6. Mr. Partridge dan Mr. Albert Riddell

Inspektur Glen tampak agak murung. Kurasa sesore ini dia sibuk menyusun daftar lengkap orang- orang yang terlihat

memasuki toko tembakau itu.

”Dan tak ada orang yang melihat seorang pun?” tanya Poirot.

”Oh ya, ada juga. Mereka melihat tiga orang ber- tubuh jangkung dengan mimik yang mencurigakan empat orang bertubuh pendek dengan kumis berwarna gelap dua berjenggot tiga orang gemuk semuanya orang asing dan semuanya berwajah seram, bila saya harus memercayai para saksi mata! Saya heran, tak adakah orang yang melihat sekelompok laki-laki bertopeng membawa pistol di sekitar daerah ini!”

Poirot tersenyum simpatik.

”Apakah ada orang yang mengaku melihat Ascher?” ”Tidak. Dan itu menguntungkannya. Saya baru saja memberitahu Kepala Polisi bahwa saya rasa ini merupakan pekerjaan Scotland Yard. Saya tak yakin apakah

ini memang kasus kriminal lokal.”

Dengan muram Poirot berkata, ”Saya setuju dengan pendapat Anda.”

Ujar inspektur itu, ”Tahukah Anda, Monsieur Poirot, sungguh ini perbuatan kotor perbuatan kotor... Saya tak menyukainya...”

Kami membuat dua wawancara lagi sebelum kembali ke London.

Yang pertama dengan Mr. James Partridge. Mr. Partridge adalah orang terakhir yang diketahui melihat Mrs. Ascher masih hidup. Laki-laki itu membeli sesuatu dari Mrs. Ascher pada pukul 17.30.

Mr. Partridge berpostur kecil, masih bujangan, dan bekerja sebagai karyawan sebuah bank. Dia memakai kacamata tanpa gagang, amat kaku, dan wajahnya tirus. Kata-katanya tegas, tidak bertele-tele. Dia tinggal di sebuah rumah mungil yang rapi dan ramping, seperti dirinya.

”Mr.eh Poirot,” ujarnya, memandang kartu nama yang diberikan oleh sahabatku. ”Dari Inspektur Glen? Apa yang dapat saya bantu, Mr. Poirot?”

”Saya dengar Anda merupakan orang terakhir yang melihat Mrs. Ascher dalam keadaan hidup, Mr. Partridge.”

Mr. Partridge mengatupkan kedua ujung jari tangannya dan menatap Poirot seperti meneliti selembar cek yang meragukan.

”Itu hal yang belum bisa dipastikan, Mr. Poirot,” ujarnya. ”Ada banyak orang yang berbelanja di toko Mrs. Ascher setelah saya.”

”Bila memang demikian, tak ada orang yang melaporkannya.”

Mr. Partridge batuk.

”Banyak orang tidak punya rasa tanggung jawab sosial, Mr.

Poirot.”

Dia memandang kami melalui kacamatanya dengan mata lebar.

”Betul sekali,” gumam Poirot. ”Saya dengar Anda datang melapor pada polisi atas kemauan Anda sendiri?”

”Betul. Segera setelah saya mendengar kejadian yang mengejutkan itu saya pikir pernyataan saya dapat membantu, dan itu sebabnya saya lalu melapor.”

”Tindakan yang amat terpuji,” kata Poirot dengan sepenuh hati. ”Mungkin Anda tak keberatan mengulang cerita Anda pada kami.”

”Dengan senang hati. Saya pulang ke rumah ini tepat jam setengah enam sore.”

”Maaf, bagaimana Anda mengetahui waktu dengan begitu tepat?”

Mr. Partridge tampak agak kesal karena percakapannya dipotong.

”Jam gereja berdentang. Saya melihat ke arloji saya dan ternyata jam saya terlambat semenit. Itu persis sebelum saya masuk ke toko Mrs. Ascher.”

”Apakah Anda biasa berbelanja di sana?”

”Agak sering juga. Saya singgah dalam perjalanan pulang. Sekali atau dua kali seminggu saya biasa membeli dua ons John Cotton ringan.”

”Apakah Anda kenal Mrs. Ascher? Sesuatu mengenai keadaan atau kehidupan pribadinya?”

”Tidak. Kecuali mengenai barang yang saya beli dan kadang-kadang komentar mengenai keadaan cuaca, saya tak pernah berbincang-bincang dengannya.”

”Apakah Anda tahu suaminya seorang pemabuk yang sering mengancamnya?”

”Tidak, saya tak tahu apa-apa mengenai dirinya.” ”Tapi Anda mengenalnya juga, bukan? Apakah penampilannya terasa tidak seperti biasanya kemarin malam?

Apakah dia kelihatan bingung atau kesal?”

Mr. Partridge berpikir sejenak.

”Menurut pengamatan saya, tampaknya biasa-biasa saja,” ujarnya.

Poirot bangkit.

”Terima kasih atas jawaban Anda untuk pertanyaan-pertanyaan tadi. Apakah Anda punya sebuah ABC di rumah? Saya ingin melihat jadwal kereta api untuk pulang ke London.”

”Di rak belakang Anda,” kata Mr. Partridge. Di rak yang disebutkan ada ABC, Bradshaw, Stock E­change Year Book, Kelly’s Directory, dan Who’s Who, serta denah lokal.

Poirot mengambil ABC itu, berpura-pura melihat jadwal kereta api, kemudian mengucapkan terima kasih pada Mr. Partridge sambil beranjak pergi.

