Suara deringan ponsel membuat tidur Andara terganggu. Gadis itu ingin menggeliat namun tubuhnya terasa berat seolah terhimpit oleh sesuatu. Perlahan ia mengumpulkan kesadarannya, menatap tepat di depan wajahnya. Ia terkejut ketika melihat Roy berada dalam pelukannya. Ia dengan rasa terkejutnya, mengingat lagi apakah yang terjadi sampai mereka saling menempel seperti itu.
Andara segera melepaskan tangannya dari kepala Roy secara perlahan setelah ia teringat dengan kejadian yang membuat mereka berada dalam posisi seperti itu. Gadis itu berusaha meraih ponsel yang berdering itu tanpa mengganggu tidur nyenyak Roy.
Ia duduk di samping Roy yang masih tertidur. Melihat ponsel yang berbunyi itu. Andara menatap Roy dan ponsel itu bergantian. Bingung antara harus membangunkan pemiliknya atau membiarkannya begitu saja.
Tapi melihat wajah Roy yang tertidur pulas, Andara tidak tega untuk membangunkannya. Jadi ia menyimpan lagi ponsel itu setelah mengaktifkan mode silent disana.
Andara kembali berbaring di samping Roy. Melihat wajah pemuda itu yang masih saja terlihat sedih. Ia menutup matanya walaupun dirinya tidak tertidur.
Roy membuka matanya perlahan, menatap wajah Andara yang berada di depannya. Ia terdiam sambil menatap wajah istrinya. Pemuda itu tersenyum sekilas lalu kembali menutup matanya.
Di tempat yang jauh dari mereka, terlihat seorang pemuda tengah kebingungan. Ia yang menghubungi Roy namun tidak juga mendapatkan jawaban. Ia merasa tidak tenang karena Roy tidak biasanya seperti itu.
"Sebenarnya dia kemana? Kenapa dari kemarin siang teleponku tidak diangkat juga? Apakah terjadi sesuatu padanya?"
Kemudian pemuda itu bergegas pergi ke dapur karena jam juga sudah menunjukkan pukul empat pagi. Pemuda itu tidak terbiasa bangun sepagi ini, namun karena perasaannya yang tidak tenang, dia menjadi sulit untuk tidur nyenyak.
Teman sekamarnya merasa heran karena mendengar suara berisik dari arah dapur. Segera ia turun dari kasurnya dan bergegas menuju dapur untuk melihat apa yang sedang terjadi.
"Tumben lu bangun jam segini, sob? Gue kira tadi ada maling masuk sini."
"Syalan lu, Ko. Gue dikira maling."
"Lagian tumben-tumbenan orang yang biasanya molor sampe beduk kok udah bangun jam segini. "
"Gue tidur gak sampe beduk, syalan. Bisa-bisa bangkrut gue kalo bangun jam segitu."
Joko tertawa sambil berlalu ke kamar mandi. "Hahaha, bercanda sob."
Pemuda yang tak lain adalah Thanit itu terlihat melamun. Melihat lagi ponselnya yang ia pegang sedari tadi. Benda itu terus menyala dan menghubungi seseorang, namun jawaban tak pernah ia dapatkan.
Thanit akhirnya menyerah, menyimpan ponsel itu meja dan ia memilih beraktivitas lebih awal untuk mengurangi keresahan di hatinya.
.
.
.
Berhari-hari berlalu hingga datanglah hari setelah tujuh hari meninggalnya Oma Idina. Keadaan Roy terlihat lebih baik walaupun kadang pemuda itu lebih pendiam dari biasanya. Andara tak pernah bosan menemani dan menghiburnya, berharap Roy bisa bangkit dari rasa sedih dan perasaan bersalahnya.
Roy selalu saja menyalahkan dirinya sendiri atas meninggalnya Oma Idina. Walaupun ia tidak mengatakan pada orang lain, tapi Andara jelas tau karena melihat bagaimana sikap dan tatapan Roy ketika membahas tentang Oma Idina.
Tapi hari ini mereka akan berpisah. Tuan Guzov yang memang datang ke Surabaya karena ada pekerjaan, harus kembali ke Jakarta karena pekerjaannya sudah selesai. Apalagi dia juga harus mengurus perusahaannya sendiri di Jakarta.
Sebenarnya Tuan Guzov memberikan pilihan pada Andara untuk tetap di sana sampai Roy kembali ke Jakarta atau ia ikut bersama orang tuanya pulang hari ini. Andara bingung sendiri untuk memilih. Sebenarnya ia ingin menemani Roy, tapi ia juga memiliki kegiatan di Jakarta. Kegiatan yang tidak bisa untuk diwakilkan.
