"Sha!" panggil ibu sembari membuka pintu kamar Sha, beliau heran matahari sudah tinggi namun sang putri belum juga beranjak keluar kamar. Padahal biasanya weekend, dia semangat membantu berjualan. "Lah kok masih tidur!" ibu semakin heran melihat tubuh Sha yang dibungkus selimut rapat. "Gak panas!"
"Apa, Bu?" tanya Sha dengan suara serak, masih merem tapi hanya berpindah arah saja.
"Kamu kenapa belum bangun, tumben?"
"Kan ada Mbak Marni, Bu!" ditanya apa, dijawab apa. Dipikir Sha ibu menyuruh Sha bantu jualan, ya kali orang lagi patah hati bisa jualan.
Toh, Ibu tiap hari juga ada yang bantu berjualan, namanya Mbak Marni tetangga belakang perumahan. Hanya saja kalau weekend warung sejak pagi ramai, makanya Sha sering bantu. Tapi pagi ini, molor.
"Udah buruan bangun, noh banyak yang beli. Bantu bikin teh anget!"
Sha menghela nafas berat, kepalanya pusing kebanyakan menangis malam tadi. Pengennya tidur aja seharian. Apalagi hari ini sang mantan menikah. Ya Allah remuk hati ini. "Bu, Sha mau tidur, kasih kelonggaran dong lagi patah hati ini."
"Halah, cowok mah gak hanya satu. Rugi banget hidup kamu masih fokus sama Irsyad, noh yang beli di warung ibu juga tak kalah ganteng," celoteh ibu sembari membuka korden kamar Sha.
"Ya Ibu, prihatin dikit deh sama anak perawan patah hati," gumam Sha sembari duduk dan memijit kepalanya yang pusing. Rambutnya acak-acakan, sangat kacau.
"Eh... Ngomong-ngomong, kamu belum diapa-apain sama Irsyad kan?"
Sha melongo dengan pertanyaan sang ibu, ia sangat paham arah pertanyaan itu, apalagi dia sempat bilang anak perawan. "Masih perawan, Bu. Ya kali Sha kasih murah ke Irsyad. Lagian Irsyad gak berani macam-macam sama Sha, dia tuh sayang sama Sha, makanya menjaga Sha. Gak ngerusak," bela Sha yang sepertinya lupa kalau lelaki itu sudah menggores hatinya.
"Gak ngerusak, tapi ditinggal kawin. Ngenes tuh hati kamu," ledek ibu yang dijawab rengekan Sha, tuh kan jadi ingat lagi. Mewek lagi dong, duh capek nih mata menangis. "Udah ah, buruan cuci muka dan gosok gigi, bantu ibu di warung."
Sha cemberut, sambil mengikat rambut segera saja ia ke kamar mandi, sekedar cuci muka dan gosok gigi. Tak lama ia sudah membantu sang ibu melayani para pelanggan. Nikahnya mantan sedikit terlupa dengan gerak lincahnya mengantarkan makanan dan minuman. Baru pukul 10 teng ia bisa istirahat, langsung masuk kamar dan mengambil ponsel. Niatnya mau mengajak teman kantor hang out biar fresh tapi apa daya, grup SMA nya mendadak ramai. Ingin mengabaikan tapi kok pesan terus masuk, beberapa malah ada pesan pribadi yang masuk.
Sha menghela nafas berat, ia pun mengabaikan ponselnya. Lebih baik hari ini tidak memegang ponsel saja, agar berbagai pikiran tentang Irsyad hilang, kalau bisa.
Sha menonton tv sambil rebahan, ibu dan Mbak Marni masih berkutat dengan perkakas jualan. "Bu, Mbak, habis ini keluar yok!" ajak Sha dengan sedikit berteriak.
"Keluar ke mana Mbak Sha?" tanya Mbak Mar menyahuti.
"Ke mall, atau nonton bioskop," tawar gadis yang sedang patah hati itu.
"Lah kamu gak ke nikahan Irsyad," sambung Ibu begitu duduk di samping Sha.
Sha sontak mendengus kesal, kenapa sang ibu malah mengungkit kembali sih. Mati-matian dia mencari cara agar lupa, eh malah ibu dengan tenang nyeplos nama Irsyad. Ibu durhaka, batin Sha kembali cemberut.
"Lah Mas Irsyad nikah? Kok bisa? Sama siapa?" mbak Marni malah ikutan tanya. Makin panjang saja urusan tentang Irysad. Sha semakin mencibir pada kedua janda itu. Menjengkelkan.
