Barong Pitu Lawang

Semua mata melihat kakek yang sepertinya mengetahui perihal benda bernama Apel Jin itu. Kita semua menjadi penasaran karena kakek menyebutkan bahwa dengan benda itu Edo bisa menjadi kaya dibuatnya. Raut wajah kaget Edo perlahan mulai berubah menjadi senyum tipis yang memiliki banyak arti.

Benar, ternyata hantu-hantu itu tidak membayar sate Gagak Edo dengan uang. Melainkan menukarnya dengan sebuah benda bernama Apel Jin. Menurut kakek, harga satu Apel Jin ini bisa mencapai ratusan ribu jika benar-benar merupakan Apel Jin asli.

Ada seorang warga yang mengatakan bahwa biasanya Apel Jin justru digunakan sebagai pengusir hantu. Namun kakek membantahnya, Apel Jin digunakan bukan sebagai jimat pengusir hantu, melainkan sebagai benda untuk menyogok hantu agar tidak menggangu. Mungkin bisa dikatakan Apel Jin ini justru adalah benda kesukaan para hantu.

Kembali ke cerita dimana sosok hantu pria berbaju batik itu telah selesai memakan sate Gagak beserta semua tusuk satenya. Hantu ini cukup berbeda dengan beberapa hantu lain yang hampir semuanya bersikap sebagaimana layaknya hantu. Sosok hantu berbaju batik lusuh ini berbicara, berperilaku bahkan membayar satenya seperti manusia normal pada umumnya.

"Tapi, hantu ini beda banget. Beres tuh dia makan, dia ngasih langsung benda ini dengan menjulurkan tangannya. Gak kaya si perempuan yang ilang terus tiba-tiba bayar langsung di laci." jelas Edo menceritakan asal-muasal kedua buah Apel Jin itu.

"Terus Ed, apa yang membuatmu kabur dan lari meninggalkan gerobak sate?" tanya Junsa yang sudah mulai kehabisan kacang rebusnya.

Edo yang mulai terbiasa dengan para hantu di Brug Barong sedikit berbangga karena dagangan sate Gagaknya mulai perlahan berkurang oleh dua hantu yang berbeda tadi. Namun setelah itu, ketika hantu pria berbaju batik menghilang, tiba-tiba seluruh pohon bambu di sekitar jembatan bergoyang. Padahal menurut Edo tidak terasa ada angin sama sekali.

Dan dari rimbunnya pohon-pohon bambu, mulai terlihat keluar sosok yang sangat menyeramkan. Sosok itu menyerupai sebuah Barongan, hantu yang berbentuk monster besar seperti hantu Leak dalam kepercayaan masyarakat di daerah Bali. Bedanya, Barongan ini memiliki badan yang jauh lebih besar, mungkin hampir 3 kali lipat lebih besar dari gerobak sate yang dibawa Edo.

"Kepalanya besar penuh rambut, matanya merah keluar darahnya. Terus giginya bertaring tajam ke atas-bawah. Yang bikin ngeri, badannya segede 3 gerobak kalo disatuin." pungkas Edo bergidik ketika kembali mengingat sosok hantu Barong itu.

Edo pun tidak kuat menahan betapa mengerikannya hantu Barong yang mungkin juga hendak membeli sate Gagaknya. Namun apapun tujuan si hantu Barong, sepertinya hantu itu benar-benar sangat mengerikan. Terlebih menurut penuturan Edo pula, hantu Barong itu membuat jembatan bergetar dan bergoyang seperti adanya gempa bumi.

Adzan subuh sudah berkumandang di Tindihmayit, semua orang di pos ronda bersiap untuk pulang menuju rumahnya masing masing. Aku dan kakek turut mengantarkan Edo kembali ke rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Kusdi. Dalam perjalanan pulang, kakek menceritakan kepadaku tentang asal-usul hantu Barong yang mendiami jembatan itu.

