Part 4 : Penunggu Hujan
Alvia Darsya Putri POV
Aku menyukai gitar lebih dari mereka tahu. Bagiku gitar adalah bagian dari hidupku, seakan kelokan-kelokan melodi itu mengalir dalam darahku. Itu semua tidak lepas dari seseorang yang pernah hadir dalam hidupku. Seseorang yang membuatku mengerti arti bermain musik sebenarnya.
"Musik adalah cinta," ujarnya dahulu.
Ia adalah pria yang kutemui lima tahun yang silam.
Kulihat dirinya saat itu sedang menyendiri taman sekolah sedang berduaan dengan gitarnya. Masih jelas dalam ingatanku gaya duduknya pada saat itu. Kaki kanannya ia lipat ke atas kaki kirinya, sedangkan gitar itu ia pangku di atas. Ia jarang tersenyum. Kakak kelas yang misterius, namun itulah daya tariknya. Terlihat dingin di mata orang lain.
Ia adalah penggila menyendiri. Selalu terbang dengan imajinasinya saat ia sendiri. Ia pandai merangkai kata-kata indah lalu mempostingnya di media sosial. Sering kali perkataannya menjadi viral di sekolah.
Pada saat itu, aku masih terlalu kecil untuk mengenal cinta. Namun aku memberanikan diri untuk mengenalnya meski sejengkal saja. Cinta nan banyak membuat orang tergila-gila. Cinta nan memberikan seseorang gairah untuk terus menjalani hidup ini. Aku baru sadar saat itu aku sedang jatuh cinta.
Aku baru masuk SMP pada saat itu. Masa normal orang seumurku mengenal cinta.
Ia adalah anak dari seorang pembuat gitar di Kota Padang. Sering kali aku bersembunyi di balik pohon hanya untuk mendengar petikan-petikan gitarnya yang harmoni. Mataku selalu merekam momen dirinya tersenyum. Bagiku itu adalah hal yang langka karena dirinya memang jarang tersenyum. Aku hanya tahu satu hal, ia tersenyum saat bermain gitar.
"Jangan sembunyi seperti itu, ayo keluar." Ia berhenti memetik gitarnya. Suaranya membuatku terkejut. Perlahan aku mulai keluar dari persembunyianku.
"Kak, aku bukan penguntit. Aku cuma mau dengar Kak Zaki main gitar." Aku tak berani menatap matanya yang dingin itu.
Tidak kusangka perlahan ia **** senyum di bibirnya. Pria itu seakan benar-benar membuatku terbang ke langit. "Duduk di sini, aku ajaran kamu main gitar."
"Kak Zaki kok sendiri?" tanyaku sebelum bersanding berdua.
"Aku suka sendiri," jawabnya singkat
Aku duduk di sampingnya. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa gugupku. Mataku bisa melihat dengan jelas garis wajahnya. Desahan nafasnya begitu jelas terdengar di telingaku. Jari-jemarinya sibuk menyetel senar gitar yang sumbang menurutnya.
"Kak, namaku," kataku. Namun, ia memotongnya.
"Alvia, aku tahu," potongnya dengan cepat. Ia tertawa kecil meski ia masih fokus dengan senar gitarnya.
"Bagaimana Kak Zaki tahu namaku?" tanyaku.
"Aku tau semua nama para penguntitku dan cuma kamu yang mau kupanggil. Kalau yang lain malah kabur saat ia ketahuan sedang menguntitku."
Ia menatapku lembut. Aura dinginnya benar-benar sirna. Ia tidak seperti apa yang kulihat selama ini. Ternyata ia hangat dari yang kukira.
"Aku bukan penguntit Kak," kataku dengan sedikit malu.
"Jangan mengelak lagi," ucapnya.
Perkenalan itu awal dari semuanya. Ia dengan cepat mengenalku lebih jauh. Seiring waktu berjalan, semakin banyak momen dan tawa kami ciptakan. Aku mempercayainya dan sebaliknya ia begitu pula. Kami sering menghabiskan waktu bersama walaupun tidak atas nama pacaran, namun atas nama cinta sebelah pihakku.
Ia tamat dari SMP dan melanjut ke SMA. Meskipun kami berbeda sekolah, ia selalu saja ada waktu untuk menemuiku. Aku pun masuk ke SMA yang sama dengannya. Aku makin mengenal cinta darinya.
Ia adalaha cinta pertamaku dan ia pula yang pertama mengatakan cinta padaku. Cinta sebelah pihak yang selama ini kualami akhirnya berakhir sudah. Ternyata selama ini kami berdekat mempunya maksud lain. Kami saling mencintai.
"Apa sebenarnya cinta?" tanyaku di sebuah taman di SMA.
"Pernahkah Alvia dengar melodi indah dari gitarku? Semua yang membuat Alvia semangat adalah cinta. Salah satunya adalah musik. Musik adalah cinta," jawabnya. Kalimat akhir dari perkataannya selalu menggema hatiku.
Kembali kusadari banyak hal. Senyum pertamanya adalah gitar. Senyum keduanya adalah diriku. Ia adalah cinta pertamaku dan ia juga orang pertama yang mengatakan cinta padaku.
Namun, dari semua itu ada satu hal yang tidak kalah penting. Ia juga yang mengajariku rasanya patah hati. Ternyata patah hati itu sakit.
Aku saat itu sedang duduk di kelas satu SMA, sedangkan ia sedang duduk di kelas tiga SMA. Aku sadar sebentar lagi kami akan berpisah sekolah lagi karena ia akan menamatkan masa SMA. Ia mengalami perubahan drastis. Sifat manisnya selama ini tak lagi tampak olehku. Ia jarang mengangkat handphone-nya saat aku menghubungi. Puncaknya malam itu, sepucuk surat datang kepadaku.
