Arjuna berjalan mengendap memasuki rumah keluarganya melewati pintu belakang. Dia sudah mengirim pesan pada Ujang, salah satu pekerja di rumahnya, untuk menunggunya pulang.
Jam 11.15. Terlalu asyik ngobrol dengan kedua sahabat dan beberapa teman SMA nya membuat Arjuna lupa waktu. Boni tidak datang karena sedang ada acara keluarga dengan Mimi, kekasihnya.
Ujang sudah siap dengan pintu terbuka dekat dapur.
Setelah mengucapkan terima kasih, Arjuna langsung naik ke kamarnya dengan sikap waspada.
Namun sempat menanyakan pada Ujang keberadaan papa Arman, Arjuna boleh menarik nafas lega karena kedua orangtuanya sudah masuk kamar dan tidak keluar lagi saat Ujang mulai menunggu anak majikannya.
Arjuna merenggangkan otot-ototnya. Cahaya mentari lagi mengintip dari balik tirai yang tidak tertutup rapat dan masuk dari celah-celah ventilasi kamar mandi yang sedikit terbuka pintunya.
Arjuna mengerjapkan mata sambil duduk di atas tempat tidurnya. Setelah melakukan peregangan singkat, Arjuna berjalan menuju kamar mandi.
Rencananya hanya ingin sikat gigi dan membasuh wajah sebelum turun sarapan. Tapi melihat jam dinding sudah di angka 10 lewat 15, Arjuna memutuskan untuk langsung mandi saja.
Perlahan Arjuna melangkah menuruni anak tangga setelah menghabiskan waktu 30 menit untuk mandi dan bersiap.
Didapatinya ruang keluarga kosong tanpa penghuni. Arjuna meneruskan langkah menuju ruang makan dan sempat melongok ke teras belakang rumahnya.
“Bapak sedang keluar main golf sejak pagi, Den. Ibu dan Non Manda sedang pergi ke pasar.”
Bik Sumi yang baru saja memasuki ruang makan langsung menjelaskan karena melihat Arjuna melongok sana-sini seperti sedang mencari orang.
“Semalam papa sama mama pulang jam berapa, Bik ?” Arjuna menarik kursi dan melihat makanan yang terhidang setelah Bik Sumi membuka tudung saji.
“Jam sepuluh kurang, Den.”
Bik Sumi meletakan piring dan peralatannya di depan Arjuna. Setelah beberapa saat, wanita baya itu membawa segelas es jeruk untuk Arjuna. Sudah menjadi kebiasaan anak majikannya kalau sarapan nasi goreng, Arjuna pasti memilih es jeruk sebagai minumannya.
“Apa papa marah-marah semalam atau pagi ini, Bik ?”
Bik Sumi tersenyum. Dia sempat mendengar semalam kasus kaburnya Arjuna meninggalkan restoran. Pria yang sudah diasuhnya sejak berusia 2 tahun ini memang memiliki otak yang cerdik dan selalu banyak akalnya.
“Bapak nggak sampai marah-marah banget kok, Den. Tadi pagi juga terlihat biasa saja.”
Arjuna mengangguk-anggukan kepalanya sambil menikmati nasi goreng.
Setelah selesai sarapan menjelang makan siang, Arjuna duduk di ruang keluarga sambil memainkan handphonenya. Dia juga sempat mengecek email yang masuk berkaitan dengan pekerjaannya.
Tidak lama terdengar gaduhnya suara Amanda memasuki rumah lewat pintu dapur. Arjuna mengabaikannya dan tetap fokus pada handphonenya.
“Siap-siap loh, Kak,” ujar Amanda setengah berbisik saat melewati ruang keluarga dan mendapati kakaknya sedang duduk selonjoran di sana.
Arjuna mendongak sekilas dan memberikan isyarat tangan oke pada adiknya.
Ternyata bukan hanya mama Diva dan Amanda yang pulang dari pasar, papa Arman ikut pulang bersama dengan satu mobil.
Lokasi pasar modern dengan lapangan golf ternyata tidak terlalu jauh hingga cukup satu mobil untuk memgantar dan menjemput kedua orangtua Arjuna.
Tigapuluh menit kemudian, Bik Sumi memanggil Arjuna untuk makan siang karena orangtua dan adiknya sudah menunggu di ruang makan.
Mulanya Arjuna hendak menolak acara makan siang bersama. Selain karena masih kenyang, degup jantungnya belum bisa ditenangkan karena membayangkan reaksi papa Arman atas tindakannya semalam.
Berharap bisa memadamkan kemarahan papa Arman, akhirnya Arjuna memberanikan diri ikut makan siang bersama.
Di luar dugaan, papa Arman tidak menyinggung apapun atau bertanya pada Arjuna masalah semalam. Tapi jangan berharap papa Arman mengajaknya berbicara, menoleh padanya pun terlihat enggan.
Selesai makan siang di hari Sabtu, seperti biasa mereka berkumpul lagi di ruang keluarga. Mama Diva duduk satu sofa dengan papa Arman sambil memotong buah.
