2. Andover

Pada waktu itu aku terkesan pada firasat Poirot mengenai surat kaleng yang diterimanya, namun kuakui bahwa soal itu telah lenyap dari ingatanku ketika tanggal 21 benar-benar tiba. Aku baru ingat kembali akan hal itu ketika Inspektur Kepala Japp dari Scotland Yard berkunjung ke rumah sahabatku. Inspektur ini kenalan lama kami selama bertahun-tahun, dan dia amat senang bertemu kembali denganku.

”Wah, tak diduga,” serunya. ”Bukankah ini Kapten Hastings, kembali dari belantara atau apa pun namanya! Seperti masa lalu saja bertemu denganmu di sini bersama Monsieur Poirot. Kau tampak sehat pula. Hanya sedikit tipis di kepala, ya? Memang ke situlah akhirnya kita semua nanti. Aku begitu juga.”

Aku mengernyit sekilas. Kukira dengan menata rapi rambutku, menutupi bagian atas kepalaku, rambut yang dikatakan tipis oleh Japp itu pasti hampir tidak kentara tipisnya. Namun, Japp memang tidak pernah berpikir panjang bila mengomentari diriku, oleh karena itu, aku mengiyakan saja kata-katanya, sambil mengakui bahwa tak ada di antara kami yang menjadi semakin muda.

”Kecuali Monsieur Poirot ini,” kata Japp. ”Bisa jadi iklan menarik untuk minyak rambut. Tumbuh subur bagai cendawan dan wajahnya semakin berseri. Menjadi pusat perhatian pula dalam usia tua. Berbaur dengan kejadian-kejadian aktual. Misteri kereta api, misteri udara, kematian kelas atas oh, dia berada di sini, di sana, dan di mana-mana. Tak pernah sedemikian menonjol sejak dia pensiun.”

”Aku sudah mengatakan pada Hastings bahwa aku seperti primadona yang selalu menciptakan satu penampilan ekstra,” ujar Poirot dengan tersenyum.

”Jangan heran bila kau akhirnya mencium bau kematianmu sendiri,” kata Japp sambil tertawa lepas. ”Wah, itu gagasan bagus. Harus dibukukan.”

”Kalau itu, sebaiknya Hastings saja yang melakukannya,” tukas Poirot sambil mengedip padaku.

”Ha, ha! Benar-benar akan jadi lelucon,” kata Japp terbahak-bahak.

Aku tidak melihat di mana lucunya gagasan tersebut, aku bahkan menganggap lelucon itu berselera rendah. Poirot yang malang, dia terus bertahan menanggapi Japp. Lelucon mengenai kematiannya tentu tidak mengena di hatinya.

Mungkin sikapku menunjukkan perasaanku, itu sebabnya Japp kemudian membelokkan pembicaraan.

”Sudahkah kau mendengar mengenai surat kaleng

Monsieur Poirot?” tanyanya.

”Aku memperlihatkannya pada Hastings dua hari yang lalu,” ujar kawanku.

”Oh ya, benar,” seruku. ”Aku agak lupa. Coba ku ingat, tanggal berapa katanya?”

”Tanggal 21,” tukas Japp. ”Oleh karena itulah aku singgah. Kemarin tanggal 21. Kutelepon Andover tadi malam, sekadar ingin tahu. Ternyata benar, hanya sebuah olok-olok. Tak ada apa-apa. Hanya, sebuah jendela toko yang pecah anak-anak melempar batu dan dua orang mabuk serta beberapa pelanggaran hukum. Jadi, sekali ini teman Belgia kita salah arah.”

”Aku harus mengakui bahwa kini aku lega,” ucap Poirot.

”Kau cemas, bukan?” kata Japp simpatik. ”Syukurlah, kami menerima berlusin-lusin surat semacam itu tiap hari! Penulisnya para penganggur dan orang- orang sinting. Tak ada maksud apa-apa! Hanya seka- dar iseng.”