Andara seperti biasanya duduk menemani Roy, namun kali ini berbeda. Ia duduk di sana untuk berpamitan pada Roy. Tampak terlihat kalau gadis itu tidak tega untuk mengatakan bahwa hari ini dia akan pergi. Namun keberangkatannya tidak bisa untuk ditunda lagi.
"Kamu akan pergi hari ini?" tanya Roy yang memang sudah tau dengan rencana keberangkatannya.Pemuda itu menatap wajah istrinya yang menunduk.
"Iya. Maaf kalau aku tidak bisa menemanimu. Bukan aku berniat untuk meninggalkan mu, tapi..."
"Aku mengerti. Cepat atau lambat, aku juga akan kembali ke Jakarta. "
"Tidak bisakah kalau kamu ikut pulang bersama ku hari ini? "
Roy menatap kedua mata Andara dengan begitu dalam. "Tidak bisa. Tidak apa-apa kalau kamu pulang sekarang. Aku akan baik-baik saja disini. Aku masih ingin di rumah ini walaupun seseorang yang menjadi alasan aku disini sudah pergi."
"Roy..." Andara mengusap punggung tangan Roy yang terlihat sedih. Roy tersenyum kepadanya. Ia menggenggam tangan itu dengan erat.
"Terima kasih sudah menjadi teman sekaligus ibu yang baik untukku. Aku tidak akan melupakan kebaikan mu."
Andara tersenyum. Walaupun sedikit geli mendengar Roy mengatakannya seperti seorang ibu, namun gadis itu tidak menolak. Toh dia sendiri juga yang menyarankan agar Roy menganggap nya seperti apa saja. Sekalipun menganggapnya seperti seorang nenek.
"Kita akan bertemu lagi, kenapa ucapanmu seperti itu?"
Roy tidak menjawabnya dengan jujur. "Karena kita tidak akan tinggal serumah lagi ketika di Jakarta nanti." Andara mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban Roy memang benar kan?
"Tapi kita masih akan sering bertemu. "
Roy hanya tersenyum lalu menatap layar ponselnya. Ia terlihat marah namun juga sedih. Andara yang melihat perubahan sikap Roy menjadi bingung. Ia menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Roy.
Andara melihat layar ponsel itu tanpa merasa bersalah. Toh si pemilik juga memperlihatkan benda itu dengan jelas ketika Andara duduk bersebelahan dengannya. Kening Andara sedikit mengkerut ketika melihat foto seseorang di layar ponsel itu.
"Thanit? " Roy tidak menjawabnya, pemuda itu tetap berdiam diri dengan posisi nya tadi.
"Kamu ada masalah dengan dia? Kenapa kelihatannya kamu marah?"
Roy membuang nafas panjang. "Aku tidak tau apakah benar kalau aku marah padanya, sementara aku sendiri juga bersalah."
"Apa maksudmu?"
Roy menatap lurus ke depan, menggenggam erat ponselnya seolah ingin meremukkan benda itu. "Oma ku meninggal setelah marah padaku karena melihat foto Thanit. "
"Hanya melihat fotonya kenapa Oma Idina bisa sangat marah?"
"Karena bukan hanya itu." Andara berusaha menunggu walaupun ia sangat penasaran.
"Sesungguhnya hal itulah yang membuatku merasa sangat bersalah pada Oma. Itu bukanlah hal sepele. Bukan seperti yang keluargaku kira. "
"Apa?" Andara sudah sangat penasaran.
"Oma Idina mengetahui hubungan ku dengan Thanit karena melihat dan mendengar sendiri tentang hal itu. Oma sangat marah padaku bukan karena aku sempat menolak keinginannya. Lebih dari itu,Dara. Aku sudah sangat mengecewakan Oma ku."
"Kenapa aku tidak merasa terkejut? Aku memang mengira hal seperti itu yang terjadi." Batin Andara. Namun gadis itu lebih memilih diam dihadapan Roy. Tidak mau menyalahkan salah satu dari mereka karena memang keduanya mempunyai kesalahan. Apalagi, dia sendiri memiliki hubungan seperti itu.
Kira-kira kalau menasehati, nasehat seperti apa yang harus ia berikan?
.
.
.
bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
꧁❧❤️⃟Wᵃf ʜꙷɪᷧɑⷮɑͧтᷡʰᵉᵉʳᵅ❦꧂
tidur saling berpelukan ya roy nyaman banget kayaknya ini
2023-06-20
0
☠ᵏᵋᶜᶟ Fiqrie Nafaz Cinta🦂
orang klw uda kecewa... buhhhhh rasanya takkan mau percaya lagi
2023-03-29
2
B⃟c𝓝𝓐𝓝𝓐 19♧
Thanit yaampun kamu ini ... Biar Roy tenang dulu ... Jangan nelpon melulu
2023-03-29
2