"Dulu waktu kakek masih seusiamu, ada seorang penduduk Tindihmayit yang nekad mencari pesugihan ke hutan Sembrani. Orang itu bagaikan hilang dan tidak kunjung pulang untuk waktu yang lama. Sekitar 4 tahun setelahnya, orang itu muncul kembali ke Tindihmayit. Dia jadi orang kaya, banyak tanah di Tindihmayit dibeli olehnya. Termasuk jembatan penghubung desa yang dulu hanya berupa jembatan kayu, tidak luput ia bangun sehingga menjadi jembatan beton dengan aspal yang kokoh. Bahkan karena pembangunan jembatan itu, banyak kendaraan bisa dengan mudah keluar-masuk Tindihmayit untuk segala urusan. Sampai suatu ketika, orang itu sekarat dan susah untuk hanya sekedar mati. Beberapa tetua desa mengatakan bahwa orang itu mengikat perjanjian dengan pesugihan Pitu Lawang, pesugihan tingkat tinggi yang terdiri dari kumpulan siluman. Ada siluman Monyet, Ular, Harimau dan siluman-siluman lainnya. Karena orang itu tergantung antara hidup dan mati, maka semua tetua sepakat untuk membuang orang itu di Kali Sajen. Sungai yang mengalir menuju hutan Sembrani dan orang itu di buang tepat dari atas jembatan angker itu. Setelahnya, sering terlihat penampakan hantu berwujud Barong yang mana adalah hantu peleburan dari semua jenis siluman Pitu Lawang. Dan jembatan itu mulai dikenal sebagai Brug Barong. Tapi sekarang sudah banyak yang tidak mengenal nama Brug Barong, mungkin karena sudah lama hantu Barong tidak menampakan diri." kakek menutup cerita sambil membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang ia bawa.

Pada malam berikutnya aku beserta ketiga temanku berkumpul di teras rumah milik Junsa yang tidak terlalu jauh dari posisi pos ronda. Entah kenapa, setiap aku bersama Junsa, menu utama yang menemani adalah kacang rebus andalannya. Yah, mungkin karena orang tua Junsa memiliki kebun kacang tanah yang cukup luas di Tindihmayit.

"Jun, apa gak ada makanan lain kah selain kacang rebus ini?" celetuk Bintar dengan nada ketus.

"Oh, ada! Di dapur ada kacang goreng. Baru aja ibu bikin tadi sore." jawab Junsa dengan bersiap berdiri menjemput kacang gorengnya ke dalam rumah.

"Wis to! kenyang aku kalo makan kacang melulu." cegah Edo yang sedari tadi memegang Apel Jin hasil jualannya tadi malam.

"Ed, benda itu mau kau apakan? Tidak dijual saja kah?" tanyaku mulai penasaran.

"Gak! Aku mau jadikan ini kenang-kenangan pokoknya. Edo adalah satu-satunya orang yang berani menjual sate ke hantu-hantu jembatan, hahaha." Edo mulai membusungkan dadanya.

Dari teras rumah milik Junsa kita dapat melihat sebuah sorot mobil yang berhenti di depan pos ronda. Kami pun penasaran karena mobil itu cukup lama berhenti disana. Akhirnya kami berempat memutuskan untuk mendekati pos ronda yang memang sedang dijaga oleh warga yang berjaga ronda shift pertama.

Ternyata bukan hanya satu mobil yang terparkir di depan pos ronda. Melainkan berjajar sekitar 5 mobil termasuk 2 truk pengangkut barang berukuran sedang yang berada di belakangnya. Ini adalah rombongan pagelaran kesenian wayang kulit khas jawa, sepertinya mereka sedang menanyakan arah jalan menuju suatu tempat dan berakhir tersesat di Tindihmayit.

"Tapi benar kan pak ini desa Tindihmayit? Jalannya cuma bisa lewat sini kan?" tutur seorang lelaki yang nampaknya adalah sopir mobil paling depan.

"Betul pak, cuma ini bapak pasti salah alamat. Udah coba bapak hubungi dulu yang punya hajat. Ini pasti salah alamatnya. Kalau pun salah, di Tindihmayit pun tidak ada yang sedang mengadakan acara pak. Mungkin saja di Cendipuro, desa sebelum bapak masuk sini." seorang warga menjelaskan dengan sedikit meninggikan nada bicaranya.

"Tapi betul kok, alamatnya ini. Orangnya saja bilang kalo jangan sampai salah pokoknya di desa Sembrani. Nih coba bapak baca catatan alamatnya, desa Sembrani setelah Tindihmayit." pria setengah baya itu tetap bersikukuh.

Kami semua menjadi saling menatap dalam kebingungan. Apakah benar ada seseorang di hutan Sembrani yang mengadakan acara dan mengundang rombongan wayang ini kesana? Tapi semua orang disini tahu, kalau desa Sembrani sudah lama tidak ada. Dan lagi, satu-satunya tempat berpenghuni yang ada di hutan Sembrani adalah pabrik itu.

Pabrik tekstil tua yang masih beroperasi di ujung jalan desa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!