Jangan Bermain Api

Sesampainya di sekolah international playgroup. Miranda mengembangkan senyuman, melihat anaknya berlarian menuju parkiran mobil. Dia menatap sendu Rikardo sambil membayangkan, bagaimana menyampaikan mengenai hubungan ia dan Tama pada Rikardo kelak ketika anaknya sudah beranjak dewasa nantinya.

Untuk sekarang Miranda berencana, akan berpisah secara baik-baik dengan Tama. Dan mencari jalan keluar agar perusahannya tak terkena dampak dari perpisahannya.

"Mama!" teriak Rikardo ketika Tono keluar dari mobil. Gurat kesenangan terpatri jelas diwajahnya kala melihat Tina alias Tono membuka pintu untuk dirinya.

"Wah ada om Tono!" Rikardo melompat-lompat kegirangan.

"Salah ya, Tina, bukan Tono, gemas banget sih bocah," ucap Tono sambil mencubit pelan pipi bulat Rikardo.

Rikardo terkekeh sejenak. "Hehe, tapi Rikardo sukanya manggil om Tono."

Tono membalas dengan mengerlingkan mata ke atas. Sementara Miranda yang memperhatikan interaksi antara Tina dan Rikardo, hanya merekahkan senyuman.

"Ayo, cepat naik nak, kamu pasti sudah lapar Kan?"

Rikardo mengangguk. Tanpa banyak kata masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang. Tono pun melakukan hal yang sama, setelah menutup pintu mobil, ia masuk kembali dan duduk di samping Miranda.

"Tumben mama jemput Rikardo, apa kerjaan mama sudah selesai?" tanya Rikardo sambil menaruh ransel di samping tubuhnya.

"Sudah sayang, hari ini mama bakalan di rumah seharian." Miranda melirik sekilas Rikardo di kaca spion mobil di bagian tengah.

Rikardo terlihat senang karena sang mama, akhirnya tak sibuk berkerja. "Yei! Ma, Rikardo mau nasi goreng, tapi dimasakin mama!" serunya dengan mengangkat kedua tangannya ke udara.

"Iya, nanti mama buatin," balas Miranda dengan memperhatikan jalanan perkotaan yang nampak ramai sekarang.

"Eyke juga dimasakin ya." Tono menimpali sambil menggerakan tangan dengan gemulai.

Lagi dan lagi Rikardo terkikik geli, melihat tingkah laku Tono. Sedangkan Miranda hanya menggelengkan kepalanya saja.

*

*

Menempuh kurang lebih tiga puluh menit. Ketiganya sudah sampai di mansion. Miranda kebingungan, melihat mobil Tama terparkir di halaman depan. Bukan kah seharusnya Tama masih berkerja, lantas mengapa siang hari pria itu sudah berada di rumah Menerka-nerka, apa karena ada Anis di mansion membuat Tama pulang lebih awal, entahlah.

Begitu sampai di ruang keluarga. Miranda langsung disuguhkan pemandangan yang membuat darahnya berdesir naik. Tanpa mengenal tempat, Tama dan Anis tengah berciuman satu sama lain. Bagai hembusan angin, ia menutup mata Rikardo seketika.

"Tama! Anis! Kalau kalian ingin bercumbu mesra di kamar saja! Ada anakku di sini!" seru Miranda membuat keduanya tersentak kaget.

Tama mendorong pelan dada Anis. Lalu beralih menatap Miranda. Mendesah kasar, karena tak mampu menahan diri tadi ketika Anis menggodanya di sini. Entah mengapa perasaan bersalah merasuk ke relung hatinya saat ini.

Tama bingung, mengapa Miranda tak memarahinya. Dia semakin penasaran, sisi lain Miranda muncul. Dahulu istrinya itu selalu bertutur kata dengan lemah lembut namun sekarang sikap Miranda sangat berbeda. Bertanya-tanya, apa Miranda tak mencintainya lagi.

"Maaf." Tama segera bangkit berdiri sambil merapikan jas-nya yang nampak kusut. Kemudian berjalan mendekati Miranda dan Rikardo. Sedangkan Anis mengumpat kesal karena rencananya untuk membuat Miranda cemburu gagal.

"Hm." Miranda membalas dengan berdeham rendah lalu memalingkan muka saat Tama menatapnya kini.

"Anak papa, pasti kecapean?" Tama mensejajarkan tubuhnya dengan Rikardo sambil menarik tangan Miranda yang sedari tadi masih menutupi mata Rikardo.

Rikardo mengangguk cepat kemudian menolehkan matanya ke atas, melihat mamanya bersikap aneh hari ini.

Sentuhan pelan di tangan, membuat Miranda terkejut sedikit. Dalam sepersekian detik, Miranda mengibaskan tangan Tama. Sementara Tama melebarkan mata saat melihat pancaran Miranda seakan jijik padanya sekarang.

Tama menarik nafas pelan lalu berdiri kembali. "Maaf, aku tak bermaksud, Mir. Aku dan Anis tidak sengaja," jelasnya, singkat.

"Hm, terserah." Miranda mengalihkan pandangan kepada Tono yang sedang sibuk dengan ponselnya sedari tadi tengah membalas chat dari kolega perusahaan.

"Tono, bisakah kamu membantuku, mengantar Rikardo ke atas, hari ini kamu mengantikan peran nanny!" serunya lantang, sengaja agar Anis dapat mendengar ucapannya di ujung sana.

Tono menghentikan gerakan tangan. Lalu menatap Miranda. "Dengan senang hati, jangan lupa gaji eyke dinaikin yei!" Mengedipkan mata dengan centil.

