Part 10 : Maaf

Part 10 : Maaf

Azka Aldric POV

 

Kupandang langit-langit kamar yang mulai memudar dimakan usia. Ada sedikit noda yang menempel. Mungkin saja bekas air seni tikus yang mereka buang di atas sana. Kuberusaha melupakan apa yang terjadi. Sore yang membuka semua rahasia yang selama ini tersimpan olehnya. Rahasia itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Kembali kuingat bagaimana mata penuh semangat itu berlari mendekat. Tubuh itu tampak kembali kekar menghadang. Tangannya yang kokoh mengepal menghantam kepala seseorang. Aku seakan kembali beberapa tahun yang silam di saat Farel baik-baik saja tanpa depresi yang ia derita.

 

     Dulu semangat tak pernah takut selalu ia kobarkan dan sekarang aku merasakan auranya kembali. Ia tidak pernah segarang itu beberapa tahun ini, dan hari ini ia tumpahkan semuanya padaku.

 

Namun sayang kekuatan kau tidak sekuat dulu, kataku saat mengingat pertama kalinya aku mendapatkan pukulan itu.

 

    Hari itu aku melakukan kesalahan saat meninggalkan salah satu temanku yang sedang dikejar preman. Dengan teganya aku meninggalkannya seorang diri menghadapi preman-preman itu. Tepat di pipi kanan itu kepalan kuatnya melayang padaku. Tak satu pun dari kami bisa menghindari lesatan pukulan dari Farel, termasuk aku. Seminggu luka lebam baru benar-benar hilang.

 

Ia tidak sekuat dulu, aku akui itu. Namun pukulannya masih terasa sakit dan membuat luka tepat di sudut bibir. Cengkaraman tangannya di kerahku sangat keras dan lagi-lagi aku tidak bisa menghindari lesatan tangannya yang cepat.

Kupandangi sebuah foto yang berisikan tampang anak-anak SMA yang senang karena saat itu mereka baru saja pulang sekolah. Di tengahnya ada Farel tersenyum sambil merangkul kami dengan tanganya.

 

    Pria sipit dengan dua lesung pipit di masing-masing pipinya berada di samping Farel. Itulah aku, saat aku masih menganggapnya sebagai temannku. Tak hanya sekedar temanku, namun sahabat serta pemimpin di antara kami.

 

Aku pantas mendapatkan pukulan ini. Aku menyakiti hati sahabatnya, Cessa. Wanita manis yang selalu berhijab itu. Kata-kataku memang pedih di dengar.

 

    "Jangan sebut nama teman idiotmu itu di depanku," ucapku pada Cessa.

     Cessa memang berhati lembut, saking lembutnya nada yang sedikit tinggi bisa melukai hatinya. Apalagi dengan kalimat itu seperti itu. Aku baru mengerti bagaimana Farel begitu membela sahabatnya sendiri, sama seperti Farel yang selalu membelaku dulu.

 

"Maaf Cessa, aku nggak ada maksud," ucapku pada diri sendiri sambil berharap ia mendengarnya. Kuambil kunci mobil di meja lalu melaju ke rumah Cessa.

Kulihat bangunan yang menjadi tempat praktek Psikologi papa Cessa. Terdapat beberapa mobil yang terparkir di depannya. Rumah Cessa hanya berjarak beberapa dari klinik itu. Tepatnya masih satu area rumahnya. Halaman luas ini dipenuhi bunga-bunga taman yang indah. Di sudut sana terdapat beberapa pohon rambutan yang ditanam sejajar

 

Tak kupedulikan gelap yang jatuh. kuberjalan mencari Cessa untuk meminta maaf. Seorang wanita duduk di sebuah tempat duduk menikmati cahaya bulan yang redup. Tampak ia sedang menikmati musik yang ia dengar .

    Tak seperti biasanya, biasanya aku melihatnya dengan hijabnya. Namun, di sini ia membiarkan rambutnya tergerai digerakkan angin yang lewat.

