Part 14: Patah Hati

Part 14: Patah Hati

Farel Bintang

Aku berjalan dengan memegang sepucuk surat yang ditujukan untuk orang tuaku. Kakiku tidak gentar menapaki trotoar berkrikil ini. Kuterima sudah hukuman yang diberikan tanpa sedikit penyesalan.

Ada kebanggaan tersendiri saat sadar bahwa aku merasa kembali seperti dulu lagi. Satu orang melawan tujuh orang bisa kulawan dengan kedua tanganku sendiri. Tubuhku seakan kembali ringan dan mendapatkan kekuatannya kembali. Namun, hal yang paling penting ialah depresiku mulai memudar.

kubuka pagar. Mobil Mama sudah terparkir di garasi. Ini pertanda ia sudah pulang dari mengurusi butiknya. Seperti biasanya, Sarah sudah menyirami tanaman yang ia tanam sendiri. Sarah sedari dulu memang menyukai kegiatan tanam-menanam. Mungkin saja itu menurun dari Mama yang suka berkebun.

"Sarah, Mama mana?" tanyaku.

"Di dalam, tuh," jawabnya dengan cuek. Ia tetap menyirami tanamann kesayangannya itu.

Di depan pintu aku sudah menyium aroma masakan yang akan kami santap malam nanti. Mamaku pasti saja sedang berada di dapur menggunakan celemek yang selalu ia pakai ketika memasak.

Setelah itu, ia pasti akan menanyakan, bagaimana pelajarannya Farel? Gejalanya ada kembali muncul?

Ia memang Mama yang begitu perhatian pada anaknya. Bahkan semenjak diriku mengidap depresi ini. Mama selalu saja menanyakan bagaimana hariku.

Mama tampak sibuk dengan meja makan. Ia membersihkan meja itu dengan sehelai kain yang memang dikhususkan untuk mengelap apa saja yang kotor. Ia menyadari kedatanganku. Wajah yang sudah mulai menua itu terlihat penat oleh hari yang ia lalui. Mengurusi bisnis dan rumah ini. Kulempar sebuah senyum yang akan melunturkan penatnya.

"Mama, aku mau ngasih ini." Aku menyerahkan amplop putih yang berisikan surat hukumanku.

Tidak kusangka. Bukanlah amarah yang kudapat, namun pelukan ini yang kuterima. Mama memelukku dengan erat. Ia melukis senyum di wajahnya. Senyum yang begitu mirip dengan senyum Adikku, Sarah.

"Mama tau Farel diskors karena berantam, tapi Mama senang karena kamu udah kembali seperti dulu," ucap Ibuku dalam pelukannya.

"Bukannya Mama nggak suka dengan aku yang dulu?" tanyaku. Matanya bergerak ke bawah seaka tidak ingin melihatku.

"Bukan Mama nggak suka. Dua tahun ini kamu selalu terjebak dalam pikiran yang membebani kamu, Farel. Setiap kamu emosi, gejala itu selalu muncul. Tapi kali ini nggak, Mama senang sekali."

Tidak kujawab ucapan Mama. Aku senang melihat Mama tersenyum. Selama ini ia memang jarang tersenyum semenjak Papaku sudah tiada dan aku yang selalu tertutup. Ia selalu memikirkan keadaanku yang semakin memburuk semenjak ayahku tiada. Aku selalu menutup diri dari orang banyak dan hanya menghambiskan waktuku untuk sendirian.

"Mama tau cewek yang Farel maksud." Mama mengarahkanku ke pintu menuju halaman belakang rumah.

Wanita itu tengah duduk di kursi kayu tempat biasanya diriku bersantai tatkala senja menjemput. Tubuh mungilnya menghadap ke taman bunga halaman belakangku. Rambutnya tergerai dan tampak indah ketika angin menggerakkannya perlahan. Aku tahu siapa itu.

"Alvia? Kok bisa di sini?" panggiku dari dalam.

Ia menangkap panggilanku dan menoleh. Senyum tipis itu sungguh manis saat melebar. Mata bulatnya terlihat lucu. Tatapannya tampak tegas oleh alis tebal yang melengkapinya.

