NovelToon NovelToon

Cinta Satu Malam Mama Muda

Kenyataan Pahit

Jakarta.

22.30 WIB

"Nyo-nya Miran-da," ucap resepsionis apartment, terbata-bata kala melihat sosok wanita yang dia segani muncul dihadapannya.

"Kamu kenapa? Kayak lihat hantu aja? Anis ada di atas, Kan?" tanyanya dengan mengamati mimik muka resepsionis apartment sekretarisnya. Dahi wanita bertubuh molek dan seksi itu berkerut sangat kuat.

"Ada-a-da Nyonya," ucapnya, ketakutan sekaligus kalut sekarang.

"Ya sudah, kalau begitu saya mau ke atas, kamu kenapa sih?" Miranda sangat penasaran, mengapa sang resepsionis seperti menyembunyikan sesuatu.

Aduh, mampus aku, gimana nih!? Ah ribet banget, gimana kalau aku di pecat sama Tuan Tama! Jangan sampai! Lagian, kenapa sih pak Tama malah selingkuh, padahal istrinya cantik! Argh!

Sang resepsionis menjerit histeris di dalam hati sambil membayangkan dirinya akan di pecat oleh Tama Nahendra, suami dari wanita dihadapannya. Meneguk ludah berulang kali, sambil menutupi kegugupannya saat ini.

"Hei, kok malah ngelamun?"

Wanita bersurai hitam itu membuyarkan lamunan sang resepsionis seketika.

"Kaget ya, lihat aku datang tiba-tiba? Ini surprise loh buat Anis, kemarin Anis ulangtahun, demi dia aku datang kemari, padahal aku baru saja sampai ke Jakarta, aku belum pulang ke rumah ketemu sama suami dan anakku," cerocos Miranda panjang lebar sambil mengambil ponsel di dalam tas mini berwarna putih.

*

*

*

Drrrttt

"Ah, ah, ...h..., Tama, ada yang meneleponmu?"

Wanita berambut sebahu itu berkata dengan nafas tersengal-sengal. Melirik gawai pria yang menindihnya sekarang, bergetar sangat kuat di atas nakas.

Tama menghentikan gerakan pinggul sambil mengambil gawai dan menekan layar-layar sejenak. Kemudian beralih menatap lekat wanita di bawah tubuhnya.

"Siapa?" tanya sang wanita sambil menyentuh dada bidang Tama.

"Miranda, biarkan saja Anis, pasti dia menanyakan keadaanku," ucap Tama.

Anis hanya beroh ria, lalu mengecup singkat bibir tebal Tama. Sementara Tama menatapnya dengan penuh damba sembari mengembangkan senyuman.

"Tama, sampai kapan kita seperti ini? Aku sangat mencintaimu. Cepatlah bercerai dengan Miranda," kata Anis.

Mendengar hal itu, Tama mengubah posisi tubuhnya tiba-tiba, kemudian merebahkan diri di samping Anis. Melihat Anis sambil menyeka peluh keringat yang banjir di keningnya saat ini.

"Anis, kamu tahu sendiri kan, sampai kapanpun aku tidak bisa bercerai dengannya," jelasnya singkat.

Anis menggeram kesal, secepat kilat duduk dan menyambar selimut di sisi kiri lalu menutup tubuhnya.

"Oh, jadi kamu mencintai Miranda?! Bukan kah kamu mengatakan padaku, kalau pernikahan kalian hanya sebatas bisnis saja! Come on, Tama, aku tidak mau tahu! Kamu harus bercerai dengannya! Aku sudah lelah, Tama, selama empat tahun aku berakting dan menyamar menjadi sekretaris wanita si@lan itu!" murka Anis dengan menatap tajam Tama.

Tama duduk jua lalu menatap sendu wanita yang selama ini menjadi kekasihnya secara diam-diam, sejak di bangku kuliah.

"Anis, mengertilah, apa kamu lupa jika aku dan Miranda bercerai, perusahaan kami akan sama-sama bangkrut, bersabarlah sedikit, Nis," ucap Tama, dengan menyentuh pundak Anis.

Anis tergugu, bibirnya kelu. Bingung, apa yang harus dia lakukan untuk menjadi Nyonya Nahendra sepenuhnya. Kalau bukan karena Eyang Sari, wanita tertua di dalam keluarga Nahendra. Ia tak akan menjalin hubungan diam-diam bersama Tama sejak lama.

Karena perbedaan kasta, Anis tak bisa secara terang-terang menjalin hubungan dengan Tama kala itu. Meskipun begitu dia berharap adanya mukjizat suatu saat nanti, bisa hidup bersama Tama.

Siapa yang tidak tahu Tama Nahendra, CEO dari Nahendra Groups, salah satu perusahaan terbesar di Negeri Seribu Pulau ini. Tama Nahendra merupakan keturunan ningrat, dan memiliki bisnis yang bergerak di bidang real estate, makanan, infrastruktur dan sebagainya.

