sosok wanita dihadapannya.
"Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu, Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, apa salahku? Cepat katakan Tama!" Miranda kembali menitihkan air matanya sambil menatap nanar pria yang ia anggap sebagai Tama.
Sang pria enggan menyahut, malah mengendong Miranda tiba-tiba.
"Tama, kita mau kemana?" tanya Miranda sambil memegang kepalanya yang terasa nyeri.
"Ke suatu tempat," jawabnya singkat sambil melangkah cepat.
"Ah! Tama, hentikan! Walaupun aku mencintaimu, tapi aku tak sudi di sentuh olehmu!" pekik Miranda kala sang pria membuka paksa pakaiannya.
"Tama.. Stop.. I hate you..." Miranda merasakan benda padat dan tumpul di bawah sana melesak masuk ke dalam inti tubuhnya.
*
*
Hotel Rikardo.
Esok harinya.
Miranda melenguh dikala sinar mentari menerpa wajahnya. Secepat kilat ia membuka matanya.
"Di mana aku?" Dengan perlahan Miranda duduk di kasur, lalu mengedarkan pandangan di sekitar. Tak ada siapa-siapa di ruangan selain dirinya.
"Ini kan hotelnya Tama, kenapa aku bisa di sini?" tanyanya kebingungan sambil menyentuh kepalanya yang sakit sekali.
Miranda baru saja teringat kejadian semalam. Dimana ia mengetahui perselingkuhan Tama dan Anis. Dengan sempoyongan ia turun dari ranjang.
"Shfftt, ah kenapa inti tubuhku perih?" Miranda merasakan nyeri di bagian bawahnya. Ia semakin di buat penasaran apa yang terjadi semalam pada dirinya.
Pikiran nakalnya menari-nari sejenak. Mengira bahwa dirinya tidur bersama seseorang. Miranda langsung menelisik keadaan tubuhnya yang saat ini masih memakai pakaian utuh. Tak mau memikirkan yang aneh-aneh, ia bergegas keluar hendak pulang ke mansion.
*
*
*
Sesampainya di mansion, Miranda bergegas masuk ke dalam dengan mengabaikan sapaan para asisten.
"Tama!! Anis!!" pekik Miranda menggelegar di ruang makan. Menatap tajam pada Tama dan Anis secara bergantian.
Tama dan Anis menoleh ke sumber suara. Gurat keterkejutan terukir jelas saat melihat kedatangan Miranda.
"Miranda, kenapa kamu nggak bilang kalau sudah di Jakarta?" tanya Tama sambil beranjak dari kursi.
"Hai, Miranda, kebetulan aku juga lagi nunggu Rikardo turun ke bawah. Barusan suamimu nawarin aku sarapan, maaf ya Mir, lapar banget, soalnya tadi malam aku lembur ngerjain laporan."
Anis pun melakukan hal yang sama sambil tersenyum tipis. Semalam ketika ia sedang mencium Tama. Tanpa sepengetahuan Tama, Anis mengambil ponsel Tama dan menelepon Miranda agar wanita itu mendengar semua obrolannya. Dia tak menyangka jika Miranda sudah berada di Indonesia.
Plak!!
"Miranda! Apa yang kamu lakukan?!" teriak Tama saat melihat Miranda menampar Anis tiba-tiba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Ana Zahra
bagus2 critae,,, Gak bosenin alur n konfliknya...
2023-07-31
1
fifid dwi ariani
trus sehat
2023-07-22
0
tria sulistia
saya kasih vote ya kak nana. semangatb🤩
2022-12-20
2