"Aku minta sama Cessa buat ngantarin aku ke sini dan jelasin semua sama Mama kamu," kata Alvia.

Aku duduk di sampingnya sambil menyaksikan tarian lebah yang menari di antara bunga yang mekar. Dua buah pohon rindang tumbuh dengan kokoh memberikan kesan sejuk dan alami pada halaman belakang rumahku. Sering kali aku ke sini untuk sekedar melihat matahari yang mulai condong ke barat.

Kami berbincang-bincang hampir satu jam lamanya. Sesekali ia memainkan gitar yang ia bawa ke sini. Kadang ia bernyanyi dengan iringan gitar yang kumainkan. Tanganku terasa kaku saat menekan senar demi senar gitar. Sudah lama aku tidak memainkannya, mungkin sudah bertahun-tahun lamanya semenjak gitarku kuberikan begitu saja pada Azka. Entah bagaimana keadaan gitarku dengannya.

Seperti yang Alvia bilang, bahwa menunggu senja itu sangatlah menyenangkan. Kita dipaksa untuk menerjemahkan cahaya matahari yang sedikit memudar. Kita juga dipaksa untuk mencoba mengartikan arti rona merah yang mulai memenuhi langit barat. Siapa saja bisa masuk ke dalam suasanannya.

Alvia bagaikan rinai hujan bagiku . Rinai hujan selalu memberikan senyum padaku. Setiap rintikannya bagaikan mengajakku menari dalam serbuan jutaan titik hujan. Suaranya yang menggema seakan musik jazz yang kudengar di café dengan aroma kopi yang kuat. Begitu nyaman hingga kularut di dalamnya. Itulah kenapa Alvia begitu mirip dengan rinai hujan yang selalu kunantikan.

"Seberapa dekat sih kamu sama Cessa?" tanya Alvia tiba-tiba. Jariku berhenti saat menekan senar satu pada fret ke dua. kunci D yang ingin kubuat tidaklah sempurna.

"Sangat dekat sekali, seperti ini." Diriku menempelkan jari tengah dan jari telunjukku erat-erat. Kutunjukkan seberapa dekat diriku dengannya. "Ia sahabatku."

"Jika Farel memilih, mana yang akan kamu pilih antara diriku dan Cessa?"

Aku terdiam. Kuletakkan gitar Alvia di sampingku. Hatiku berharap lebah yang menari itu memberiku jawaban yang tepat. Aku mencintainya dan kuingin sekali untuk menyebut namanya kali ini.

Namun, hati ini terlalu malu untuk menyebutkan sepenggal nama itu.

"Aku tidak memilih satupun," jawabku singkat. Seketika sebuah pertanyaan muncul di pikiranku.

"Sekarang giliranku. Jika salah satu dari kami jatuh cinta padamu, Alvia memilih aku atau Azka?" tanyaku.

Ia terdiam sejenak memikirkan jawaban yang akan disebut olehnya. Aku di sini tampak tegang oleh jawaban yang akan diberikan oleh. Semilir angin yang lewat tak kunjung beri ia jawaban. Ia tetap saja memandang langit yang mulai berwarna oranye.

"Aku memilih Azka,"

Kalimat itu singkat, namun terasa sesak jika kudengar. Rinai hujanku berubah menjadi badai. Hujan tidak selalu mewarnai, kadang berbadai bak hati nan terlukai.

Nama itu terngiang dalam telingaku. Terus saja tengiang hingga aku tertunduk ke bawah. Seketika kepalaku berdenyut sakit. Nafasku terasa tidak beraturan. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang.

Gejala ini tiba-tiba muncul di sini. Kalimat Alvia memberiku emosi yang berlebih saat menyentuh hatiku yang begitu sensitif.

Benar apa yang sudah Cessa katakan. Aku tidak pernah peduli dengan perasaanku sendiri dan hanya peduli denga perasaan orang lain. Aku terlalu naif mengatakan bahwa aku tidak cemburu.

Kini aku sadar bahwa kini aku benar-benar patah hati.

***

Terpopuler

Comments

ayyona

ayyona

hujan dan senja membuat orang berhenti sejenak dari aktivitasnya. menatap hujan dan senja, memaku diri di lamunan

2020-12-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!