Part 9 : Rahasia

Part 9 : Rahasia

Alvia Darsya Putri POV

     Kelas terdengar ribut oleh para anak laki-laki yang sedang bercanda. Entah apa yang sedang mereka tertawakan. Hal ini sudah terbiasa olehku. Tidak di Padang maupun di sini, lelaki sama saja.

    Kulihat kiri dan kanan, dua orang tampan yang selalu dicuri pandang oleh para wanita sedang tidak ada di sini. Azka yang orangnya super sibuk mungkin saja sedang bermain basket maupun melakukan tugas-tugas yang sering kali diberikan oleh Kepala Sekolah. Sedangkan Farel yang orangnya tak pernah sibuk, sangat sulit untuk ditemukan. Benar-benar sangat sulit untuk ditemukan.

 

Aku keluar untuk mencari angin. Di sore menjelang pulang adalah waktu terbaik untuk berkeliaran menghilangkan suntuk. Bagaimana tidak suntuk jika sudah berjam\-jam terkatung di atas meja kelas. Rasa kantukku yang sedari tadi menghampiriku, kini perlahan hilang oleh hembusan angin senja.

Kulihat seseorang sedang berada di atas bangunan berlantai tiga itu. Wajahnya samar-samar terlihat olehku.

 

   Mungkin saja itu Farel, Farel suka tempat seperti itu, pikiranku menebak-nebak sendiri. Aku berlari menuju tempat paling tertinggi di sekolah kami itu.

 

Kakiku terasa pegal menaiki setiap anak tangga yang ada. Cukup banyak anak tangga yang harus dilalui jika ingin ke atas sana. Nafasku mulai sesak karena letih. Namun sebuah pintu menjadi ujung dari penelusuran anak tangga ini. Kubuka pintu itu dan kulihat seorang lelaki sedang berdiri menatap langit.

"Azka?" panggilku. Ia berbalik melihatku yang sedang bernafas tidak karuan. Ia berbalik tersenyum kepadaku. Mata sipitnya sungguh membuat wajahnya terlihat imut lengkap dengan kedua lesung pipit yang menempel di kedua pipi. Cahaya mentari jatuh ke wajahnya yang putih seperti pria jepang.

 

"Hai Alvia, kamu akhirnya nemuin tempat kesukaanku," katanya padaku. Ia berbalik lalu melihat pemandangan yang ia dapatkan dari atas ini.

 

"Azka, kamu suka menyendiri seperti ini?" tanyaku.

 

    Pemandangan di atas ini sungguh indah. Gedung-gedung kokoh Kota Pekanbaru terlihat bagai hamparan nan luas. Mereka saling berlomba tuk mencakar langit melayu ini.

 

"Alvia, kamu kira si penunggu hujan itu aja yang suka menyendiri. Setiap orang butuh waktu sendirinya. Kalau dia itu, hidupnya bagai ditakdirkan tuk sendiri," ucap Azka.

 

    Aku tidak terlalu suka jika ia menyebut Farel seperti itu.

   Namun, bagaimana Azka tahu tentang sebutan penunggu hujan?

     Seketika pertanyaan besar kembali mencuat di pikiranku.

 

"Kemarin waktu aku nanya bagaimana ayahnya Farel, ia bertingkah aneh. Ia seperti kesakitan. Apa sih yang terjadi padanya?" tanyaku pelan pada Azka.

 

    Reaksi Azka tidak dapat di duga. Ia menoleh dengan cepat. Matanya menatapku fokus.

    "Setelah itu, apa yang terjadi ada Farel?" Azka langsung bertanya.

    Nadanya mengisyaratkan tanda cemas. Aku diam tak menjawab karena terkejut melihat reaksi Azka yang berlebihan.

 

Ia memegangi kedua bahuku dengan keras. "Alvia, setelah itu bagaimana ia?" Nada Azka terdengar keras.