”Sungguh bodoh aku menganggapnya serius,” tukas Poirot. ”Aku telah mencocokkan hidungku sendiri di kandang kuda.”

”Kau tak dapat membedakan mana yang iseng dan mana yang serius,” kata Japp.

”Pardon?”

”Ya, itulah. Wah, aku harus pergi. Ada sedikit urusan di tempat lain menadah berlian curian. Aku hanya singgah untuk membuatmu lega. Sayang kan, kalau sel-sel kecil kelabu itu dipaksa bekerja sia-sia.”

Dengan ucapan itu dan tawa lebar, Japp beranjak pergi.

”Japp tak banyak berubah, bukan?” kata Poirot.

”Dia kelihatan lebih tua,” kataku. ”Setua musang berjanggut,” tambahku, seakan membalas ucapannya tadi.

Poirot terbatuk-batuk, lalu berkata, ”Tahukah kau, Hastings, ada satu muslihat kecil penata rambutku amat cerdik. Dia menempelkan rambut asli orang di kulit kepala lalu menutupinya dengan rambut kita bukan wig, kau tahu bukan tapi”

”Poirot,” tukasku geram. ”Sekarang dan untuk selamanya, aku tak mau berurusan dengan penemuan licik penata rambutmu yang jahanam itu. Apa sih yang salah dengan kepalaku?”

”Ah, tidak tak ada yang salah.” ”Kaupikir aku akan jadi botak?” ”Ah, tentu tidak! Tentu tidak!”

”Sudah sewajarnya bukan, bila musim panas di sana membuat rambut sedikit rontok. Aku akan membawa pulang minyak rambut yang bagus.”

”Précisément.”

”Lagi pula, ini bukan urusan si Japp. Dia itu seperti setan liar. Dan selera humornya rendah. Jenis orang yang akan tertawa melihat kursi ditarik, persis ketika seseorang akan duduk.”

”Banyak orang akan tertawa melihat kelakar semacam itu.” ”Sama sekali tidak masuk akal.”

”Bagi orang yang akan duduk memang tidak masuk akal.”

”Yah,” kataku, sedikit menahan amarah. (Kuakui aku mudah tersinggung kalau tipisnya rambutku dipersoalkan.) ”Sayang, surat kaleng itu ternyata tidak ada apa-apanya.”

”Aku telah salah duga. Kupikir surat itu agak berbau amis. Ternyata hanya lelucon belaka. Wah, aku sudah beranjak tua dan mudah curiga seperti anjing penjaga yang buta dan menggonggong meski tidak ada apa-apa.”

”Bila kau menginginkan bantuanku, kita harus mencari kasus kejahatan yang istimewa,” kataku tertawa.

”Ingatkah kau komentarmu beberapa hari yang lalu? Bila kau dapat memesan suatu kejahatan seperti memesan makan malam, apa yang akan kaupilih?”

Aku larut terbawa gurauannya.

”Tunggu. Kita lihat dulu menunya. Perampokan? Pemalsuan? Kurasa bukan. Terlalu vegetarian. Harus sebuah pembunuhan berdarah dengan pemenggalan, tentu saja.”

”Ya, harus. Hors d’oeuvres harus luar biasa.” ”Siapa korbannya laki-laki atau perempuan? Ku kira laki-laki. Seorang tokoh. Jutawan Amerika. Perdana Menteri. Pemilik surat kabar. Tempat terjadinya kejahatan yah, apa salahnya kalau sebuah perpus- takaan tua? Tak ada situasi yang lebih cocok lagi. Dan senjatanya bisa tikaman pisau belati yang mencuriga- kan, atau senjata tumpul, batu pusaka berukir”

Poirot mendesah.

”Atau, bisa juga,” kataku, ”dengan racun tapi biasanya itu soal teknisnya saja. Atau letusan pistol yang menggema di malam hari. Lalu, harus ada satu atau dua gadis cantik”

”Berambut pirang,” gumam sahabatku.