"Terima kasih selama ini Alvia selalu ada buatku. Aku di bandara esok sore," aku membaca kalimat terakhir dari sepucuk surat yang kudapatkan.
Ternyata esok sore adalah momen terakhirku dengannya. Ia akan memilih belajar seni musik di salah satu universitas di Kota Yogyakarta. Senyum yang ia pancarkan tidak semanis sewaktu awal kami bertemu.
"Ini hadiah terakhirku untuk Alvia." Ia memberikan sebuah gitar kepadaku"terbuat dari kayu mahoni yang kokoh. Aku yang membuatnya."
Aku terkejut mendengarnya. Ia telah banyak belajar dari ayahnya yang juga pembuat gitar. Seketika aku memeluknya dengan erat.
Ia menyentuh wajahku, "Kita sampai di sini. Dan satu hal. Kamu bukanlah satu-satunya."
Ia berbalik diri. Aku tidak tahu maksud perkataannya. Aku membiarkan ia berjalan tanpa kutemani.
Namun, apa yang kulihat di ujung mataku membuatku hancur. Kecupan itu membuatku getir menapak lantai. Perkataannya benar, aku bukanlah satu-satunya. Saat itu aku mengerti patah hati.
"Jadi selama ini ...." Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Bibirku terlalu lemah untuk berkata.
.
.
.
.
.
.
.
Kini aku berada di depan kelas baruku. Senyum berharap tampak diperlihatkan calon teman-teman baruku. Kakiku melangkah untuk pertama kalinya di kelas ini. Kulihat pria yang sedang duduk di pojok belakang kelas. Ia terkejut melihatku yang memasuki kelasnya. Ia adalah pria yang memainkan gitarku tadi. Bangkunya dan bangku Azka terpisahkan oleh sebuah bangku kosong. Aku memilih duduk di sana, di antara pria itu dan Azka.
Berjam-jam sudah aku duduk di sini. Azka masih duduk tanpa ekpresi. Sesekali kami tersenyum tatkala saling bertatap muka. Sedangkan pria yang memainkan gitarku tadi itu sibuk menulis sesuatu di bukunya. Ia tak sekalipun menyapaku.
Benar kata Azka, ia tidak suka bergaul. Andai saja ia mau bergaul, ia bisa menjadi laki-laki top sekolah dengan wajah setampan itu. Ia saja yang tidak menyadarinya.
Hari perlahan menjadi gelap oleh awan nan mendung. Prediksi hari cerahku ternyata meleset. Sepagi yang cerah itu hanya awalnya saja, ternyata ada mendung yang menghampiri sore. Ternyata sangat sulit untuk menebak cuaca di musim pancaroba ini.
Kulihat pria misterius itu sedang memandang langit nan mendung. Selapis senyum manisnya terpancar. Lalu ia berdiri dan pergi meninggalkan kelas.
Apa gerangan yang membuatnya tersenyum? Aku bertanya-tanya dalam hati. Rasa penasaranku mengalahkanku. Aku pergi mengikutinya.
Di samping gedung ia berdiri menadahkan tangan. Selapis senyum yang kulihat tadi masih ia pertahankan. Kakiku berjalan perlahan mendekatinya lalu bertanya.
"Hmm..., Sedang apa kamu? Kenapa sendiri?" tanyaku pelan. Ia masih sibuk memandang langit mendung.
"Menunggu hujan dan aku suka sendiri." Kata-katanya datar seperti tidak sadar akan apa yang sedang ia katakan. Kami terdiam sejenak. Aku tertawa mendengar jawabannya. Barulah ia sadar aku sedang tegak di sampingnya sedari tadi.
"Eh, Sejak kapan kamu di sini?" Ia terkejut melihatku tertawa. Ia menarik tangannya yang sedari tadi menadah rinai hujan.
Aku kembali tertawa. Anak ini begitu polosnya menanyakan hal itu.
"Aku rasa kamu nggak perlu nanya hal yang seperti itu. Kamu bilang kalau kamu suka hujan. Kenapa?"
Ia kembali menadahkan tangannya ke rintik hujan yang turun. Pria itu tersenyum lalu berkata, "Hujan yang turun selalu mewarnai. Akan ada pelangi yang akan menggantikannya."
"Oooh, gitu. Sekarang beri tahu namamu," perintahku padanya. Perlahan ia menjulurkan tangannya padaku.
"Namaku Farel, Farel Bintang," ucapnya dengan mata masih menatap langit.
Aku menyambut tangannys dengan memberitahukan namaku, "Aku Alvia, Alvia Darsya Putri."
Ia tampak menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kembali. Aku mengikuti tingkahnya yang sedang menadahkan tangan kepada rinai hujan. Dingin yang kurasa tak menjadi halangan.
"Kadang hujan tidak selalu mewarnai, kadang berbadai bagai hati nan terlukai," ucapnya tiba-tiba.
Seketika aku seakan melihat Kak Zaki sedang berada di sampingku.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Wiwien Blumkids
Pemilihan kosa kata yang bagus
2022-10-22
1
Syafah Aisyah
seakan berada dlm kisahnya🙃
2020-10-21
0
Rahmah Rahmah
novel ini mirip dengan pengalaman ku:)
terimakasih sudah membuat novel seperti ini,rasanya saya seperti berjalan di masa lalu
2020-06-11
4