Hari H

Kini Alfredo dan Miranda sudah berstatus suami istri. Pernikahan begitu tertutup dan hanya dihadiri keluarga terdekat saja.

Baik, keluarga dari sebelah Miranda hadir semua, paman, bibi, dan sepupu-sepupunya. Sebelumnya mereka sudah mengetahui alasan Miranda menikah lagi. Semula mereka tak menerima keputusan Miranda namun setelah di bujuk rayu, akhirnya mereka mau tak mau harus menerima keputusan Miranda.

Sedangkan keluarga Alfredo hanya dihadiri kakak sepupunya saja, sebab Alfredo tak memberitahu keluarga intinya mengenai pernikahannya. Miranda tak mempermasalahkan hal tersebut, karena dia enggan terlalu ikut campur urusan Alfredo. Mengingat sikapnya yang sangat dingin dan kaku itu. Walaupun acara pernikahan tertutup, akan tetapi, nanti malam akan diadakan makan malam bersama di aula VIP yang telah di sewa Alfredo.

"Ya ampun, you cantik banget sih, Mir?"

Tono melompat kegirangan melihat Miranda berdiri dihadapan dengan mengenakan balutan dress panjang berwarna putih gading yang begitu elegan. Riasan Miranda juga terlihat natural.

Miranda mengulas senyum, lalu berkata,"Terimakasih, Ton, Rikardo di mana?" Ia mengedarkan pandangan, menelisik keberadaan anaknya yang sedari tadi, tak nampak di pelupuk matanya.

Tono menghela nafas sejenak. "Rikardo ngambek, dia lagi di kamarnya, mungkin dia belum terima punya papa baru sekarang."

Miranda terlihat mangut-mangut. Beberapa hari ini Rikardo menggurung diri di kamarnya. Ia pun membujuk dan merayu Rikardo, akan tetapi yang ada putranya malah marah-marah. Sebagai seorang ibu, dia paham betul apa yang dirasakan Rikardo saat ini. Apalagi Rikardo dan Tama sudah lama tak berjumpa.

Miranda pun pamit kepada Tono, hendak menemui Rikardo. Wanita bertubuh molek itu bergegas ke lantai tiga. Sesampainya di kamar Rikardo, dia terenyuh. Melihat Rikardo tertidur pulas sampai-sampai posisi tidurnya terbalik. Kaki di atas, sementara kepalanya di bawah.

Dengan perlahan Miranda duduk di tepi ranjang. Kemudian mengusap pelan kepala anaknya.

"Maafin, mama, nak. Mama egois, mama lakuin semua ini juga untuk kebaikanmu," ucapnya pelan.

Terdengar suara pintu terbuka seketika, menjadikan Miranda mengalihkan perhatian ke daun pintu. Seorang pria yang memiliki warna mata coklat menyembul dari balik pintu, iya, itulah Alfredo. Dia tengah memakai jas tuxedo berwarna senada dengan Miranda.

"Apa dia masih tidur?" tanyanya, datar tanpa ekspresi sedikitpun.

"Iya, dia belum mengerti situasi yang terjadi antara aku dan Tama," ucap Miranda lalu menatap Rikardo kembali. "Semoga suatu saat nanti, dia akan mengerti."

Alfredo enggan menanggapi. Malah mengambil remote AC di atas nakas kemudian menurunkan suhu ruangan.

"Ruangan ini panas," ucapnya tanpa menunjukkan ekspresi sedikitpun.

Miranda sedikit terkejut dengan perhatian yang dilakukan Alfredo. Padahal sedari kemarin Alfredo mengabaikan anaknya.

Lumayan, untuk pria arogan seperti dia, setidaknya kalau anak keduaku lahir, dia bisa memberikan perhatian pada anak-anakku.

"Jangan kegeeran, aku melakukan ini karena aku kepanasan." Alfredo melirik Rikardo sekilas kemudian berjalan cepat mendekati kaca raksasa di sisi kanan kasur. Berdiri tegap sembari menatap pemandangan di luar sana.

Miranda mendengus sejenak lalu melototi punggung tegap Alfredo, seraya mengumpat kesal di dalam hatinya.

Aku tarik semua ucapanku tadi! Dasar pria sombong!

"Berhenti, menyumpahiku!" Alfredo berbalik sambil memasukan kedua tangannya ke saku celana.

Gelagapan, Miranda langsung menundukkan wajahnya.

Apa dia itu? Cenayang, bagaimana dia bisa tahu kalau aku menyumpahinya.

"Miranda, aku akan pergi, malam ini jangan lupa datang ke aula besar, gunakan pakaian yang tertutup, aku tak suka melihat kamu memakai pakaian yang kurang bahan itu," ucap Alfredo cepat.