Beberapa tahun silam, Nahendra groups mengalami penurunan saham, dikarenakan beberapa oknum bermain licik. Demi menyelamatkan ribuan karyawan yang mengais rezeki di Nahendra Groups. Eyang Sari menikahkan Tama dengan wanita muda dan tentu saja kaya raya sama seperti Tama. Ialah Miranda Gunadhya, putri tunggal dari pasangan konglomerat dari Singapura.

Sewaktu itu, Anis marah, kesal dan harus menelan kekecewaan ketika mendapatkan kabar Tama akan menikah dengan wanita pilihan Eyang. Dia ingin berjumpa dengan Eyang, mengatakan hubungannya dan Tama. Akan tetapi Tama melarangnya. Dia tak mau Eyang akan melukai Anis. Setelah ditenangkan dan di beri penjelasan, akhirnya dengan sebuah janji manis dari Tama, Anis mencoba untuk ikhlas.

Karna tak mampu menahan rasa cemburu, Anis ingin selalu dekat dengan Tama. Oleh karena itu di hari pertama Miranda menginjakkan kaki di Indonesia. Ia langsung melamar berkerja sebagai sekretaris Miranda di perusahan Gunadhya Groups. Di bantu Tama, akhirnya ia bisa berkerja menjadi bawahan Miranda.

Hari demi hari ia lewati bersama Miranda, menyamar dan menjadi teman baik wanita itu. Jika ada kesempatan, di belakang Miranda, ia dan Tama pasti bercumbu mesra layaknya pasangan suami istri.

"Apa kamu mencintai, Miranda?" Anis bertanya tiba-tiba membuat Tama gelagapan.

Tama tak langsung menjawab. Pria yang memiliki rahang tegas dan ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitar pipinya, terlihat berpikir sejenak.

"Cepat jawab, Tama!" tanya Anis dengan menaikkan intonasi lebih tinggi.

"Aku hanya mencintaimu, Anis," ucapnya, dengan menghela nafas berat.

Anis sedikit meragu kala melihat pancaran mata Tama menyiratkan ketertarikan pada Miranda. Sebuah ide jahat melintas cepat dibenaknya sekarang.

"Tama, aku hamil," ucap Anis seketika membuat Tama melebarkan mata.

"Kamu hamil?" Tama mengulangi perkataan Anis dengan memandangnya lekat-lekat.

Anis mengangguk cepat. Sementara Tama mematung di tempat.

Hanya itu satu-satunya cara agar kamu mau menikahi aku! Semoga saja aku benar-benar hamil! Aku harus membuat Tama selalu meniduri aku!'

Crang!!!

Anis dan Tama terkejut manakala mendengar suara pecahan kaca berdengung dari luar ruangan. Keduanya menolehkan mata ke daun pintu sekilas, lalu saling melemparkan pandangan satu sama lain.

"Anis, pembantumu masih di sini?" tanya Tama mengerutkan dahi.

Anis menggeleng.

Tama terlihat gusar. Dengan cepat ia beranjak sambil melilitkan kain di pinggangnya. Ia berjalan menuju pintu utama. Kepalanya menyembul keluar sedikit, Tama celingak-celinguk, melihat lorong apartment nampak sepi. Harum parfum seseorang yang sangat dia kenali menyeruak ke indera penciumannya seketika.

"Miranda..." ucapnya lirih.

Mungkin hanya mirip, Miranda masih di Singapura, pasti ada orang yang jahil.

Tama melihat vas bunga kecil di depan pintu utama hancur berkeping-keping di lantai.

Sementara itu, beberapa meter dari Tama. Miranda bersembunyi di balik pilar sambil memegang dadanya yang berdenyut nyeri. Barusan dia mendengar semua percakapan Anis dan Tama melalui ponsel.

Mitanda tak menyangka, pria yang dia sukai sejak pandangan pertama ternyata menduakannya. Belum lagi satu fakta yang ia dapatkan bahwa Tama tak mencintainya, jadi selama ini cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.

Hati Miranda semakin remuk redam. Tubuh Miranda bergetar kuat. Ia terisak pelan dengan mengigit bibir bawahnya. Menangis dalam diam, ditemani dengan kesunyian malam.

Ingin sekali dia masuk ke dalam ruangan dan menghajar habis suami dan sekretarisnya itu. Namun kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya, masih menyangkal kejadian yang dia alami barusan hanyalah khalayan semata saja.

Tiba-tiba suara tawa terdengar dari bibir sensual Miranda. Dia tengah menertawai kebodohannya selama ini. Sebab telah dibohongi Tama dan Anis. Pantas saja, Anis kerap kali meminta padanya untuk menjadikan dia baby sitter anaknya.

