Kuda Sembrani

...Kembali ke Tindihmayit......

Malam hari setelah upaya pencarian rombongan wayang yang hilang itu, aku menghabiskan waktu berada di kamar dengan menulis cerita-cerita misteri yang sedang aku kerjakan. Banyak kisah menarik yang aku tuliskan setelah beberapa hari aku kembali ke Tindihmayit. Kakek dan nenek sepertinya sudah beristirahat di kamar mereka yang berada di bagian belakang rumah.

Suara detik jam dinding besar di ruang tengah terdengar jelas karena suasana Tindihmayit yang selalu sepi saat malam tiba. Aku melihat jam di laptopku sudah menunjukan pukul 2 dini hari, dan rasa kantuk sudah menyerangku dengan perlahan. Aku memutuskan untuk menghentikan kegiatan menulisku dan menutup laptopku dengan cerita-cerita menyeramkan di Tindihmayit.

Saat aku berbaring di atas kasur dan hendak memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara ringkikan seekor kuda dari arah jalanan desa. Pikiranku mempertanyakan hal itu, seingatku di Tindihmayit tidak ada penduduk yang memelihara kuda atau sejenisnya. Atau mungkin saja karena aku sudah lama tidak tahu bagaimana desa ini berubah sekarang.

Namun ketika aku mencoba melupakan pertanyaan otaku yang tidak penting ini, suara sepatu kuda yang saling berdepak terdengar semakin mendekat. Semakin lama suara depakan langkah kuda itu semakin jelas dan aku yakin bahwa suara itu berasal dari beberapa ekor kuda yang hendak melintas di depan rumah kakek. Aku yang sudah dihinggapi rasa penasaran akhirnya memberanikan diri untuk mengintip melalui celah tirai jendela yang sedikit aku buka.

Perasaanku berdebar tidak sabar menunggu sekumpulan kuda itu melintas. Dan tidak lama pun seekor kuda berwarna putih melintas dan melewati jalan di depan rumah. Tapi diluar dugaanku, kuda itu memiliki dua buah sayap di badannya yang tinggi dan besar. Kuda berwarna hitan juga terlihat mengikuti si kuda putih yang kembali mengeluarkan suara ringkikannya.

Dan betapa terkejutnya aku, ketika mengetahui bahwa kuda terakhir yang melintas adalah makhluk yang membuatku tertegun, seekor kuda yang memiliki bagian depan berupa badan manusia setengah badan, mirip dengan karakter Centaur yang ada dalam cerita-cerita masa kecilku. Aku pun meninggalkan sisi jendela dan melompat ke atas kasurku karena rasa takut mulai menguasai sekujur badanku.

Keesokan harinya, aku tidak menceritakan kejadian tadi malam kepada kakek dan nenek. Aku pikir itu sudah pasti salah satu keanehan lumrah yang terjadi di Tindihmayit. Dan sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan semua hal ganjil yang menjadi rahasia umum desa ini.

Pagi ini, aku bersama ketiga temanku berencana untuk memancing di pemancingan umum desa milik Pak Teguh yang terletak di dekat jalan masuk desa bagian utara. Seperti yang pernah aku sebutkan, ada dua jalur untuk memasuki desa Tindihmayit setelah melewati Cendipuro. Pertama adalah jalan memutar melewati pemancingan umum, dan kedua adalah jalan utama bagian selatan yang mana harus melewati Brug Barong sebelum sampai ke pos ronda desa.

Aku berangkat bersama Bintar yang mana memang rumahnya berdekatan dengan rumah kakek. Menurut Bintar, Junsa dan Edo sudah berada di pemancingan sejak subuh tadi. Mereka paham jika tidak segera datang di pagi buta, maka akan susah mencari tempat dan posisi yang pas untuk mendapatkan tangkapan ikan yang bagus.

Memancing di tempat pemancingan umum ini adalah hal yang cukup asing bagiku. Terakhir aku memancing disini adalah ketika aku duduk di bangku sekolah dasar, saat itu aku berlibur ke desa ini dan kakek mengajaku untuk memancing di pemancingan. Hari sudah melewati tengah hari ketika tangkapanku dan yang lain hampir memenuhi kantong ikan yang dibawa oleh Edo.

