Cari Latar Belakangnya

Marah, muak, dan kesal bercampur menjadi satu sekarang. Miranda menatap tajam Anis dan Tama secara bergantian.

"Awh!"

Anis menyentuh pipinya yang terasa perih ketika Miranda melayangkan tamparan di pipinya barusan. Dia tak menyangka Miranda sangat bar-bar. Setahunya Miranda, wanita lemah lembut, lantas mengapa Miranda bisa menamparnya. Namun Anis bersorak di dalam hati sebab sikap Miranda akan menjadi alasan dirinya untuk meminta Tama menceraikan Miranda segera.

Haha, dasar bodoh, dengan begini pasti Tama akan menceraikanmu.

"Kamu nggak apa-apa, Nis?" Tama cemas, tanpa sadar memegang pundak Anis sambil menelisik keadaan tubuh Anis di hadapan Miranda.

Nafas Miranda memburu, dadanya bergemuruh kuat menyaksikan Tama dan Anis berdekatan satu sama lain saat ini. Menahan amarah yang membuncah di relung hatinya. Kedua tangannya mengepal dengan sangat kuat.

Anis menggeleng. "Nggak Tama," ucapnya, menampilkan wajah memelas.

Tama mengalihkan pandangan pada Miranda.

"Miranda, apa-apaan kamu? Kenapa kamu menampar Anis? Apa salahnya?!" bentak Tama.

Miranda tersenyum sinis lalu berkata,"Apa aku butuh alasan untuk menampar selingkuhan suamiku?"

Suara Miranda terdengar dingin membuat Tama terkejut bukan main. Selama menjalani bahtera rumah tangga bersama Miranda, tak pernah sekalipun Tama mendengar istrinya, marah.

"Apa maksudmu?" tanya Tama seolah-olah perkataan Miranda barusan hanyalah omongan kosong belaka.

Miranda berdecih lalu melipat tangan di dada.

"Tama Nahendra, kamu pikir, aku bodoh, aku sudah tahu semua kebusukan kalian!" katanya sambil mengambil ponsel dari dalam tas lalu memutar rekaman percakapan dirinya dan Anis semalam.

Lagi dan lagi, Tama nampak syok sekaligus terkejut sejenak, berarti tadi malam yang memecahkan vas bunga adalah Miranda.

"Bagus lah, kalau kamu sudah tahu, aku tidak perlu susah-susah menjelaskannya padamu," ucap Tama menanggapi perkataan Miranda.

Enggan menanggapi Tama. Miranda malah memandangi Anis dari atas kepala hingga ujung kaki. Menilai penampilan Anis, Miranda menggeleng pelan, menyadari pakaian Anis, sebagian hampir sama dengan miliknya. Ia menebak jika Tama membelikan Anis baju yang sama seperti dirinya.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu?!" murka Anis manakala Miranda melihat dirinya dengan tatapan mencemooh.

"Aku memiliki mata, Anis!" seru Miranda.

"Miranda! Cukup!" seru Tama.

"Mari kita bercerai!" Miranda melontarkan kalimat barusan tiba-tiba dengan dada yang semakin berdenyut nyeri.

"Tidak! Sampai kapanpun, aku tidak akan menceraikanmu, kamu tahu sendiri, Miranda, perusahaan akan terkena dampak kalau kita berpisah," jelas Tama, dengan menatap lekat mata Miranda yang mulai berkaca-kaca.

Miranda terhenyak, ini lah yang ia takutkan sedari tadi, jika keduanya memutuskan berpisah maka perusahaan akan gulung tikar. Di sini, nasib ribuan karyawan bergantung padanya. Miranda diterpa dilema sekarang.

"Karena kamu sudah tahu, izinkan Anis tinggal di sini, dia sedang hamil anak aku," ucap Tama pelan, membuat hati Miranda semakin hancur berkeping-keping.

Miranda menahan diri untuk tidak menangis di depan mereka. Bukannya membalas perkataan Tama, Miranda berlalu pergi, meninggalkan Tama dan Anis.

Melihat kepergian Miranda, Tama langsung mengejar istrinya tanpa menghiraukan suara teriakan Anis menggema di lantai satu.

*

*

Tama masuk ke dalam kamar, melihat Miranda berdiri di atas balkon, membelakanginya. Sepasang mata berwarna hitam itu menutup pintu kamar dengan pelan, lalu berjalan, mendekati Miranda.

"Miranda," panggil Tama sambil menyentuh pundak Miranda. "Maaf, aku tak bermaksud melukaimu, Mir, hubunganku dan Anis sudah cukup lama, kami berpacaran sejak kuliah, boleh kah Anis tinggal di sini? Aku tidak mau Anis kenapa-kenapa, Mir," ucapnya, berharap Miranda dapat mengerti bahwa dia dan Anis sudah lama menjalin hubungan sebelum ia menikah dengan Miranda.