Satu menit telah berlalu. Setelah puas menangis, Miranda mengusap jejak tangisannya lalu menarik nafas panjang. Ia menolehkan mata ke tangannya, ketika merasakan getaran pesan whatsapp berasal dari ponsel-nya.

^^^Hai, mama muda, party yuk, eyke tunggu di Ibiza Club, jangan nolak! Sekalian ajak Anis.^^^

Sebuah pesan singkat dari Tina, tangan kanan sekaligus sahabatnya baru saja masuk.

"Ngapain ajak Anis, come on Miranda! Jangan lemah, lebih baik kamu pergi ke Club!" seru Miranda sambil mengusap jejak tangisnya di pelupuk mata.

*

*

*

Miranda menoleh. Memandangi papan nama Ibiza club di atas sana. Menghela nafas sejenak, karena untuk pertama kalinya dia akan masuk ke tempatnya dunia malam.

Miranda mengedarkan pandangan, melihat manusia yang lalu lalang di sekitar, memandanginya dengan seksama.

Gila, cantik banget nih cewek, kayak pernah lihat tapi di mana ya. Di baliho kali ya?

Anjir, bohay amat dah, modelan begini, kagak keluar kamar deh gue! Bakalan gue kurung selama-lamanya!

Spek body gitar nih, boleh nih!

Pujian-pujian terucap begitu saja di dalam hati pengunjung club. Mereka terpana sesaat dengan paras dan penampilan Miranda. Yang membuat para kaum adam meronta-ronta ingin menjamah tubuh Miranda.

Dentuman musik DJ menggema di telinga Miranda. Acuh tak acuh, dengan cepat mendorong pintu club lalu melangkahkan kaki jenjangnya, berjalan masuk ke dalam.

Ketika Miranda masuk, semua mata tertuju padanya seketika. Para pengunjung tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada sosok wanita yang berdiri di depan pintu sekarang.

Merasa diperhatikan, Miranda nampak kikuk. Dia menggaruk kepalanya sesaat lalu menundukkan wajahnya.

"Miranda!" pekik seseorang di ujung sana.

Miranda mengangkat wajahnya, kemudian bergegas mendekati Tina. Begitu sampai, secepat kilat ia menyambar gelas dari temannya.

"Oh my God! Are kidding me?! Stop, Miranda, itu banyak alkoholnya!"

Seakan tuli Miranda tak menggubris perkataan temannya malah menghabiskan minuman dalam sekali tegukan. Tak hanya satu gelas saja, ia bahkan meminta bartender memberikannya sebotol bir. Miranda tak peduli ketika Tina berteriak-teriak padanya saat ini.

Miranda melampiaskan semua kemarahannya, dengan minum, minuman keras. Dia marah, benci, kesal dan kecewa, karena telah diduakan oleh suaminya.

*

*

Tepat pukul satu dini hari. Miranda membuka kelopak mata saat merasakan kepalanya sangat pening. Melirik Tina sekilas sedang berjoget-joget di lantai dansa.

Dalam keadaan setengah sadar, Miranda bangkit berdiri dari tempat duduknya, lalu berjalan dengan langkah terseok-seok sambil mengibas-ibaskan tangan pada para kumpulan manusia yang masih hanyut dalam dunianya.

Sesampainya di lorong club, Miranda menyipitkan mata, melihat seorang pria berstelan jas biru tua, tengah berjalan di depan sana. Karena mabuk berat, dipenglihatan Miranda pria itu adalah suaminya.

"Hei, b@jingan! Berhenti!" Miranda melangkah cepat, lalu menarik jas pria itu dari belakang.

Plak!!!

"Dasar binatang! Mengapa kamu tega berselingkuh dariku? Aku kurang apa?!" teriak Miranda menggema di koridor yang nampak sepi itu.

Pria itu memegang sejenak rahangnya yang bergeser tadi akibat tamparan keras Miranda. Lalu memandangi Miranda tanpa ekspresi sama sekali.

"Tama!" Miranda mendekat lalu mencengkram kuat kerah pakaian sang pria. "Tama! Cepat jawab? Aku kurang apa?!" jeritnya sambil menitihkan air mata.

Enggan menyahut. Pria itu malah mengangkat satu alis matanya.

"Tama! Kenapa kamu diam?!!" pekiknya sekali lagi.

"Haruskah aku menjawab? Aku tidak mengenalmu, pergilah!" Suara pria itu terdengar tegas membuat Miranda memandang lekat-lekat.

Dalam sepersekian detik, Miranda mendekatkan wajahnya, menatap dua bola mata berwarna coklat itu, secepat kilat menangkup kedua pipi sang pria.

Cup!

Setelah mengecup singkat bibir pria dihadapannya. Miranda menjauhkan wajahnya seketika.

"Aku mencintai kamu, Tama!" serunya.