"Di Tindihmayit ada yang pelihara kuda kah?" aku mulai menanyakan perihal kejadian tadi malam kepada teman-teman.

Ketiga temanku itu saling memandang satu sama lain, dan akhirnya pandangan mereka bertiga jatuh di kedua mataku.

"Kok kamu nanya kuda Ga? Gak ngeri apa kamu nanya itu?" Edo menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan.

"Hush! Pamali jangan ngomongin itu disini!" tiba-tiba seorang bapak tua yang sedang memancing tidak jauh dari barisan kami pun menegur.

Singkat cerita kami pun pulang dengan hasil tangkapan yang lumayan banyak. Ada sebuah lelucon di antara kami hari ini. Edo menjadi pemacing dengan hasil tangkapan terbanyak di antara kami berempat. Tentu saja hal itu menjadi bahan lelucon kami bahwa Edo telah dibantu oleh jimat Apel Jin yang selalu ia bawa.

Malam ini kami berkumpul di rumah Edo untuk membakar ikan-ikan tangkapan kami hari ini. Rumah Edo dipilih karena memang strategis dari masing-masing runah kita, dan juga karena Edo memiliki banyak alat untuk membakar sate di rumahnya. Dan niatku sudah bulat, malam ini aku harus mendapat jawaban tentang kuda-kuda itu.

"Tadi malam aku melihat kuda lewat depan rumah." aku memulai pembicaraan dengan mengecap saus kecap di mangkok kecil.

"Ha?! Beneran Ga? Wah keren bener kamu." Junsa terkejut saat tangannya menuangkan saus kacang yang ia bekal dari rumah.

"Kamu kenapa gak ngomong sih Ga dari awal? Hadeuh!" Bintar ikut berbicara dengan nada yang buru-buru.

"Sebenernya kenapa sih? Apa kuda-kuda itu hantu juga?" tanyaku mulai kesal.

"Sudah lama legenda ini ada di Tindihmayit. Dulu, saat desa ini belum lama ada, banyak penduduk yang sering melihat kuda berlari menuju hutan Setra Sembrani. Terutama saat malam hari, namun banyak dari mereka yang hilang dan tidak kembali saat mengejarnya. Katanya beberapa orang yang hanya melihatnya tetapi tidak mengejar, akan mendapat rezeki yang besar! Maka dari itu, hutan di ujung desa itu diberi nama Setra Sembrani." Bintar bercerita dengan jelas.

"Katanya sih kuda Sembrani itu kuda dari semua kuda." Junsa menimpali cerita Bintar.

"Raja dari semua kuda bego! Ada aja kuda dari semua kuda." Edo membenarkan celetukan Junsa.

"Terus rezeki apa nih yang bakal aku dapatkan?" aku menutup pembicaraan dengan pertanyaan isengku.

"Kita cari cewek ke Cendipuro besok! Kita pasti dapat rezeki disana, hahaha." jawaban Junsa membuat kita semua tertawa menutup pembicaraan malam itu.

Terlepas dari apapun mengenai jawaban dari teman-temanku mengenai kuda Sembrani, aku merasa beruntung dapat melihat makhluk mitos yang ada di desa ini. Yang aku dapatkan bukan hanya sekedar cerita tentang menyeramkannya hutan Setra Sembrani itu. Namun aku juga mendapat kenyataan bahwa desa ini ternyata menyimpan banyak rahasia yang menjadi perdebatan.

Contohnya perihal kuda Sembrani itu, Bintar dan Edo sepakat jika kuda-kuda itu memiliki tujuan jahat karena banyak menculik orang-orang yang mengejarnya. Sementara itu Junsa berpendapat bahwa kuda-kuda itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan penduduk yang menghilang, menurut Junsa hilangnya orang-orang itu hanya sebatas tersesat di hutan yang gelap. Mungkin saja mereka tersesat, namun karena makhluk lain yang menghuni hutan Setra Sembrani.

Dan hasil dari pembicaraan kita malam ini menghasilkan sebuah kesepakatan. Kita akan menuju desa Cendipuro esok hari untuk mengejar rezeki yang Junsa gagas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!