Part 3 : Namamu
Alvia Darsya Putri POV
Hatiku berdegup kencang saat melangkahkan kaki. Hari ini adalah hari spesial bagiku. Akhirnya sepatu baruku akan terpakai setelah dua minggu tidak pernah kupakai.
Label SMA Diponegoro bertengger di bahuku, salah satu sekolah elit di Pekanbaru. Senang rasanya mempunyai teman baru. Akan ada tawa-tawa yang akan kudapatkan dari teman-teman baruku nanti.
Aku berasal dari Kota Padang. Ayahku yang asli orang Pekanbaru memilih pindah kembali ke Pekanbaru karena dipindah tugas oleh perusahaan tempat ia bekerja.
Ya, sekarang di sini aku berada. Di tanah Melayu yang cukup panas bagiku. Sedikit lebih panas daripada Kota Padang. Saat di Padang, aku bisa melihat bukit-bukit yang indah dengan jelas. Namun, di sini aku tidak akan melihatnya lagi. Di sini dipenuhi gedung-gedung yang jika di lihat sedikit tidak jelas karena udara dipenuhi oleh kabut asap tipis. Sering kali Kota Pekanbaru dipenuhi oleh kabut asap kebakaran hutan.
"Pak," sapaku pada petugas satpam sekolah itu. Usianya mungkin sekitar lima puluhan. Ada sedikit uban yang tumbuh di rambutnya.
"Iya, banyak sekali bawaannya." balasnya.
Ia benar, tak hanya tas sekolah yang kubawa namun tas gitar juga yang kusandang. Aku memang hobi bermain musik, terutama gitar. Kepala Sekolah memintaku untuk aktif di sanggar musik sekolah.
Di sepanjang perjalanan, aku selalu dipandangi oleh murid-murid lain. Aku maklum dengan hal itu. Aku anak baru di sini dan mereka belum pernah melihatku sebelumnya. Aku sedikit tersipu melihat mereka yang terus saja memandangiku.
Seketika seseorang menabrakku dari belakang.
"Hei!!!"
Pria itu tetap tidak menggubris. Hanya tenang berjalan tanpa beban. Setiap orang menatapnya, namun ia tidak peduli.
Hatiku mengutuk kepada pria itu. Namun pagi ini terlalu panjang untuk terus melakukannya.
Aku berjalan ke arah belakang sekolah. Sebuah lapangan basket berada di sana. Tidak jauh dari lapangan basket itu, terdapat dia buah tempat duduk besi yang letakkan saling membelakangi. Aku memustuskan untuk duduk di sana dahulu sebelum berkeliling lagi mengenal sekolah ini lebih jauh.
"Haaaa, udanya segar." Aku membuka tangan lebar-lebar berusaha memeluk angin segar yang melintas. "Siapa yang tidak betah duduk di sini."
Perlahan-lahan aku tersenyum betapa indahnya jika aku bisa berdua dengan orang yang kusuka di sini.
Aku meletakkan gitarku lalu pergi untuk melihat-lihat sebentar. Sekolah ini cukup luas. Langkahku tidak akan mampu untuk menjelajahi semuanya pagi hari ini. Banyak yang kulihat kali ini. Mulai dari laboratorium, lapangan futsal, ruang seni, UKS, bahkan tempat menongkrong anak laki-laki. Langkahku berakhir di ruang Kepala Sekolah. Aku lupa kalau aku harus menemuinya pagi ini. Perlahan aku membuka ruang Kepala Sekolah. Tampak di sana ia sedang duduk sambil membaca berkas-berkas di mejanya. Di sana juga berdiri seorang murid laki-laki.
"Bagaimana keadaanya akhir-akhir ini?" tanya Kepala Sekolah kepada murid itu.
"Seperti biasa, Bu, dia masih tidak mau bergaul. Aku selalu awasi dia kok," jawab murid itu. Namun, Kepala Sekolah mendengarkannya tanpa melihatnya. Ia terlalu sibuk dengan berbagai berkas di mejanya.
"Assalamu'alaikum," ucapku pelan.
"Wa'alaikumsalam," jawab mereka seretntak. Murid laki-laki melihatku dengan heran, namun perlahan ia tersenyum padaku.
Aku mendekat ke meja Kepala Sekolah dengan cepat.
"Etek." Aku menyalami tangan Kepala Sekolah.
Murid laki-laki itu terkejut mendengarkanku dengan sebutan Etek. Etek adalah sebutan bibi atau tante dalam Bahasa Minang atau pun Melayu. Ya benar, yang kusalami ini adalah adik dari Ibuku.
"Alvia, di sekolah jangan panggil etek di sekolah dong. Panggil Ibu aja," ucapnya sambil tertawa.
"Alvia, bakal manggil Etek dengan sebutan Bu Etek. Haha .... " Aku tertawa sejenak. Murid laki-laki di sampingku juga ikut tertawa.
"Azka, ini keponakan Ibu. Namanya Alvia. Pindahan dari Padang." Bibiku ini memperkenalkanku dengan murid laki-laki itu.
Pembawaannya tampak manis dan ramah. Senyumnya begitu ringan ketika ia menunjukkannya.
"Aku Azka. Salam kenal ya." Ia kembali tersenyum padaku.
Aku membaca label nama di dadanya.
