Rean langsung menggendong tubuh berisi gadis tomboi tersebut. Ia langsung berjalan menuju pintu dibantu oleh sang istri untuk mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan seorang wanita muda tersenyum menyapa keduanya.
“Bu Ashana dan Pak Rean, loh Non Davina tidur? Mari Pak Rean langsung bawa Nona ke kamarnya saja,” pinta wanita tersebut mempersilahkan Rean dan Ashana masuk yang diperkirakan sebagai asisten rumah tangga kediaman Bram dan Aberlie.
“Mbak Sri, Tuan sama Nyonya sudah tidur?” tanya Ashana saat ia sudah masuk ke dalam mansion.
“Loh, Na. Kamu datang? Ada apa?” belum juga wanita bernama Sri tersebut menjawab, Aberlie sudah datang menghampirinya.
“Davina tidur, Mbak saat di mobil, Mas Rean sedang membaringkan di kamarnya,” sahut Ashana memberitahu.
“Anak itu.” Aberlie menggelengkan kepalanya.
Tak lama datang Rean yang telah selesai membaringkan Davina dikamarnya. Ia menghampiri istri dan juga Bosnya tersebut.
“Mbak, kami pulang dulu, sudah malam,” pamit Rean dan Ashana.
“Kalian hati-hati yah, dan terima kasih loh sudah antar si tomboi pulang,” ucap Aberlie.
Rean dan Ashana pun pergi meninggalkan kediaman Bram setelah berpamitan pada Nyonya Hanoraga.
...
“Aaah.” Davina mengangkat tangannya ke atas mengulet meregangkan tubuhnya yang kaku, ia menguap dan mengucek matanya.
Perlahan matanya terbuka dan tangannya meraih ponsel yang berada di atas nakas untuk melihat jam.
“Oh my God! Udah jam tujuh, gawat aku ada kelas pagi hari ini.”
Davina langsung berlari menuju kamar mandi sambil membuka pakaiannya dan membuangnya secara berserakan. Ia membersihkan tubuhnya dan setelahnya bergegas untuk bersiap karena waktu terus saja berjalan. Dengan terburu-buru ia tak sempat menyisir rambutnya, ia hanya mengikat cepol rambutnya longgar sambil berlari keluar dari kamarnya dan menuju meja makan.
“Pagi Mah, Dad. Aku pamit dulu yah sudah kesiangan, ada kelas pagi soalnya,” pamitnya setelah meminum segelas susu coklat hingga tandas kemudian mencium pipi Aberlie dan Bram sambil mencomot roti isi yang sudah tersedia di atas meja makan.
“Butuh Daddy antar?” tanya Bram menawarkan tumpangan.
“Tak perlu, Dad. Vina sudah memesan taksi kok tadi sebelum mandi,” ucapnya menolak, ia tak ingin teman-temannya di kampus selain teman somplaknya melihat ia turun dari mobil mewah.
“Tapi habiskan dulu makanan kamu, Sayang,” seru Aberlie yang menggelengkan kepalanya melihat tingkah putrinya yang sungguh sangat berbanding terbalik dengan putranya padahal mereka saudara kembar, Davina terlihat bukan seperti anak dari keluarga konglomerat yang tajirnya melintir tujuh turunan tak akan melarat.
“Nanti juga habis kok, Mah di jalan. Bye Mah, Dad, Vina berangkat.” Davina pergi meninggalkan Mamah dan Daddynya yang masih dengan santainya menikmati sarapan paginya.
“Pak, maaf yah lama. Aku kesiangan soalnya, semalam pulang dari Cafe Ibu larut banget,” ucapnya beralasan karena merasa tak enak taksinya sudah menunggu kelamaan.
“Ah si Eneng mah kayak gak biasanya saja, langsung berangkat nih, Neng?” tanya sopir taksi langganannya.
“Berangkat dong, Pak. Masa mau ngetem cari penumpang lain, mikrolet kali ah,” sahutnya ngebanyol, seperti itulah Davina anak dari seorang konglomerat tapi tak ingin dikenal oleh orang lain karena embel-embel Daddynya yang memang pebisnis hebat.
Mobil berjalan membelah jalan raya yang sudah padat karena jam berangkat kerja dan sekolah. Sekitar dua puluh menit lamanya karena sedikit macet, mobil berhenti di depan gerbang kampus. Davina berlari kencang menuju kampusnya karena sebentar lagi kelas akan dimulai.
“Hoh, hoh, hoh, capenya,” gumamnya sambil ngos-ngosan karena habis lari maraton mengejar waktu yang tersisa sedikit.
Benar saja, baru saja dia duduk dan dosen killer sudah datang saja.