Arjuna duduk di sofa panjang lainnya yang berseberangan dengan kedua orengtuanya, dan Amanda duduk di sofa tunggal yang berada di antara kedua sofa panjang.
“Mana dompetmu,” dengan suara datar papa Arman mengulurkan tangan dan meminta dompet milik Arjuna.
“Sebentar Juna ambil dulu, ada di kamar, Pa.” Arjuna pun bangun dan bergegas naik ke kamarnya.
Tidak lama dia sudah kembali dan meletakan dompet hitam miliknya.
“Handphone,” papa Arman memberi isyarat supaya Arjuna meletakan handphonenya juga. “Keluarkan SIM cardnya.”
Kedua alis Arjuna saling bertaut. Perasaannya semakin tidak karuan. Juna menuruti perintah papa Arman.
Mama Diva sempat berhenti memotong buah dan menatap suaminya dengan dahi berkerut. Amanda pun menghentikan kesibukannya berselancar di media sosial. Buat Amanda, drama papa Arman dan kakaknya lebih seru dintonton, apalagi secara LIVE !
Arjuna mengeluarkan SIM cardnya dan papa Arman mengeluarkan semua isi dompet anaknya.
Tindakan papa Arman yang langsung membagi dua kartu kredit dari dompet Arjuna, membuat tiga orang yang ada di dekatnya tercengang.
Tanpa memberikan penjelasan apa-apa, papa Arman menarik handphone Arjuna berlogo buah yang nilainya puluhah juta dan memberikan dus handphone baru yang terlihat standard.
“Semua tagihan kartu kreditmu akan papa selesaikan dan anggap saja sebagai pesangon kerjamu. Rekening, deposito dan apartemen sudah papa tarik kembali dan diblokir. Ini uang untuk modal hidupmu mendapatkan masa depan yang kamu inginkan.”
Papa Arman menyodorkan uang tunai senilai 2 juta yang diambilnya dari dompet Arjuna.
Belum sampai Arjuna buka suara ingin protes karena merasa sebagian uang yang ada di rekeningnya adalah hasil gajinya selama menjadi CEO, papa Arman kembali berbicara dengan nada datar.
“Uang di rekening dan depositomu bahkan tidak cukup untuk melunasi 3 kartu kredit milikmu. Terutama yang ini,” papa Arman menunjuk salah satu kartu berwarna abu-abu tua dan mengkilap namun sudah terbelah dua.
Arjuna terkejut saat papa Arman memperlihatkan kartu yang dimaksud. Selama ini dia tidak pernah menggunakan kartu itu untuk dirinya sendiri, tetapi Arjuna membuat kartu tambahan di situ atas nama Luna.
Arjuna menghela nafasnya. Tagihan kartu kredit itu memang tidak sampai over limit, tapi cukup memcengangkan saat menerima laporan pemakaian setiap bulannya. Ada sedikit penyesalan dalam hati Arjuna karena sudah memberikan kebebasan untuk kekasihnya yang kurang bertanggungjawab. Bahkan Arjuna tidak pernah menegur Luna yang seenaknya berbelanja barang-barang mewah.
“Kamu masih punya waktu satu minggu untuk mencari tempat tinggal baru dan tetap datang ke kantor untuk melakukan serah terima dengan Tino dan Pak Hasan.”
“Pa,” lirih mama Diva memanggil suaminya. Hati keibuannya ingin melawan tindakan suaminya pada putra sulung mereka.
Namun memgingat penjelasan papa Arman dan permintaannya semalam saat mereka masih di mobil dalam perjalanan pulang, mama Diva tidak mampu berkata banyak. Hanya saja, tidak terpikirkan kalau Arjuna hanya diberi uang dua juta untuk memulai hidup di luar sana.
“Papa sudah menuruti permintaanmu semalam untuk membiarkan dirimu menentukan masa depanmu sendiri. Papa tidak akan memaksakan kehendak papa lagi.”
“Iya Pa,” ujar Arjuna pelan sambil menunduk.
Memang masih harus bersyukur karena Arjuna tidak diminta keluar hanya dengan baju yang menempel di badannya.
“Ini bukan hukuman dari papa karena kamu membantah permintaan papa. Ini semua adalah permintaanmu sendiri. Konsekuensi yang harus kamu jalani atas keputusanmu sendiri.”
Mama Diva mengalihkan tatapannya dan menahan air mata yang ingin keluar dari sudut matanya. Dia berharap bahwa Arjuna akan mendapatkan pelajaran berharga dari kejadian ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 270 Episodes
Comments
antha mom
orang tua yang tegas dalam mendidik anak 👍👍
2025-03-01
1
Devi Handayani
bagus itu didikan seorang bapak untuk anak lelakinya.... berani berbuat berani bertanggung jawab..... you are man, right😏😏😏😏😏😏😏
2023-08-08
1
Baretta
Maaf kalau ada salah Kak 😊🙏
2023-07-02
1