"Azka Aldric, oh itu nama panjangmu." Kepalaku sedikit terangkat saat menatap wajahnya. Postur tubuhnya cukup tinggi untuk ukuran laki-laki. "Namaku, Alvia."
"Bu Etek, Alvia masuk kelas mana?" tanyaku pada Kepala Sekolah atau Etek-ku itu. Ia tak menjawab pertanyaanku, namun berkata kepada Azka.
"Azka, nanti kamu antar Alvia ke Wali Kelasmu ya. Alvia akan masuk kelas kamu," ucapnya.
Azka hanya mengangguk mengerti.
Setelah itu kami keluar dari ruangan kepala sekolah. Kami berjalan perlahan tanpa tujuan. Aku hanya mengikuti kemana Azka ingin pergi. Saat kami berjalan berdua, seluruh murid tampak menatap kami, terutama murid perempuan yang menatap sinis kepadaku. Aku menghiraukannya saja.
"Ada apa dengan mereka Azka?" tanyaku kepadanya. Kepalaku kembali terangkat tuk melihat wajahnya. Tinggi badanku sama dengan dada Azka.
"Sebaiknya kamu cari tau siapa aku dulu," jawabnya singkat lalu Azka masuk ke suatu ruangan. Aku melihat papan yang tertempel di atas pintu ruangan itu. Tidak lama kemudian Azka keluar dengan membawa sebuah bola basket.
"Aku bertanya, loh, tapi kamu malah ngejawabnya dengan memberiku perintah. Aneh." Aku membahas jawabannya tadi.
"Mereka itu yang aneh paling, masa nggak pernah lihat orang jalan berdua sih," jawabnya.
Aku mengangguk mengerti. Kami terus berjalan berdua menuju ke sebuah lapangan basket. Ia langsung ke sana untuk memainkan bolanya.
"Kamu diminta ngantar aku ke Wali Kelas, loh, bukan ke lapangan basket." Aku melipat tanganku dan membiarkannya berlari men-dribble bola basketnya. "Main dulu, baru ke sana."
Senyumnya kembali terpancar saat ia memainkan bola basketnya. Ia terlihat manis saat tersenyum. Terutama saat sebelah lesung pipinya mulai tampak. Wajahnya terlihat oriental. Ia begitu imut tatkala mata sipitnya memicing.
Dari sini terlihat gitar yang kuletak di tempat duduk tadi. Masih terletak rapi lengkap dengan tas gitarnya.
Di sana ia tidak sendiri, ada seseorang duduk di dekatnya. Ia selalu menatap langit yang perlahan bergerak. Ia duduk dengan pasrah saat dihantam angin pagi yang segar. Di hadapannya terdapat rimbunan pepohonan dan bunga-bunga yang diperebutkan oleh lebah dan kupu-kupu. Tidak lama kemudian, ia melihat gitarku.
Matanya tampak ragu untuk menyentuhnya. Aku tahu ia tidak akan bisa tahan dengan gitar mulusku itu. Dibuat dari kayu mahoni oleh salah satu seniman terkenal di Kota Yogyakarta. Suaranya sangat merdu bahkan burng-burung akan bernyanyi jika kupetik dengan melodi-melodi yang harmoni.
Azka lelah dengan basketnya lalu duduk di sampingku. Matanya lurus melihat Pria yang sedang memainkan gitarku itu
"Cowok itu main gitarnya bagus ya." Tiba-tiba mulutku berbicara sendiri. Memecah keheningan di antara kami.
"Iya, sayangnya dia pendiam dan nggak suka bergaul. Aku juga suka bermain gitar, seseorang meninggalkannya di rumahku dulu," jawab Azka sambil melihat pria yang sedang bermain gitar itu.
Alunan melodi yang ia mainkan memaksaku untuk mendekatinya. Kutinggalkan Azka bergelut dengan basketnya kembali, sedangkan aku berjalan ke tempat duduk itu.
"Hai," sapaku tiba-tiba. "Petikan gitarmu bagus juga."
Ia menoleh dengan lambat. Sorot matanya tampak tajam menatapku. Seperti melihat setiap detail wajahku. Angin yang menghempas memaksa rambut lurusnya bergoyang. Warna kulitnya tidak terlalu cokelat, tidak seputih Azka yang baru kukenal tiga puluh menit yang lalu. Kepalaku tetap saja terangkat saat berusaha menatap wajahnya.
Ia adalah orang yg menabrakku tadi.
Aku memintanya untuk memainkan melodinya lagi. Namun, ia menolak. Langkahnya tegas untuk pergi.
"Siapa namamu?" pertanyaanku membuat langkahnya terhenti.
"Apakah itu penting bagimu?" jawabnya singkat.
Matanya mengarah ke Azka yang sedang bermain basket. Tampak fokus memerhatikan Azka nan sedang asyik dengan kegiatannya sendiri. Namun, seketika Azka sadar jika ia sedang dilihat oleh pria itu. Tatapan dingin mereka saling beradu. Pria itu akhirnya mengalah dan langsung pergi.
Azka mengantarkanku ke Wali Kelasku yang baru. Tak lama kemudian, aku digiring ke kelas baru.
Aku tersenyum.
"Ternyata kita sekelas, pria aneh! Akan kucaritahu namamu."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
👸ᴿᵃᵗᵘ ᴹⁱᶜⁱⁿ 🤴
keren seperti baca puisi aku suka aku suka
2020-03-07
0