Tama kebingungan. "Nanny yang kemarin, bukannya ada, mengapa kamu menyuruh dia mengasuh Rikardo," protesnya.

"Kamu pikir aku tidak tahu, kalau kamu sengaja memperkerjakan Nanny, agar kalian bisa berduaan!" bentak Miranda, teringat dengan perkataan Eyang Sari yang meneleponnya di mobil. Memberitahunya jika Nanny ada andil dalam menutupi perselingkuhan mereka.

Bodoh sekali, Miranda, dahulu begitu percaya dengan Tama yang memintanya memperkerjakan Nanny. Sebenarnya, Miranda ingin mengasuh anak seorang diri namun Tama memaksanya, bermaksud agar pekerjaannya tak terganggu nanti. Namun ternyata ada udang di balik batu. Rupanya Anis dan Tama akan menitipkan Rikardo pada Nanny berlama-lama dan keduanya berpacaran ketika dia tengah sibuk berkerja.

"Miranda, dengarkan aku–"

"Stop! Aku tak butuh penjelasanmu, kembalilah pada wanitamu, aku harus ke dapur memasakkan anakku makanan!" potong Miranda cepat sambil memberikan bahasa isyarat pada Tina agar membawa Rikardo ke atas.

Mendengar perkataan Miranda, Tama kalut seketika. Bukan kah seharusnya dia senang Miranda menyuruhnya menemani Anis tapi mengapa sekarang perasaannya sangat tak karuan.

Setelah melihat punggung Tina dan Rikardo menghilang, Miranda melengos pergi dari hadapan Tama.

Di ujung sana, Anis tersenyum lebar melihat sikap Miranda yang pastinya akan membuat Tama muak. Karena dia tahu jika Tama tak suka wanita yang selalu menaikan suara dihadapannya.

*

*

*

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Setelah selesai membacakan dongeng pengantar tidur untuk Rikardo. Miranda bergegas masuk ke kamar.

Miranda terkejut melihat Tama berbaring di atas kasur sambil menonton televisi. Dia tak menyangka suaminya masih mau tidur satu ranjang dengannya. Padahal saat ini Anis di kamar sebelah.

Memilih acuh, Miranda langsung duduk di meja rias dan mulai memoles wajahnya dengan krim malam.

Tama menggeram sebal karena sekali lagi sikap Miranda membuatnya kalang kabut. Tadi dia bertengkar hebat dengan Anis dikarenakan Tama yang sejak tadi siang memperhatikan Miranda secara diam-diam dari kejauhan ketika mereka makan bersama. Anis tentu saja terbakar cemburu.

"Miranda! Kita harus berbicara!" seru Tama, dengan mengubah posisi tubuh.

Secepat mungkin Miranda merapikan skincare-nya lalu mendekati ranjang.

"Apa? Cepat katakan?" katanya, ketus sambil melipat tangan di dada.

"Miranda, aku suamimu, mengapa kamu tak sopan denganku!"

"Suami? Apa kamu pantas di sebut suami?" ucap Miranda, tersenyum sinis.

"Miranda, kamu sudah berani melawanku ya!" seru Tama sambil beranjak.

"Ya, aku tidak akan seperti ini, kalau kamu tidak bermain api! Aku membencimu Tama!" seru Miranda, menatap nyalang Tama.

Deg.

Tama membeku kala melihat bola mata Miranda terpancar kekecewaan mendalam.

"Aku membencimu!"

Meski Miranda mengucapkan kata benci tapi hatinya malah terasa perih. Dia menahan diri agar tak menangis dihadapan Tama, sakit rasanya harus terlihat kuat di hadapan orang yang ia cintai, tapi Miranda tak mau menampakkan kelemahannya di depan Tama.

Bunyi dering ponsel, mengalihkan perhatian Miranda dan Tama sejenak.

Miranda melirik ponselnya di atas nakas, lalu menyambar cepat benda tersebut. Sementara Tama masih bergeming di tempat.

"Hallo," sapa Miranda terlebih dahulu. Gurat keheranan tergambar jelas di wajahnya saat ini ketika di sebrang sana hanya terdengar helaan nafas berat. Miranda melihat lagi layar ponselnya, menampilkan nomor asing.

"Hallo, siapa ini?" tanya Miranda sekali lagi.

Hm, aneh nomor siapa ya. Mencurigakan, tidak mungkin Tono, Kan.

Kadang kala Tono selalu mengerjainya dengan menghubunginya dengan menggunakan nomor baru.

"Hal–"

Perkataan Miranda terjeda ketika sambungan telepon di putus secara sepihak.

*

*

Sementara itu, tepatnya di Bali. Setelah meletakkan ponsel di saku celana. Colle Bennet terlihat senang sekaligus gelisah. Apa kah harus memberitahu majikannya sekarang mengenai identitas Miranda.

"Cole!"

Sang pria berstelan jas hitam, mendekati Cole yang nampak gusar.

"Bagaimana, apa kamu sudah menemukan informasi tentang wanita semalam?" tanyanya, datar.

"Belum, Tuan."

Cole berbohong, padahal dia sudah mendapatkan informasi dari Miranda. Tapi dia menunda terlebih dahulu sampai pertemuan penting Tuannya dan rekan bisnis perusahan selesai. Dia tak mau sang Tuan badmood setelah mengetahui kebenaran tentang Miranda. Meskipun Tuannya mengatakan tidak tertarik dengan wanita itu, tapi Cole dapat merasakan kalau Tuannya menyukai Miranda.

Malang sekali nasibmu, Tuan, ternyata wanita yang anda sukai sudah menikah.

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus sehst

2023-07-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!