 

    "Alvia, harusnya kamu nggak ngelakuin itu sama Farel," kata Azka. Kalimatnya membuatku terkejut. Wajahnya silau oleh terpaan matahari. Lantunan udara sore nan menghembus membuat helaian rambut Azka bergerak-gerak.

 

"Ia kelihatan bergetar. Matanya melotot ke arah yang kosong. Napasnya nggak beraturan. Aku khawatir sekali ngelihat Farel waktu itu. Dan waktu aku nyentuh wajahnya, yang kurasakan Cuma keringat dinginnya. Mungkin ia nggak sadar kalau aku nyentuh wajah dia."

 

    Air mataku terasa ingin keluar tatkala mengingat keadaan Farel sewaktu di perpustakaan.

"Dan aku nggak kali itu aja ngelihat Farel kaya gitu. Di perpustakaan juga. Farel kelihatan gelisah. Ia memukul-mukul meja tanpa ia sadar. Untung aja ada Cessa waktu itu. Apa yang terjadi pada Farel?" Air mataku jatuh ke pipi. Sebagian emosiku tersentuh hingga air mata itu tidak terbendung lagi. Azka masih tidak menjawab pertanyaanku.

 

"Dan tadi Cessa memohon sama aku untuk membuat Farel kembali tersenyum. Apa yang terjadi Azka. Kasih tau aku!" Aku melepaskan tangannya di bahuku. Kupegang tangannya dengan lembut.

 

    "Azka, Farel kenapa?" kataku sambil menggenggam erat tangannya. Kuharap genggaman itu meluluhkan hati pria di hadapanku 'tuk menjawab pertanyaan itu.

 

Ia masih tidak menjawab. Wajahnya menatap ke lantai kosong. Helaan nafasnya terlihat lambat. Sementara senja terus saja meninggalkan kami. Aku selalu berharap setiap senja adalah bahagia tanpa pecahan tangis seperti ini.

 

    Aku mendengar seseorang membuka pintu itu dengan keras. Hentakan sepatunya di lantai ini terdengar keras seperti berlari.

 

Tiba\-tiba ia bicara. Namun, itu bukanlah Azka. Pria tinggi di belakangnya yang datang secara tiba\-tiba. Ia tak sendiri, dalam genggamannya ada seorang wanita cantik nan terbalut dalam balutan hijab putih. Terlihat cantik dan manis.

 

     "Aku mengidap depresi semenjak ayahku meninggal. Yang Alvia lihat itu sebagian dari gejala depresiku," ucap Farel tiba-tiba.

    Cessa tampak menahan tangan Farel untuk melangkah. Namun ia terlalu lemah untuk seorang Farel.

    Farel memegang kerah Azka dengan keras. Kepalan tangannya mengarah tepat ke wajah Azka. Lesatan pukulannya membuat Azka mundur beberapa langkah. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

 

"Itu untuk kau yang sudah ngebuat Cessa menangis," ucap Farel dengan nafas tak beraturan.

 

   Aku berusaha mencerna kata-kata Farel.

Azka membuat Cessa menangis? Apa yang sedang terjadi?

 

Seketika Farel memegangi kepalanya. Ia tertunduk dan mengerang kesakitan. Cessa nan khawatir memanggil namanya berkali\-kali. Aku berusaha melangkah tuk menenangkannya.

 

   Namun sebuah pelukan itu menghentikan langkahku,

    "It's okay, Cessa di sini , Farel. Ga ada yang perlu dikhawatirkan," ucap Cessa di telinga Farel.

     Pelukan dan perkataan lembut itu menenangkan Farel yang mengerang kesakitan. Ia perlahan menjadi tenang. Farel tidak lagi memegangi kepalanya, namun Cessa tetap saja mengelus kepalanya dengan lembut.

     Sakit itu berganti, namun kepadaku. Ada yang mengganjal pada diriku. Tepatnya di rongga dada ini. Terasa panas dan sakit.

Seketika aku benci dengan pelukan itu.

***

Terpopuler

Comments

meiyin

meiyin

aku suka novel ini. this is make me cry

2021-01-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!