Sementara sang pria mematung. Kedua matanya terbelalak seketika. Saat bibir seksi Miranda menempel dibibirnya. Ada gelanyar aneh merasuk ke relung hatinya saat ini.

Dalam hitungan detik, dia menarik pinggang Miranda lalu *****@* habis bibir wanita yang tak ia kenali itu. Rasa alkohol dan manis bercampur menjadi satu di indera perasa sang pria saat ini. Naluri lelakinya semakin bersemangat, mengeksplor rongga mulut Miranda kala rasa manis lebih dominan.

Sedangkan Miranda melebarkan matanya saat mendapatkan serangan mendadak. Entah sejak kapan Miranda mengalungkan tangan di leher sang pria, menikmati permainan lidahnya. Kedua insan manusia itu saling mencumbu satu sama lain dengan mata terpejam.

"Tama..." ucap Miranda dengan lirih saat sang pria menjauhkan wajah lalu menempelkan keningnya ke kening Miranda.

"Hmm." Sang pria berdeham rendah, menatap datar pada sosok wanita dihadapannya.

"Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu, Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, apa salahku? Cepat katakan Tama!" Miranda kembali menitihkan air matanya sambil menatap nanar pria yang ia anggap sebagai Tama.

Sang pria enggan menyahut, malah mengendong Miranda tiba-tiba.

"Tama, kita mau kemana?" tanya Miranda sambil memegang kepalanya yang terasa nyeri.

"Ke suatu tempat," jawabnya singkat sambil melangkah cepat.

"Ah! Tama, hentikan! Walaupun aku mencintaimu, tapi aku tak sudi di sentuh olehmu!" pekik Miranda kala sang pria membuka paksa pakaiannya.

"Tama.. Stop.. I hate you..." Miranda merasakan benda padat dan tumpul di bawah sana melesak masuk ke dalam inti tubuhnya.

*

*

Hotel Rikardo.

Esok harinya.

Miranda melenguh dikala sinar mentari menerpa wajahnya. Secepat kilat ia membuka matanya.

"Di mana aku?" Dengan perlahan Miranda duduk di kasur, lalu mengedarkan pandangan di sekitar. Tak ada siapa-siapa di ruangan selain dirinya.

"Ini kan hotelnya Tama, kenapa aku bisa di sini?" tanyanya kebingungan sambil menyentuh kepalanya yang sakit sekali.

Miranda baru saja teringat kejadian semalam. Dimana ia mengetahui perselingkuhan Tama dan Anis. Dengan sempoyongan ia turun dari ranjang.

"Shfftt, ah kenapa inti tubuhku perih?" Miranda merasakan nyeri di bagian bawahnya. Ia semakin di buat penasaran apa yang terjadi semalam pada dirinya.

Pikiran nakalnya menari-nari sejenak. Mengira bahwa dirinya tidur bersama seseorang. Miranda langsung menelisik keadaan tubuhnya yang saat ini masih memakai pakaian utuh. Tak mau memikirkan yang aneh-aneh, ia bergegas keluar hendak pulang ke mansion.

*

*

*

Sesampainya di mansion, Miranda bergegas masuk ke dalam dengan mengabaikan sapaan para asisten.

"Tama!! Anis!!" pekik Miranda menggelegar di ruang makan. Menatap tajam pada Tama dan Anis secara bergantian.

Tama dan Anis menoleh ke sumber suara. Gurat keterkejutan terukir jelas saat melihat kedatangan Miranda.

"Miranda, kenapa kamu nggak bilang kalau sudah di Jakarta?" tanya Tama sambil beranjak dari kursi.

"Hai, Miranda, kebetulan aku juga lagi nunggu Rikardo turun ke bawah. Barusan suamimu nawarin aku sarapan, maaf ya Mir, lapar banget, soalnya tadi malam aku lembur ngerjain laporan."

Anis pun melakukan hal yang sama sambil tersenyum tipis. Semalam ketika ia sedang mencium Tama. Tanpa sepengetahuan Tama, Anis mengambil ponsel Tama dan menelepon Miranda agar wanita itu mendengar semua obrolannya. Dia tak menyangka jika Miranda sudah berada di Indonesia.

Plak!!

"Miranda! Apa yang kamu lakukan?!" teriak Tama saat melihat Miranda menampar Anis tiba-tiba.

Cari Latar Belakangnya

Marah, muak, dan kesal bercampur menjadi satu sekarang. Miranda menatap tajam Anis dan Tama secara bergantian.

"Awh!"

Anis menyentuh pipinya yang terasa perih ketika Miranda melayangkan tamparan di pipinya barusan. Dia tak menyangka Miranda sangat bar-bar. Setahunya Miranda, wanita lemah lembut, lantas mengapa Miranda bisa menamparnya. Namun Anis bersorak di dalam hati sebab sikap Miranda akan menjadi alasan dirinya untuk meminta Tama menceraikan Miranda segera.