“Kamu pasti kesiangan deh,” ucap Riris berbisik.
“Iya, aku bangun kesiangan, untung sempet mandi dulu,” sahutnya ikut berbisik.
“Oi, perhatiin noh, nanti kalian jadi sasaran empuk tuh dosen killer,” sambung Boy ikut berbisik.
“Iya bawel,” sungut Davina.
Mereka beralih memperhatikan pelajaran yang sedang diterangkan oleh dosen yang mereka sebut killer tersebut karena takut menjadi sasaran empuk pertanyaan dosen tersebut. Meski somplak, mereka selalu mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh demi bisa mencapai cita-citanya kelak. Pelajaran selesai, ketiganya keluar dan menuju kantin karena Davina sudah sangat lapar, ia hanya makan satu potong roti isi dan segelas susu coklat saja.
“Bu, soto ayam sama nasi satu porsi yah, minumnya es jeruk, antar ke meja biasa yah.” Davina memesan makanan untuk mengisi perutnya yang sudah dangdutan meminta untuk diisi.
“Siap, Neng Vina.”
Davina berjalan menuju meja tempat biasa ia dan teman-temannya duduk untuk mengisi perutnya. Di meja tersebut sudah ada Dan yang sedang menikmati makan siangnya. Sedangkan Riris dan Boy sedang menunggu makanan favorit mereka yaitu bakso dan mie ayam.
“Udah lama?” tanya Davina menepuk pundak Dan dan duduk di sebelahnya.
“Baru,” sahutnya singkat, tak lama Ibu kantin datang dengan membawa pesanan Davina.
“Makasih yah, Bu,” ucapnya sambil menyeruput es jeruknya.
“Sama-sama, Neng.”
“Tumben makan nasi, biasanya ikutan makan mie ayam,” tanya Dan yang sedang menikmati makanannya.
“Laper tahu, perutku dari masih jam pelajaran dangdutan mulu minta diisi nih, tadi Cuma makan roti isi doang buru-buru soalnya,” sahutnya sambil menikmati makanannya dengan lahap.
“Makanya kalau bangun jangan siang-siang, bangun tuh pagian, setel alarm di hp biar kedengeran,” ucap Dan memberi saran.
“Iya deh, besok-besok aku bakalan pasang alarm, tapi kalo inget, hehe.” Davina malah terkekeh tanpa niat serius sedikit pun, Dan hanya bisa menggelengkan kepalanya seakan ingin menepuk jidat gadis tomboi yang selalu saja ngeles kalau diajak bicara.
Davina memakan makanannya dengan sangat lahap tanpa mempedulikan temannya yang sedang mengobrol. Pikirnya yang penting saat ini hanya menyelamatkan perutnya yang sedang demo meminta untuk diberi makan. Tak butuh waktu lama, makanan yang tadi masih berada di dalam piring dan mangkuk kini sudah berpindah tempat menjadi di dalam perutnya.
“Akhirnya, anteng juga nih penghuni rusun,” ucapnya setelah menyeruput seruputan terakhir es jeruknya.
“Pulang kuliah temani aku ke toko buku yuk,” ajak Riris meminta sahabatnya untuk menemaninya ke toko buku.
“Kamu waras kan, Beb?” tanya Boy yang memang mereka semua sebenarnya tak pernah serius.
“Waraslah,” sungut Riris seraya memukul lengan Boy.
“Lah aku kira sedang kesambet minta diantar ke toko buku, memangnya mau cari buku apaan?” tanya Boy yang sedikit kepo karena tak percaya dengan kenyataan temannya memintanya untuk menemaninya ke toko buku.
“Aku mau cari buku novel atau komik romansa gitu,” sahutnya memberitahu apa yang sebenarnya menjadi tujuannya, mengunjungi toko buku yang sama sekali belum pernah mereka singgahi karena semua buku yang mereka perlukan mereka hanya langsung mengatakan saja pada orang tua dan langsung sudah tersedia, jika itu buku pelajaran.
“Mau belajar cara menggaet si kanebo kering itu?” celetuk Davina langsung pada intinya.
“Ih, dia tampan gitu kamu katain kanebo kering mulu sih,” protes Riris yang tak terima karena pria dingin pujaan hatinya dibilang kanebo kering.
“Terus kalau bukan kanebo kering apaan dong, Sayang? Kan kamu tahu sendiri kalau dia itu kakunya luar binasa,” tanya Davina dengan memutar bola matanya karena sepupunya itu selalu saja membela Satria.
...
Salam hangat dariku
Tetap somplak dan jangan waras, oke
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Dinar Atmaja
hehe
2023-08-10
1
💕𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕
somplak nya mereka 👍👍👍👍
2023-07-15
1