Luka di hati Miranda semakin mengangga lebar, dengan cepat ia menyeka air matanya. Lalu memutar tubuhnya.

"Apa di hatimu tidak ada namaku sama sekali?" Bukannya menjawab pertanyaan Tama, dia malah balik bertanya sambil menatap lekat Tama.

Tama tak langsung membalas ucapan Miranda. Lidahnya terasa kaku apalagi sekarang ia dapat melihat mata Miranda yang sembab dan mendengar suaranya bergetar pelam. Bohong, jika selama empat tahun ini dia tidak mencintai Miranda tapi karena sudah dibutakan oleh Anis. Dia menepis semua perasaan cintanya pada Miranda.

"Aku–"

"Mama! Papa!" Bocah laki-laki berpakaian sekolah, menyelenong masuk ke dalam kamar sambil memakai tas ransel dipunggungnya.

Tama dan Miranda menoleh seketika, melihat Rikardo Nahendra, anak semata wayang mereka, berlarian, menghampiri keduanya.

"Ma! Pa! Di bawah ada Eyang!" seru Rikardo, begitu semangat.

Pasangan suami istri itu, nampak terkejut, wanita yang disegani mereka datang kemari tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

"Miranda, pembicaraan kita belum selesai, aku mohon berkerjasamalah denganku, jangan sampai Eyang tahu hubunganku dan Anis, ayo kita turun ke bawah," ucap Tama dengan pelan sambil mengelus kepala Rikardo.

Untuk kesekian kalinya perkataan Tama, membuat Miranda sakit hati, apa Tama tak memikirkan perasaannya jua, memintanya menutupi perselingkuhan suaminya. Miranda tersenyum getir meratapi biduk rumah tangganya saat ini.

*

*

*

Sementara itu, di sisi lain.

Hotel Nahen.

Bunyi gagang pintu terbuka terdengar begitu kuat. Seorang pria bertubuh tinggi dan memiliki postur yang proposional masuk ke dalam ruangan, dengan mengamati keadaan sekitar.

"Di mana wanita itu? Aku baru saja meninggalkannya sebentar saja dan dia sudah pergi," gumamnya, datar.

Setelah menutup pintu, sang pria melangkahkan kaki jenjangnya, mendekati ranjang yang sebagai saksi sketika dia bercinta semalam bersama seorang wanita yang ia sendiri tidak kenal.

"Semoga saja dia tidak hamil." Sang pria berjalan mondar-mandir, memandangi sprei berwarna putih nampak kusut karena ulahnya semalam.

Tok, tok, tok.

Suara ketukan pintu berhasil menghentikan gerakan kakinya. Secepat kilat ia menoleh ke ambang pintu.

"Masuk!"

Begitu mendengar perintah dari dalam ruangan. Pria bertubuh kekar bergegas masuk ke kamar.

Membungkuk sedikit. "Tuan muda, pesawat sudah siap, kita harus ke Bali sekarang," ucapnya.

"Baiklah, Cole, tapi sebelum kita pergi, aku memintamu mencari latar belakang wanita yang semalam mencari gara-gara denganku," ucapnya kepada sang tangan kanannya, sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana.

Cole mengangguk, patuh. "Apa ada lagi yang anda perlu kan Tuan?" tanyanya karena sang majikan banyak maunya. Selama berkerja sepuluh tahun bersama pria dihadapannya, ia selalu direpotkan dengan permintaannya yang aneh-aneh.

"Hm, tak ada, ayo kita ke bandara, laporkan informasi yang kamu dapatkan nanti malam padaku." Sang pria melirik arloji sekilas lalu berjalan cepat melewati Cole.

Astaga, dia gila atau apa? Memangnya dia pikir, aku ini sensus penduduk. Bagaimana mungkin aku mencari data wanita dalam waktu satu hari? Sebenarnya apa yang dia lakukan semalam? Apa mereka tidur bersama? Oh, itu tidak mungkin, karena Tuan tidak menyukai makhluk hidup bernama wanita.

"Cole, berhenti mengumpatiku, ayo cepat, kamu ingin aku pecat!" seru sang pria tiba-tiba di depan pintu kamar, membuat Cole gelagapan seketika.

Bagaimana dia bisa membaca pikiranku? Mengapa Tuan besar bisa sampai memiliki anak arogan seperti dirinya, sangat berbeda dengan sifat Tuan Besar.

"Cole Bennet! Hurry up!" serunya tanpa menatap lawan bicara.

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus sAbar

2023-07-22

0

🌹🌹🍀🍀Edelweis🌻🌻🌈🌈

🌹🌹🍀🍀Edelweis🌻🌻🌈🌈

Hai thor aku mampir

2023-04-02

0

SEPTi

SEPTi

apa kah tuan besar sangat kaya?????

2023-03-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!