"What? Apa katamu? Pakaian ini tidak seksi, Al!" protes Miranda sambil menatap Alfredo. Pasalnya pakaian yang ia pakai belahan dadanya tertutup dan hanya di bagian bahunya saja yang terbuka.

Miranda melebarkan mata ketika dia membalas ucapan Alfredo dengan menaikkan suaranya dan lebih parahnya lagi dia tak memanggil Alfredo dengan sebutan "Tuan Alfredo".

Dia baru saja teringat, peringatan dari Cole kemarin, yang meminta padanya jangan pernah membantah perkataan Alfredo sekalipun. Jika sampai hal itu terjadi, Alfredo tak kan segan-segan mengambil alih perusahaan sepenuhnya. Tentu saja, Miranda marah, merasa telah dipermainkan dan sudah terlanjur menandatangani surat alih kuasa. Bagai buah simalakama, Miranda akhirnya terpaksa mengiyakan permintaan aneh Cole.

Secepat kilat ia menuttup mulutnya lalu kembali menunduk. "Maaf, aku tak bermaksud, Tuan Alfredo, baiklah, aku akan menuruti permintaanmu."

Tak ada sahutan dari Alfredo, namun yang terdengar suara langkah kaki menuju pintu.

Brak!

Setelah di pintu banting oleh Alfredo. Miranda terperanjat kaget. Begitu pula denga Rikardo, langsung terbangun dari tidurnya.

"Mama!" Rikardo menguap sesaat lalu mengucek-ucek netranya.

"Nak." Miranda segera memeluknya sembari mengecup wajah anaknya bertubi-tubi.

*

*

*

Malam pun tiba. Ruangan aula hotel di lantai teratas sudah dipenuhi dengan para tamu undangan. Ruangan VIP ini sangat lah besar, di dalamnya terdapat meja-meja berjejer rapi di setiap sudut ruangan. Nampak bunga-bunga berwarna merah menghiasi bilik tersebut, membuat ruangan terlihat megah dan mewah.

Teman bisnis Alfredo dan para pejabat juga terlihat menghadiri pesta. Mereka tengah menikmati hidangan yang disediakan oleh waiters.

Suasana terasa begitu hangat, membuat Miranda di depan sana merekahkan senyumannya. Sementara Alfredo nampak biasa saja.

"Kenapa kamu tersenyum?" Alfredo duduk di sampingnya dengan menatap lurus ke depan, memperhatikan para tamu undangan menikmati hidangan yang disuguhkan.

Miranda tergugu, lidahnya kaku, apa yang harus dia katakan pada Alfredo. Tak mungkin dia mengatakan bahagia menikah dengan Alfredo. Lagipula dia hanya terbawa suasana barusan. Apa tersenyum, harus mempunyai alasan, pikirnya sejenak.

"Miranda!!!" teriak seseorang di ujung sana menerobos masuk ke pesta Miranda dan Alfredo.

Miranda beranjak, ketika melihat Anis melangkah cepat ke arahnya. Secepat kilat Alfredo memerintahkan para bodyguard mengusir Anis.

"Dasar wanita bermuka dua! Puas kamu ha?! Dasar pelacur! Ini semua gara-garamu, Tama memutuskan aku! Argh! Mati saja kamu!!" teriak Anis bagai orang kesetanan.

Melihat hal itu para tamu undangan, menggelengkan kepalanya. Sebagian undangan sudah tahu mengenai kasus yang terjadi antara Tama dan Anis.

"Usir dia!!" titah Alfredo.

"Lepaskan aku!!!" Anis memberontak dengan mencakar wajah para bodyguard yang tengah menahan tubuhnya sedari tadi. Para bodyguard meringis sejenak tanpa melepaskan cekalan tangan mereka, lalu menyeret paksa Anis menuju pintu utama.

"Anis!!! Kamu gila atau apa?! Ayo kita pulang!" Tama baru saja tiba, menghampiri Anis. Dan menarik tangan paksa wanita itu.

"Nggak! Sebelum kamu menjadi milikku!"

Tama menahan malu kala banyak pasang mata memandangnya sekarang. Tanpa sengaja ia melihat ke depan, menatap sendu mantan istrinya itu. Sementara Miranda nampak syok melihat pemandangan dihadapannya.

Secepat kilat Tama memutuskan kontak mata. Kemudian tanpa banyak kata menyeret paksa Anis keluar dari ballroom hotel.

Apa yang terjadi di antara mereka? Miranda berucap di dalam hati sambil melihat kepergian Tama.

"Apa kamu akan terus berdiri? Dan menatap mantan suami tercintamu itu?"

Suara Alfredo terdengar begitu dingin, membuat Miranda bergedik ngeri seketika. Dengan cepat ia menjatuhkan bokong di sofa.

Mengapa dia itu sangat menyebalkan!

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus berkarya

2023-07-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!