"Ya sama perempuan lah, Mbak Marni. Udah bosen kali 7 tahun sama Sha gak diajak nikah," celoteh ibu Sha. Sedangkan gadis yang kincep itu hanya mendengar sindiran mereka. Biar keduanya puas menghibah di depan orangnya langsung.
"Eh ..Mbak Sha, kok gak mau diajak nikah?" protes Mbak Marni. Pasalnya sejak Sha lulus kuliah dia sering sekali tanya ke Sha kapan nikah, dan dijawab memang nanti. Eh ternyata Sha yang menolak Irsyad, begitu pikir Mbak Marni.
"Mbak Marni gak usah percaya deh sama ibu, orang kita masih meniti karier, dia juga waktu itu belum selesai intership, masa' nikah," jawab Sha kesal, sampai-sampai menekan tombol remote berasa kekuatan samson.
"Makanya gak usah pakai hati kalau urusan sama laki, kalau ditinggal nikah gini. Mewek mulu."
"Iya, iya, Sha salah. Gak nurut apa kata ibu dulu, gak boleh pacaran, makan hati dah sekarang!"
"Bagus, besok gak usah pacar-pacaran, kalau ada yang melamar langsung terima saja!" usul Mbak Marni spontan.
"Ya gak bisa gitu juga, Marni. Kudu diseleksi dulu!" ibu tetap memberlakukan seleksi calon mantu untuk Sha tanpa melalui pacaran. Lagian Sha masih muda biarkan menikmati masa muda dan meniti kariernya. Biarkan dia menikmati uang jajan hasil kerjanya tanpa memikirkan tanggungan kebutuhan rumah tangg. Toh kalau jodoh, pasti ada jalan untuk menikah.
"Terserah Mbak deh, nanti seleksi calon untuk Mbak Sha gimana, cuma Mbak Marni kasih wejangan receh aja nih mbak. Kalau menikah itu bukan ajang lomba, tidak berdasar umur juga, yang penting kesiapan hati dan mental. Dulu di desa Mbak Marni, selepas SMA gitu kudu ada yang melamar, kalau anak gadis usia 20 tahun belum ada yang melamar disebut perawan tua sama tetangga!" cerita Mbak Marni mengenang kebiasaan di desanya. Terkesan memaksakan pernikahan.
"Yassalam 20 tahun dikate perawan tua, lah gimane anak gue, Marni. Usia 24 tahun, ditinggal nikah, ngenes gak tuh."
"Ibu loh, ini anaknya patah hati malah diledek terus, nangis nih!" ancam Sha yang wajahnya sudah merah, menahan tangis. Kok pilu banget nasibnya. 7 tahun menjalin kasih, ditinggal nikah. Sumpah nyesek.
"Nasib kamu tuh belum seberapa, Sha. Gimana cerita mama kamu tahu, mama harus kerja keras ditinggal saat punya bayi. Tapi mama kuat!"
"Tapi kalau malam nangis," sindir Sha yang beberapa kali melihat sang ibu bermata sembap usai sholat malam.
"Eh....mengadu tuh yang paling baik, ke Allah saja. Gak usah orang tahu sakit hati kita, cukup curhat sama Allah aja," ibu berceramah layaknya ustadzah. "Kamu disuruh sholat malam aja malasnya minta ampun. Tadi shubuhan?" todong ibu.
"Shubuh bu, jam setengah 5. Habis itu tidur," bela Sha yang memang tetap mematuhi aturan sang ibu soal kewajibannya sebagai umat islam.
Mbak Marni sambil mencuci piring hanya tersenyum melihat interaksi ibu dan anak ini. Kadang akur, kadang tengkar tapi kelihatan pedi dan sayang. Sang majikan tentu berdiri tegak dan kuat demi sang putri. Sedangkan Sha sebagai anak berusaha membahagiakan ibu dengan berbagai prestasi penuh kebanggaan.
"Ingat kata ibu kemarin, angkat kepala kamu tunjukkan kalau kamu bisa hidup tanpa Irsyad. Gak usah sakit hati terlalu dalam, anggap aja kamu lagi ditunjukkan sama Allah mana orang yang tak patut untuk masa depanmu."
"Iya," jawab Sha lirih. Kalau dipikir-pikir buat apa menangis dramatis, karena air mata sudah keluar 3 liter pun Irsyad gak akan kembali. Ya kali Sha masih menerima suami orang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Deasy Dahlan
Ibu mu sha... Mandiri.. Tegas bgt
2025-02-02
0
rista_su
ibuuuuuukkkkkk.. jgn tegaa
2024-06-24
0
ayu nuraini maulina
asal jeplak aja si ibu😁😁😁
2023-06-22
1