Haha, dasar bodoh, dengan begini pasti Tama akan menceraikanmu.

"Kamu nggak apa-apa, Nis?" Tama cemas, tanpa sadar memegang pundak Anis sambil menelisik keadaan tubuh Anis di hadapan Miranda.

Nafas Miranda memburu, dadanya bergemuruh kuat menyaksikan Tama dan Anis berdekatan satu sama lain saat ini. Menahan amarah yang membuncah di relung hatinya. Kedua tangannya mengepal dengan sangat kuat.

Anis menggeleng. "Nggak Tama," ucapnya, menampilkan wajah memelas.

Tama mengalihkan pandangan pada Miranda.

"Miranda, apa-apaan kamu? Kenapa kamu menampar Anis? Apa salahnya?!" bentak Tama.

Miranda tersenyum sinis lalu berkata,"Apa aku butuh alasan untuk menampar selingkuhan suamiku?"

Suara Miranda terdengar dingin membuat Tama terkejut bukan main. Selama menjalani bahtera rumah tangga bersama Miranda, tak pernah sekalipun Tama mendengar istrinya, marah.

"Apa maksudmu?" tanya Tama seolah-olah perkataan Miranda barusan hanyalah omongan kosong belaka.

Miranda berdecih lalu melipat tangan di dada.

"Tama Nahendra, kamu pikir, aku bodoh, aku sudah tahu semua kebusukan kalian!" katanya sambil mengambil ponsel dari dalam tas lalu memutar rekaman percakapan dirinya dan Anis semalam.

Lagi dan lagi, Tama nampak syok sekaligus terkejut sejenak, berarti tadi malam yang memecahkan vas bunga adalah Miranda.

"Bagus lah, kalau kamu sudah tahu, aku tidak perlu susah-susah menjelaskannya padamu," ucap Tama menanggapi perkataan Miranda.

Enggan menanggapi Tama. Miranda malah memandangi Anis dari atas kepala hingga ujung kaki. Menilai penampilan Anis, Miranda menggeleng pelan, menyadari pakaian Anis, sebagian hampir sama dengan miliknya. Ia menebak jika Tama membelikan Anis baju yang sama seperti dirinya.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu?!" murka Anis manakala Miranda melihat dirinya dengan tatapan mencemooh.

"Aku memiliki mata, Anis!" seru Miranda.

"Miranda! Cukup!" seru Tama.

"Mari kita bercerai!" Miranda melontarkan kalimat barusan tiba-tiba dengan dada yang semakin berdenyut nyeri.

"Tidak! Sampai kapanpun, aku tidak akan menceraikanmu, kamu tahu sendiri, Miranda, perusahaan akan terkena dampak kalau kita berpisah," jelas Tama, dengan menatap lekat mata Miranda yang mulai berkaca-kaca.

Miranda terhenyak, ini lah yang ia takutkan sedari tadi, jika keduanya memutuskan berpisah maka perusahaan akan gulung tikar. Di sini, nasib ribuan karyawan bergantung padanya. Miranda diterpa dilema sekarang.

"Karena kamu sudah tahu, izinkan Anis tinggal di sini, dia sedang hamil anak aku," ucap Tama pelan, membuat hati Miranda semakin hancur berkeping-keping.

Miranda menahan diri untuk tidak menangis di depan mereka. Bukannya membalas perkataan Tama, Miranda berlalu pergi, meninggalkan Tama dan Anis.

Melihat kepergian Miranda, Tama langsung mengejar istrinya tanpa menghiraukan suara teriakan Anis menggema di lantai satu.

*

*

Tama masuk ke dalam kamar, melihat Miranda berdiri di atas balkon, membelakanginya. Sepasang mata berwarna hitam itu menutup pintu kamar dengan pelan, lalu berjalan, mendekati Miranda.

"Miranda," panggil Tama sambil menyentuh pundak Miranda. "Maaf, aku tak bermaksud melukaimu, Mir, hubunganku dan Anis sudah cukup lama, kami berpacaran sejak kuliah, boleh kah Anis tinggal di sini? Aku tidak mau Anis kenapa-kenapa, Mir," ucapnya, berharap Miranda dapat mengerti bahwa dia dan Anis sudah lama menjalin hubungan sebelum ia menikah dengan Miranda.

Luka di hati Miranda semakin mengangga lebar, dengan cepat ia menyeka air matanya. Lalu memutar tubuhnya.

"Apa di hatimu tidak ada namaku sama sekali?" Bukannya menjawab pertanyaan Tama, dia malah balik bertanya sambil menatap lekat Tama.