 

"Cessa. hai ...," kataku menyapanya. Ia mematikan musik instrumental yang ia dengarkan sendiri. Ia **** senyum padaku lalu bergeser memberikan tempat untukku.

"Azka, nggak biasanya kamu ke sini. Oh bibir kamu itu." Ia menyentuh sudut bibirku yang lebam terkena serangan Farel tadi siang. "Sebentar, aku obati dulu."

Aku berpikir pasti Farel dan Cessa selalu menghabiskan waktu di sini. Entah kapan persahabatan mereka di mulai. Mungkin saja salah satu dari mereka ada yang jatuh cinta. Menurutku pria dan wanita tidak akan bisa bersahabat, mereka sudah diciptakan untuk saling tertarik.

Kudengar langkahnya mendekat. Tubuhnya memang terlihat bagus, apalagi dengan wajah cantik seperti itu. Tak salah banyak yang ingin mendekatinya. Lekukan tubuhnya terlihat molek jika ia berpakaian rumah seperti ini.

"Bentar ya aku kompres dulu, kamu tahan cukup sakit loh." Ia mencelupkan kain ke air hangat yang sudah ia teteskan cairan betadine.

 

   Terasa pedih ketika ditekan. Jari kami saling bersentuhan ketika kuberusaha untuk menahan tangannya agar tidak terlalu keras menekan.

 

"Makasih ya, Cess," kataku. Ia melepaskan jarinya dan membiarkan diriku untuk mengompres sendiri.

 

    Kamu memang tidak pernah berubah Cess, ucapku dalam hati.

    Ia memang berhati lembut. Terasa jelas dari cara ia berbicara kepada seseorang. Tutur katanya yang sopan hingga membuat nyaman siapa saja yang menjadi lawan bicaranya.

     "Aku mau minta maaf. Aku terbawa emosi tadi." Aku menatap matanya. Wajahnya terlihat jelas oleh pancaran lampu kecil yang di pasang di dekat sini.

 

"Ya, aku udah maafin, kok. Aku juga minta maaf soal Farel yang.... Tau sendirilah kamu. Bawaan masa lalu dia memang begitukan? Hahaha." Ia tertawa tipis membicarakan Farel.

 

     Aku mengerti apa yang ia katakan. Farel memang sensitif jika sahabatnya ada yang terlukai. Dari dulu memang seperti itu.

 

"Aku ngerti kok, aku juga pernah dibela seperti itu sama dia."

"Azka, lupain masa lalu kalian. Coba untuk berbaikan. Farel butuh sosok seperti kamu, tidak cukup kalau cuma aku untuk buat Farel ngelupain semua masalahnya," katanya sambil menatap awan yang gelap. Cahaya bulan tak mampu tuk menyinarinya.

Aku terdiam sejenak untuk mencerna kata\-kataya.

 

    "Farel udah banyak berubah dari biasanya. Kamu pasti sering melihatnya tersenyum sekarang." Cessa berkata lagi.

 

Aku mengangguk mengerti, "Ya, aku tau, bahkan emosinya itu sudah lama tidak aku lihat."

"Kalian baikan, ya?" Ia menyentuh pipiku.

 

    Garis tangannya sangat lembut terasa. Sudah lama aku tidak merasakan tangannya di pipiku.

 

"Baiklah, akan kucoba," seketika aku luluh oleh perkataannya. Memang ilmu psikologi yang ia pelajari dari Papanya ampuh untuk mempengaruhi seseorang. Ia tersenyum padaku. Senyum itu memang terasa nyaman.

"Udah lama kita nggak duduk bersama kaya gini," kata Cessa.

"Ya, semenjak kamu nggak jadi Wakil Ketua OSIS mendampingiku yang memimpinnya." Aku tertawa mengatakannya.

Kutatap wajahnya yang berbinar. Memantulkan cahaya rembulan yang redup. Bayang-bayang cahaya terselip di kedua bola matanya.

 

   

     Benar kita nggak pernah begini lagi, Cess. Semenjak aku menolakmu. maaf....

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!