Bus Masa Lalu

“Dari awal saya sudah tau mas, kalo bus itu bukan dari alam kita” Pak Ono tersenyum dengan paksaan mengingat apa yang terjadi tadi malam.

Malam itu Pak Ono mendapat jam kerja malam bersama Pak Jum yang merupakan karyawan yang baru bekerja kurang lebih 2 minggu lamanya. Suatu ketika, televisi di pos keamanan yang sedang ditonton oleh keduanya tiba-tiba saja mati. Beberapa detik kemudian televisi menyala kembali, tetapi hanya menampilkan warna putih di layarnya.

Dengan itu dibarengi suara bising yang membuat telinga terasa sakit, tidak ada basa-basi untuk Pak Ono mematikan televisi itu. Setelah televisi dimatikan, kumpulan cahaya terlihat di gerbang pabrik seakan tidak berdaya untuk masuk melewati celah gerbang. Cahaya itu adalah sorot lampu sebuah bus yang membawa beberapa orang penumpang.

Pak Jum yang sedang giat-giatnya bekerja pun tanpa menunggu komando sang senior langsung berlari menuju gerbang pabrik dan mulai menginterogasi sang sopir dari jendela bus, ya! persis seperti apa yang Pak Jum lakukan saat menyambut kedatangan kami. Pak Ono yang sudah paham dengan situasi ini, tidak bisa mencegah Pak Jum yang sudah terlanjur berinteraksi dengan besi tua sumber cahaya redup itu.

Pak Ono tahu, jika ia memberitahu Pak Jum tentang apa yang sedang terjadi maka Pak Jum akan sulit menerima itu dan akan membuat keadaan semakin mencekam. Namun pada dasarnya, Pak Ono memang tidak berani untuk mendekati gerbang pabrik. Alhasil Pak Ono hanya mengintip dari jendela pos keamanan yang terhalang televisi dan menunggu Pak Jum kembali ke pos.

Sekitar 2 menit kemudian terdengar Pak Jum membuka gerbang yang mana menandakan ia mengizinkan bus itu masuk ke area pabrik. Hal yang wajar, mengingat sudah ada kabar tentang kedatangan rombongan karyawan baru malam ini. Bus itu berjalan pelan melewati pos keamanan, dan dari ruangan kecil itu Pak Ono bisa melihat para penumpang yang tidak memiliki daun telinga di kepala mereka.

Pak Ono berlari, menyusul Pak Jum yang bersiap menutup gerbang yang besar itu, kemudian memberi perintah untuk tidak menutup gerbang sampai dia perintahkan.

Kejadian yang sering dialami Pak Ono selama bekerja belasan tahun disini, jika bus itu berhasil masuk, maka jangan tutup gerbang agar bus itu bisa keluar lagi dalam beberapa menit ke depan, dan jika tidak bus itu akan menunggu di depan gerbang sampai ada orang yang membukakan gerbang sepanjang malam. Namun malam ini berbeda, bus dari masa lalu itu tidak keluar lagi sampai kedatangan kami berempat di pagi hari buta.

Kembali ke tahun 1992, satu tahun setelah tragedi Petengan terjadi. Sebagai tahap awal operasional, 10 orang karyawan dikirim dari Kota Bandung menuju pabrik yang baru saja dipugar kembali. Mereka berangkat menggunakan bus dan diantar oleh seorang sopir dan kondektur yang cukup berpengalaman.

Menurut saksi, bus terakhir kali terlihat di perbatasan desa saat berhenti untuk menanyakan arah tempat kawasan industri berada. Namun pada kenyataannya bus rombongan itu tidak pernah sampai tujuan. Dari cerita yang menyebar dari mulut ke mulut, bus itu hilang di jalanan sepanjang hutan Setra Sembrani di kaki bukit Sangkala yang menjulang tinggi.

Menurut pengalaman Pak Ono, bus dari masa lalu itu sering terlihat datang menuju pabrik setiap satu tahun sekali. Walau sudah sering menampakan kemunculannya, namun Pak Ono selalu dibuat merinding saat bus itu keluar masuk gerbang pabrik.

“Tolong…!!! Ergaaaaaa…!!!'' suara seseorang yang berlari dari arah mess menggelegar di tengah siang yang hening.

Kulihat Yuka berlari pincang menyusuri tembok di jalan bebatuan. Aku dan Pak Ono berlari mendekatinya, menyambut kedatangan Yuka yang terlihat lemas. Yuka meracau, bercerita hal yang membuat kami heran serta menahan tawa.