Tama tak langsung membalas ucapan Miranda. Lidahnya terasa kaku apalagi sekarang ia dapat melihat mata Miranda yang sembab dan mendengar suaranya bergetar pelam. Bohong, jika selama empat tahun ini dia tidak mencintai Miranda tapi karena sudah dibutakan oleh Anis. Dia menepis semua perasaan cintanya pada Miranda.

"Aku–"

"Mama! Papa!" Bocah laki-laki berpakaian sekolah, menyelenong masuk ke dalam kamar sambil memakai tas ransel dipunggungnya.

Tama dan Miranda menoleh seketika, melihat Rikardo Nahendra, anak semata wayang mereka, berlarian, menghampiri keduanya.

"Ma! Pa! Di bawah ada Eyang!" seru Rikardo, begitu semangat.

Pasangan suami istri itu, nampak terkejut, wanita yang disegani mereka datang kemari tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

"Miranda, pembicaraan kita belum selesai, aku mohon berkerjasamalah denganku, jangan sampai Eyang tahu hubunganku dan Anis, ayo kita turun ke bawah," ucap Tama dengan pelan sambil mengelus kepala Rikardo.

Untuk kesekian kalinya perkataan Tama, membuat Miranda sakit hati, apa Tama tak memikirkan perasaannya jua, memintanya menutupi perselingkuhan suaminya. Miranda tersenyum getir meratapi biduk rumah tangganya saat ini.

*

*

*

Sementara itu, di sisi lain.

Hotel Nahen.

Bunyi gagang pintu terbuka terdengar begitu kuat. Seorang pria bertubuh tinggi dan memiliki postur yang proposional masuk ke dalam ruangan, dengan mengamati keadaan sekitar.

"Di mana wanita itu? Aku baru saja meninggalkannya sebentar saja dan dia sudah pergi," gumamnya, datar.

Setelah menutup pintu, sang pria melangkahkan kaki jenjangnya, mendekati ranjang yang sebagai saksi sketika dia bercinta semalam bersama seorang wanita yang ia sendiri tidak kenal.

"Semoga saja dia tidak hamil." Sang pria berjalan mondar-mandir, memandangi sprei berwarna putih nampak kusut karena ulahnya semalam.

Tok, tok, tok.

Suara ketukan pintu berhasil menghentikan gerakan kakinya. Secepat kilat ia menoleh ke ambang pintu.

"Masuk!"

Begitu mendengar perintah dari dalam ruangan. Pria bertubuh kekar bergegas masuk ke kamar.

Membungkuk sedikit. "Tuan muda, pesawat sudah siap, kita harus ke Bali sekarang," ucapnya.

"Baiklah, Cole, tapi sebelum kita pergi, aku memintamu mencari latar belakang wanita yang semalam mencari gara-gara denganku," ucapnya kepada sang tangan kanannya, sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana.

Cole mengangguk, patuh. "Apa ada lagi yang anda perlu kan Tuan?" tanyanya karena sang majikan banyak maunya. Selama berkerja sepuluh tahun bersama pria dihadapannya, ia selalu direpotkan dengan permintaannya yang aneh-aneh.

"Hm, tak ada, ayo kita ke bandara, laporkan informasi yang kamu dapatkan nanti malam padaku." Sang pria melirik arloji sekilas lalu berjalan cepat melewati Cole.

Astaga, dia gila atau apa? Memangnya dia pikir, aku ini sensus penduduk. Bagaimana mungkin aku mencari data wanita dalam waktu satu hari? Sebenarnya apa yang dia lakukan semalam? Apa mereka tidur bersama? Oh, itu tidak mungkin, karena Tuan tidak menyukai makhluk hidup bernama wanita.

"Cole, berhenti mengumpatiku, ayo cepat, kamu ingin aku pecat!" seru sang pria tiba-tiba di depan pintu kamar, membuat Cole gelagapan seketika.

Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Mengapa Tuan besar bisa sampai memiliki anak arogan seperti dirinya, sangat berbeda dengan sifat Tuan Besar.

"Cole Bennet! Hurry up!" serunya tanpa menatap lawan bicara.

Kedatangan Eyang Sari + Visual

Kediaman Nahendra.

Ruang Tamu.

"Siapa kamu?" tanya seorang wanita berkacamata sambil mengedarkan pandangan di sekitar ruangan, mencari Tama dan Miranda.

Anis beranjak, terkejut, melihat kedatangan Eyang Sari. Tak menyangka akan bertemu wanita yang selama ini dia benci. Selama berpacaran dengan Tama, ia memang tak pernah bertemu Eyang Sari dan hanya melihat dari foto-foto yang bersliweran di sosial media.

Menutupi kegugupannya, ia meremas blazer-nya dengan kuat. Anis tak langsung menyahut, tengah merangkai kata-kata untuk menjawab pertanyaan Eyang Sari. Dari informasi yang ia dapatkan dari Tama, jika Eyang sangat galak dan suka marah-marah.

