Mobil papa Arman yang disopiri Mang Idun berhenti di ujung gang, mengantar Arjuna yang hanya membawa 1 koper dan 1 ransel. Dono sudah menunggunya di situ. Teman yang satu ini memang sangat peduli dengan keadaan Arjuna.
Layaknya seorang guru memberikan pesan-pesan bermakna untuk para muridnya, Dono memperlakukan Arjuna kira-kira seperti itu.
Dua hari terakhir Dono sibuk mengingatkan Arjuna ini itu, termasuk jangan membawa barang-barang mahal untuk kehidupan Arjuna di rumah kost. Arjuna sempat tertawa sendiri saat Dono meneleponnya dua hari berturut-turut. Berasa seperti ada di ruang kelas dengan pak guru.
“Elo nggak bawa barang-barang branded, kan ?” Dono memastikan kembali saat membantu Arjuna membawa kopernya dari ujung gang.
“Iya nggak lupa pesan Pak Guru,” canda Arjuna.
“Bukannya begitu, maksud gue kan…”
“Iya gue ngerti. Kalau mata pencopet itu lihai dari orang biasa. Mereka bisa membedakan mana yang asli dan palsu. Berhubung sehari-hari gue akan lebih sering naik kendaraan umum, pakaian dan penampilan nggak boleh mencolok apalagi dengan barang bermerk. Dan lagi…” Arjuna mengulangi pesan Dono yang diucapkan pak guru itu berkali-kali sampai Arjuna hafal luar kepala.
“Elo ngedek gue ?” Dono melotot dengan wajah jutek. Arjuna hanya tertawa.
“Nggak cuma lagi pastiin memori gue. Cocok nggak jadi guru SMA yang musti punya ingatan bagus biar nggak di-bully sama murid-muridnya.” Arjuna terkekeh.
Dono cuma geleng-geleng kepala. Mereka mulai menaiki tangga menuju lantai 2.
“Ini kunci kamar elo,” Dono menyerahkan tiga buah kunci pada Arjuna.
“Kunci pagar, pintu masuk sama pintu kamar,” Dono langsung menjelaskan melihat tatapan Arjuna yang bingung.
Kamar terlihat lebih bersih dari sebelumnya. Rupanya Firman sudah menyuruh Saman, yang mengurus rumah kost sehari-hari, untuk merapikannya. Hanya tinggal kasur yang belum dipasang seprai.
Malam itu selesai membantu Arjuna merapikan barang-barangnya, Dono pun pamit pulang.
Arjuna meletakan tubuhnya di atas tempat tidur berukuran 120 x 200cm yang sudah dipasang seprai oleh Dono.
Ia benar-benar merasakan di tempat asing. Karena selain bau kamar ini masih berbeda, luas kamar pun terasa sempit, belum lagi Arjuna harus keluar dulu kalau hendak ke kamar mandi.
Dilihatnya jam yang ada di handphone. Hampir tengah malam, tapi matanya sama sekali belum mengantuk. Pikirannya melayang kemana-mana. Dua hari yang terasa canggung di rumahnya.
Mama Diva dan Amanda terlihat berusaha keras untuk bersikap biasa-biasa saja namun jadi aneh bagi Arjuna. Belum lagi rasa kecewanya karena kedua wanita itu pun terlihat santai saat Arjuna pamit untuk memulai kost.
“Jangan suka telat makan, Jun. Jaga kesehatan. Tetap kabari mama kalau ada apa-apa.”
Hanya itu ucapan mama Diva saat Arjuna memeluknya untuk berpamitan. Tidak ada drama air mata seperti waktu keberangkatannya melanjutkan studi ke luar negeri. Masih tersimpan dalam ingatan Arjuna saat mama Diva nangis sesunggukan dan memberinya banyak nasehat sampai beberapa hari.
Arjuna menarik nafas panjang. Papa Arman pasti sudah memberikan wejangan pada mama Diva dan adiknya supaya tidak usah bersedih atau menahan-nahan dirinya.
“Huufftt !”
Arjuna mulai kepanasan dengan kamar tanpa AC. Dono sudah menyuruhnya membeli kipas angin, tapi Arjuna masih ragu karena sisa uangnya yang sudah kurang dari dua juta apa cukup untuk 5 minggu ke depan ?
Arjuna mencari buku untuk dijadikan kipas dan mulai menggerakan tangannya hingga akhirnya tertidur pulas.
🍀🍀🍀
Suara ketukan di pintu dan dering panggilan masuk di handphone membuat Arjuna terlonjak dan bangun dari tempat tidur hingga membentur meja belajar.
Dia meringis sambil mengusap lututnya yang terasa sakit. Ketukan di pintunya terus terdengar. Arjuna sempat bengong memandang sekeliling ruangan yang terasa asing baginya. Setelah kesadarannya terkumpul, barulah ia ingat kalau sekarang sudah tinggal di kamar kost.
Arjuna terseok membukakan pintu. Lututnya masih sedikit sakit.