“Sialan bener, bener-bener sialan!” tutup cerita Yuka dengan melempar sepatu yang tinggal sebelah ke jalanan yang mengarah ke mess.

Aku mengajak Yuka untuk kembali menuju mess, Yuka menolak, tapi Yuka sepertinya hanya ingin bersamaku saat ini walaupun aku mengajaknya ke tengah samudera. Kami mengucap pamit kepada Pak Ono yang tidak bisa menemani karena tugasnya menjaga gerbang pabrik dan menanti kedatangan teman-teman lain pulang dari pasar.

“Lu di depan Ga!" komando Yuka seperti akan berperang.

Aku berjalan di depan, semua normal tanpa adanya keanehan. Di ujung jalan tepat kami akan memasuki kawasan mess, kita berdua mengendap-endap dan berjongkok memperhatikan keadaan di sekitar mess. Kulihat sepatu Yuka yang terlepas saat berlari keluar dari mess ada di bawah pohon Nangka.

Ha?! Aku baru mengingatnya, sepatu lainnya yang Yuka lempar di pabrik tadi tidak kami lewati, sepatu itu menghilang! Yuka memegang jaketku dengan erat, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri sama seperti aku yang mengawasi dan melihat pintu dapur yang terbuka.

“Mana Yuk? Mimpi lu kali.”

“Iya mimpi basah ga, basah keringetan gue habis lari tadi, bego lu pake ngomong mimpi segala!” ketus Yuka dengan berbisik.

“Lu wakil gue kan?”

“Terus?” jawab Yuka mencengkram pundaku.

“Nah, sana coba cek ke dapur, masih ada gak orangnya?”

“Lu pimpinan gue kan Ga?” Yuka membalikan pertanyaan.

“Terus?”

“Ya lu yang cek duluan lah, lagian siapa yang bilang kalo itu orang nyet!” tambahnya semakin kesal.

Tiba-tiba seseorang berlari di sisi kanan kami dari arah belakang.

Wusssshh…!! Aku tersungkur kedepan dengan Yuka yang menindih tubuhku. Sosok itu membuat kita terkejut, itulah sosok bercelana pendek yang Yuka ceritakan, berlari melewati kita yang sedang berjongkok berbaris mengintai musuh.

“Setan! Ga itu setan!''

“Yuk lari yuk! Buruan!”

Kami berdua berlari untuk kembali menuju pabrik. Olahraga yang berat kami lakukan di tengah siang hari ini. Yuka dengan kemampuan berlarinya yang di atas rata-rata meninggalkanku dengan jarak sekitar 3 meter di depan. Keadaan semakin memburuk karena kabut tebal mulai turun dengan cepat membuat pandanganku semakin terbatas.

Dengan gerakan yang mendadak, Yuka berhenti berlari sehingga membuatku menabraknya dengan keras. Aku dan Yuka terjatuh, kini giliran aku yang menindih tubuh Yuka dari atas. Oh, Tidak! Jalan menuju pabrik ditutup oleh sebuah bus yang terparkir melintang menutup jalan tanah bebatuan.

Aku bangkit, segera aku meraih lengan Yuka untuk memaksanya berdiri.

“Mampus ga, kita dijemput bus setan!” Yuka bangun dengan wajah memelas.

Yuka dengan spontan naik merangkak ke atas pagar pembatas antara jalan dengan hutan, kami memang tidak memiliki pilihan lain selain meloncat ke arah timur, antara masuk ke dalam bus yang pintunya terbuka, atau kembali ke mess bertemu si celana pendek. Dengan cekatan layaknya seekor monyet, Yuka berhasil memanjat pagar tua yang terbuat dari besi itu.

Aku mengikuti setiap gerakannya, aku sudah berada tepat di atas pagar, kulihat Yuka berlari menjauh ke arah hutan. Namun ternyata 5 detik kemudian Yuka kembali dengan senyum kurang ajarnya.

“Sorry ga, hehe.” sesal Yuka yang mencoba meninggalkanku yang masih berada di atas pagar.

“Sreeeet…” telapak tanganku robek saat aku meloncat dengan tolakan yang kuat.

Darah segar mulai bercucuran, tapi aku segera menyeret Yuka menjauh memasuki hutan yang gelap tertutup karena tertutup kabut. Kami terus berlari membelah hutan ke arah timur, sesekali pulantumbuhan yang lebat menampar wajah dan tubuhku yang mulai letih ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!