Wawancara kami berikutnya berlangsung dengan Mr. Albert Riddell yang mempunyai sifat amat berbeda. Mr. Albert Riddell seorang pekerja perbaikan rel kereta api dan pembicaraan kami dilakukan di tengah suara denting piring dan perkakas makan istri Mr. Riddell yang tampak penggugup, suara gonggong anjingnya, dan sikap bermusuhan yang amat kentara dari Mr. Riddell sendiri.

Laki-laki itu tinggi besar dan sikapnya kaku. Wajahnya lebar, dan matanya yang kecil menatap penuh kecurigaan. Dia sedang menikmati pastel daging dan mereguk secangkir teh yang amat kental. Dia menatap kami dengan marah dari balik bibir cangkirnya.

”Aku kan sudah mengatakan semuanya!” katanya geram. ”Apa sih urusannya denganku? Telah kuceritakan semuanya pada polisi jahanam itu, dan kini aku harus mengeluarkan ludah lagi menceritakannya pada dua orang asing.”

Poirot melirik ke arahku dengan mimik lucu, lalu ujarnya, ”Sebenarnya saya mengerti perasaan Anda, tapi apa Anda juga? Ini soal pembunuhan, bukan? Orang harus amat sangat berhati-hati.”

”Sebaiknya katakan saja pada lelaki itu apa yang ingin dia ketahui darimu, Bert,” ujar istrinya dengan gugup.

”Tutup mulutmu, Bangsat,” teriak raksasa itu. ”Saya rasa Anda tak melapor pada polisi atas kemauan Anda sendiri.” Poirot berhasil menyelipkan komentarnya dengan jitu.

”Kenapa aku harus melakukannya? Itu bukan urusanku.”

”Soal pendapat saja,” kata Poirot acuh tak acuh. ”Sudah terjadi pembunuhan polisi ingin tahu siapa saja yang telah pergi ke toko itu. Saya rasa bagaimana mengatakannya yah sudah sewajarnya bila Anda pergi melapor.”

”Aku sibuk bekerja. Jangan katakan bahwa seharusnya aku melaporkannya segera walaupun aku sibuk” ”Tapi kenyataannya polisi mendapatkan nama Anda sebagai orang yang pergi ke toko Mrs. Ascher, dan mereka telah memeriksa Anda. Apakah mereka puas dengan laporan Anda?”

”Kenapa tidak?” tukas Bert garang. Poirot hanya mengangkat bahu.

”Apa maumu, Pak? Tak ada yang memusuhiku. Semua orang tahu siapa yang membunuh wanita tua itu, si biadab suaminya itu.”

”Tapi dia tidak terlihat di jalan itu kemarin, sebaliknya dengan Anda.”

”Apakah kau menuduhku? Kau takkan berhasil. Apa alasanku berbuat semacam itu? Kaupikir aku mau mencuri sekaleng tembakaunya yang apak? Apa kaupikir aku seorang pembunuh berdarah dingin seperti sebutan mereka? Kaupikir?”

Dia bangkit dari kursinya dengan sikap mengancam. Istrinya berteriak, ”Bert, Bert, jangan berkata begitu. Bert, mereka akan mengira”

”Tenangkan dirimu, Monsieur,” ujar Poirot. ”Saya hanya menanyakan alasan Anda untuk melapor. Bila nyatanya Anda menolak, menurut saya yah, agak sedikit aneh.”

”Siapa bilang aku menolak?” Mr. Riddell kembali membenamkan diri ke kursinya. ”Aku tidak berkeberatan.”

”Anda masuk ke toko jam enam sore?” ”Betul tepatnya lewat satu atau dua menit. Aku mau beli sebungkus Gold Flake. Aku mendorong pintu supaya terbuka”

”Apakah pintu itu tertutup?”

”Ya. Kupikir mungkin toko tutup. Tapi ternyata tidak. Aku masuk, tak ada seorang pun di sana. Aku mengetuk-ngetuk meja pajangan dan menunggu sebentar. Tak ada yang muncul, lalu aku keluar lagi. Begitulah. Terserah kau, mau percaya atau tidak.”

”Kau tak melihat tubuh wanita itu tergeletak di belakang meja pajangan?”

”Tidak, aku tak suka mengintip-intip kecuali kalau memang aku berniat mencarinya.”

”Adakah buku panduan kereta api yang Anda lihat?”

”Ya menelungkup. Jadinya aku menduga, mungkin wanita tua itu mendadak harus pergi naik kereta api dan lupa mengunci tokonya.”

”Mungkin Anda mengambil buku itu dan menggeser letaknya di meja pajangan?”

”Aku tidak menyentuh barang jahanam itu. Aku hanya melakukan apa yang sudah kukatakan tadi.”

”Dan Anda tak melihat orang lain meninggalkan toko itu sebelum Anda sampai di situ?”

”Tidak. Kenapa sih kau mendesakku?” Poirot bangkit.

”Tak ada yang mendesak Anda Bon soir, Monsieur.

Selamat malam.”

Dia meninggalkan laki-laki yang ternganga itu dan aku mengikutinya.

Di jalan Poirot melihat ke arlojinya.

”Bila kita cepat, Kawan, mungkin kita bisa mengejar kereta api pukul 19.02. Mari kita bergegas.”

Terpopuler

Comments

ˢᶠ︎ᬊ᭄❀ anon

ˢᶠ︎ᬊ᭄❀ anon

mm

2022-08-05

1

𝐀⃝🥀ᴍᴀᷟᴄᷧᴇᷱ_ᴠᷧʜᷢɪɴᴀ

𝐀⃝🥀ᴍᴀᷟᴄᷧᴇᷱ_ᴠᷧʜᷢɪɴᴀ

MANTUUEELL

2022-08-02

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!