"Kamu tuli atau apa?!" bentak Eyang Sari, sambil memberikan kode pada orang kepercayaanya yang berdiri di samping, untuk mencari Tama dan Miranda.

Pria bertubuh jangkung itu mengangguk, patuh, namun sebelum kakinya melangkah, ia melihat Tama, Miranda dan Rikardo berjalan cepat, menghampiri mereka.

Anis tersentak.

Si@lan! Dasar nenek peyot?! Awas saja kalau aku sudah menjadi Nyonya Nahendra, aku akan membuatmu menderita!

Anis hanya mampu berucap di dalam hati, sebab tak mau image-nya di depan Tama tercoreng.

"Eyang, kenapa tidak memberitahu kami kalau mau datang ke sini?" Miranda tersenyum tipis seraya memeluk Eyang Sari seketika.

Mimik muka Eyang yang semula mengeras berubah drastis dalam sekejap mata. Kedatangan Miranda membuat hatinya sejuk, apalagi ketika melihat senyum manisnya begitu menenangkan jiwanya.

Eyang mengurai pelukan. "Eyang rindu kamu, Miranda, Eyang memiliki firasat yang buruk tentang rumah tangga kalian," ucapnya sambil menggengam erat tangan Miranda yang tengah menuntunnya untuk duduk di sofa.

Anis yang menyaksikan interaksi Eyang dan Miranda, tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya. Tak terima jikalau Eyang ternyata dekat dengan Miranda.

Setelah duduk di samping Eyang Sari, Miranda melirik Tama sekilas sedang bercengkrama bersama Rikardo di hadapannya. Mengerti akan akan kode dari Miranda, Tama tak berani menanggapi perkataan Eyang. Tama jelas tahu, Eyang memilikif feeling yang cukup kuat, apalagi menyangkut tentang keluarganya.

Melihat lirikan mata Tama, Miranda berdecak kesal di dalam hati.

Menghela nafas sejenak."Bagaimana Eyang bisa tahu," ucapnya. Tama dan Anis ketar-ketir seketika.

Eyang terdiam, dengan menampilkan wajah datar, tanpa ekspresi sama sekali. Wanita berambut putih dan memakai kacamata itu melemparkan pandangan kepada Miranda, Tama, dan Anis secara bergantian. Sementara Rikardo terlihat kebingungan, melihat mereka tak bersuara kembali.

Miranda membuang muka kala Tama melototinya saat ini. Dia sangat tak peduli dengan kemarahan Tama nantinya. Sedangkan Anis menggeram sebal, mendengar perkataan rivalnya itu.

Hening sejenak!

Suasana di ruangan saat ini begitu mencekam, hanya terdengar suara tarikan dan hembusan nafas dari Eyang Sari.

"Jadi benar, feeling Eyang?" tanya Eyang Sari dengan menaikkan satu alis mata.

Miranda mengangguk.

Mendengar hal itu, Eyang Sari rahangnya menggeras lalu meminta Rikardo, cicitnya untuk masuk ke dalam kamar. Rikardo menurut, lalu bergegas ke lantai tiga di tuntun oleh Nanny-nya.

"Cepat jelaskan pada Eyang, apa yang terjadi? Lalu siapa wanita ini?!" cecarnya beruntun sambil menunjuk Anis masih bergeming di tempat.

"Eyang, jangan dengarkan Miranda, dia hanya bercanda–"

"Siapa yang menyuruhmu bicara?!" Eyang memotong perkataan Tama.

Tama bungkam, kemudian menatap tajam Miranda. Ia marah ketika perkataannya di dalam kamar tadi, tak di gubris Miranda.

"Cepat katakan pada Eyang sekarang?" Eyang melirik-lirik Anis dari tadi, menebak jika wanita dihadapannya adalah sumber masalah di dalam rumah tangga cucunya.

"Tak usah takut! Dan kamu Tama, berhenti menakuti Miranda!!! Apa wanita ini sumber masalah kalian." Eyang menunjuk Anis tiba-tiba.

Tama dan Anis terkesiap mendengar penuturan Eyang. Keduanya nampak salah tingkah, berbeda dengan Miranda bersorak di dalam hati seraya mengelus-elus punggung tangan kanan Eyang.

"Eyang, maaf, kalau Miranda belum bisa menjadi istri yang baik bagi cucu Eyang, karena Tama berselingkuh bersama sekretarisku itu," ucapnya dengan nada bergetar, sambil melirik Anis, memberitahu Eyang jika sekretarisnya adalah wanita di hadapan mereka sekarang.

Secepat hembusan angin, Eyang berdiri lalu melangkah mendekati Anis sambil melayangkan tatapan tajam, setajam sebilah pedang.

Plak!!!