“Pagi banget sih udah gangguin orang,” omel Arjuna sambil mengucek matanya.
“Eh Bambang, lihat udah jam berapa ? Elo kan dipanggil pagi ini buat ketemu Pak Slamet,” Dono balas mengomeli Arjuna.
Pria itu menyentuh layar handphonenya dan melihat tulisan 5.37 di sana.
“Masih pagi, Don. Baru juga jam setengah enam.”
“Eh mantan CEO,” Dono berdecak pinggang di depan Arjuna. “Elo nggak amnesia kan kalo sekarang udah nggak tinggal di rumah mewah ? Kamar mandi di luar buat ramean, 6 kamar. Artinya elo musti gantian. Catat di kepala elo,” Dono menunjuk pelipis Arjuna.
“Cepetan mandi sana ! Biasanya kalo mulai jam 6, kamar mandi bakalan antri. Gue sengaja jemput elo biar berangkat bareng. Nanti kalo elo telat, gue juga yang nggak enak sama Pak Slamet.”
“Iya… Iya…” Arjuna pun menuju lemari baju dan memilih pakaian yang cocok untuk wawancara.
“Nih peralatan mandi elo,” Dono menyodorkan sebuah ember kecil yang sudah berisi peralatan mandi dan sikat gigi milik Arjuna.
“Ember darimana ?” Arjuna mengernyit.
“Udah kagak usah kebanyakan tanya sekarang. Mandi sana ! Ngggak pakai lama ! Harus tahu diri tinggal rame-rame.”
Arjuna hanya mencibir dengan wajah kesal. Omelan Dono persis seperti emak-emak yang lagi marahin anak perawannya.
Arjuna sempat ribet saat berada di kamar mandi. Semuanya terasa sempit karena terbiasa dengan kamar mandi yang luas dan mewah. Namun akhirnya Arjuna bisa menyelesaikan ritual mandinya pagi ini.
Jam 6.15, Arjuna sudah duduk di boncengan motor Dono menuju sekolah tempat sahabatnya mengajar. Dono terus mengomel karena baginya berangkat di jam segini berarti kesiangan. Sepanjang jalan, pria berstatus guru IPS itu terus mengoceh sebagai bentuk luapan hatinya yang kesal pada Arjuna.
Supaya perjalanan tetap aman, Arjuna hanya diam dan sesekali menjawab iya menanggapi omongan Dono. Sebetulnya tidak semua bisa didengarnya secara jelas dan utuh. Hembusan angin seakan membawa sebagian kalimat Dono hingga terpotong-potong. Belum lagi helm yang dipakai oleh Arjuna menutupi kedua telinganya.
Biar bagaimana, Arjuna tetap berusaha menghargai perhatian Dono hingga saat ini. Beberapa hari ini, Arjuna banyak terbantu olehnya. Mulai dari cari pekerjaan, tempat kost, buka rekening bank sampai ia pindahan ke kost pun Dono tetap membantunya. Padahal Arjuna tahu kalau Dono sendiri mulai disibukan dengan persiapan pernikahannya yang akan digelar kurang dari 3 bulan.
Jam 6.30. Motor milik Dono sudah terpakir di area khusus motor. Sesuai ucapan Dono, parkiran saja sudah mulai penuh, begitu juga dengan siswa siswi terlihat mulai ramai memasuki gerbang utama sekolah.
Arjuna yang masih berdiri di samping motor melihat ke sekeliling. Sekolah ini memiliki lahan yang cukup luas. Bukan hanya jenjang SMA, tapi SMP pun tersedia di sini dengan satu nama Guna Bangsa. Keduanya terpisah gedung yang masing-masing memiliki 3 lantai. Satu lapangan yang cukup besar untuk basket dan volley.
“Jun, gue harus ke ruang guru dulu. Ada jam mengajar pagi ini. Hari ini anak-anak pas nggak ada upacara. Nanti jam 7 lewat elo ke gerbang yang itu,” Dono menunjuk ke arah gedung yang ada di sisi kiri mereka.
“Elo tanya deh sama satpam yang jaga di gerbang mau ke kantornya Pak Slamet. Ada di lantai 2. Bilang aja elo dipanggil wawancara, ya ! Kalo lapar, di sana ada kantin, tapi biasanya pagi begini cuma ada minuman doang.” Dono menunjuk bangunan lain yang hanya satu lantai, berada di dekat lapangan, dan diapit oleh gedung SMP dan SMA.
“Oke Bro,” Arjuna memberikan isyarat tangan oke pada Dono.
“Tungguin gue sampai jam istirahat.”
Arjuna hanya mengangguk dan menatap Dono yang berlati kecil menuju gerbang SMA.
Perut Arjuna yang terbiasa sarapan, mulai bernyanyi dan minta diisi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 270 Episodes
Comments
Nacita
dono ngemong banget 😂
2024-05-18
1
Kawaii 😍
dono sabar banget 👍
2024-01-18
0
Ayuna
lanjut
2023-02-04
0