"Eyang!" pekik Tama bangkit berdiri sofa, lalu berjalan cepat menghampiri Anis sambil membawa Anis ke belakang tubuhnya, berlindung dari amukan Eyang.

Sementara, Miranda tersenyum hambar kala di depan matanya, Tama melindungi wanita lain. Dadanya begitu sakit, melihat pemandangan tersebut. Miranda membuang muka sambil mengigit bibir bawah, menahan sesuatu yang ingin keluar dari bola matanya sekarang.

Plak!!!

Tamparan kuat menggema di ruangan. Eyang mendaratkan tamparan di pipi kanan Tama juga. Dengan nafas yang memburu, Eyang melihat Tama dan Anis.

"Kalian berdua tidak pantas di sebut manusia! Eyang kecewa padamu, Tama. Miranda sangatlah sempurna, apa kamu sudah di sihir oleh wanita jal@ng ini?" cetusnya, cepat.

Tama meradang. "Cukup, Eyang! Anis bukan lah j@lang!"

Eyang tertawa sejenak. "Kalau bukan jal@ng? Lalu apa? Bukan kah sebutan itu pantas disematkan pada wanita seperti dia? Tama, Tama, Eyang tak habis pikir, mengapa kamu tidak bisa membedakan antara berlian dan kerikil?"

Di belakang tubuh Tama, rahang Anis menggeras dengan sangat kuat, ketika mendengar Eyang menghina dan mencemoohnya. Dia sangat tak terima dengan perkataan Eyang barusan.

"Sayang sekali, berlian yang kamu maksud sepertinya kalah dari batu kerikil!" seru Anis seraya mendorong kuat tubuh Tama yang menghalanginya.

"Lihatlah dia! Benar-benar tidak tahu malu!" Eyang menggeleng pelan, tak menyukai kepribadian Anis, yang tidak ada sopan-sopannya berbicara pada orang yang lebih tua.

"Tama, jika kamu menyayangi Eyang, menjauhlah dari wanita binal ini sekarang." Sambung Eyang lagi sambil menatap dingin keduanya bersamaan.

"Eyang! Cukup! Jangan menghina Anis lagi, aku tidak akan menjauhi Anis, dia akan tinggal di sini, karena sekarang Anis hamil!" seru Tama, lantang.

Nafas Eyang tercekat, tak menyangka jika Anis tengah mengandung anak Tama. Dia menoleh ke arah Miranda yang dari tadi terdiam, tak menyanggah ataupun menimpali perkataannya. Eyang begitu sedih karena tak bisa menepati janjinya kepada mendiang orangtua Miranda.

Alih-alih menanggapi perkataan Tama. Eyang Sari malah mendekati Miranda.

"Miranda, maafkan Eyang karena tak bisa mengajari Tama untuk menghormati dan menghargai seorang wanita," ucap Eyang dengan memeluk Miranda.

Dalam dekapan tubuh Eyang, pecah juga tangis Miranda. Dia terisak kuat karena tak mampu membendung airmatanya saat ini. Miranda sangat mencintai Tama, tapi apalah daya, kenyataannya di dalam hati suaminya, tak terukir namanya.

Sejak belia hingga dewasa, Miranda memang tak pernah dekat dengan seorang pria. Hal itu disebabkan oleh kedua orangtuanya sangat menjaga ketat dirinya sejak kecil. Tama adalah cinta pertama Miranda. Ia langsung jatuh hati dan terpesona pada Tama sejak perjumpaan pertama.

Mendengar isakan tangis Miranda, hati Tama begitu nyeri. Bingung akan perasaanya saat ini. Menghela nafas sejenak sambil menatap ke arah Eyang dan Miranda. Sementara Anis menahan cemburu kala melihat Tama memperhatikan kedua wanita berbeda generasi itu saling memeluk satu sama lain.

Anis melampiaskan kekesalannya dengan mencubit kuat lengan Tama tiba-tiba.

"Awh! Anis, sakit, apa-apaan kamu?" Tama mengaduh kesakitan sejenak, menatap bingung pada Anis yang melototinya sekarang.

Sementara itu, Eyang mengelus punggung Miranda yang masih menangis dalam pelukkannya.

"Miranda, Eyang meminta padamu jadilah wanita kuat, buat wanita ular itu tak betah tinggal di rumah ini." Eyang berbisik pelan di telinga Miranda, lalu mengurai pelukan.

"Hapus air matamu itu, buatlah Tama menyesal, Eyang akan mencari cara agar kalian bisa berpisah tanpa harus membuat perusahaan hancur," ucap Eyang sambil melirik Tama dan Anis sedang beradu mulut sekarang.

Miranda mengusap cepat jejak tangisnya. Kemudian menatap lekat Eyang Sari.

Benar kata Eyang, aku harus membuat Tama menyesal, terimakasih Eyang.

Miranda Gunadhya

Tama Nahendra

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!