”Leluconmu itu-itu saja. Salah satu gadis cantik itu tentu saja dicurigai sebagai tersangka pelaku pem- bunuhan ada salah paham antara gadis itu dengan teman prianya. Lalu, tentu saja ada beberapa tersangka lainnya seorang wanita, agak lebih tua, berkulit gelap dan menyeramkan dan seorang teman atau saingan si korban. Lalu, ada sekretaris yang bungkam sang kuda hitam serta laki-laki kekar dengan sikap kasar, juga dua pembantu atau penjaga kebun atau sema- camnya, yang baru dipecat. Dan detektif tolol yang agak mirip Japp yah, kira-kira begitulah situasinya.” ”Itukah gagasanmu tentang kasus kriminal yang

istimewa?”

”Agaknya kau tak sependapat denganku.” Poirot memandangku dengan iba.

”Kau membuat ringkasan tepat yang hampir selalu ditulis dalam cerita-cerita detektif.”

”Jadi, apa yang ingin kaupesan?”

Poirot memejamkan mata dan bersandar kembali di kursinya. Suara yang keluar dari bibirnya terdengar datar.

”Sebuah kasus kriminal yang amat sederhana. Kejahatan yang tidak rumit. Kejahatan dalam suatu kehidupan rumah tangga yang tenang... tidak meletup-letup amat intime urusan rumah tangga biasa.”

”Bagaimana suatu tindak kejahatan bisa intime?” ”Seandainya,” gumam Poirot, ”empat orang duduk

bermain bridge dan seorang lagi duduk agak terasing di kursi dekat perapian. Pada waktu malam semakin larut, orang yang duduk dekat perapian ditemukan sudah mati. Satu dari keempat orang itu, walau agak

tolol, telah membunuhnya, dan karena asyik dengan permainan di tangan, ketiga orang lainnya tidak memperhatikan hal itu. Nah, itulah kejahatan yang harus kau pecahkan! Siapakah pembunuhnya di antara keempat orang itu?”

”Wah,” kataku. ”Kelihatannya tidak menarik!” Poirot memandangku penuh tuduhan.

”Tidak menarik karena tak disertai pisau belati yang dihunjamkan secara mencurigakan, tak ada surat kaleng, tak ada zamrud yang dicuri yang ternyata mata patung dewa, tidak ada racun dari negeri Timur yang tak berbekas. Kau memiliki jiwa sensasional, Hastings. Kau lebih suka satu seri pembunuhan daripada pembunuhan tunggal.” ”Kuakui,” kataku, ”bahwa dalam buku, pembunuhan kedua sering kali membuka tabir bagi penyelidikan. Apabila pembunuhan terjadi dalam bab satu, dan kau harus mengikuti alibi setiap orang sampai halaman terakhir, kecuali satu orang yah, persoalannya jadi membosankan.”

Telepon berdering dan Poirot bangkit untuk menjawabnya.

”Halo,” katanya. ”Halo. Betul, di sini Hercule Poirot.”

Dia mendengarkan satu atau dua menit, lalu kulihat perubahan di wajahnya.

Jawaban Poirot dalam pembicaraan telepon itu singkat-singkat dan terputus-putus.

”Mais oui...”

”Tentu saja...”

”Baiklah, kami akan datang...”

”Tentu...”

”Mungkin, seperti kata Anda...”

”Baik, saya akan membawanya. A tout a l’heure sampai nanti kalau begitu.”

Dia meletakkan pesawat telepon, lalu menghampiriku.

”Itu tadi Japp yang berbicara, Hastings.” ”Oh ya?”

”Dia baru saja kembali dari Yard. Ada berita dari Andover...”

”Andover?” teriakku, harap-harap cemas.

Poirot berkata perlahan, ”Seorang wanita tua bernama Ascher, yang membuka toko kecil serta menjual tembakau dan surat kabar, ditemukan terbunuh.”

Aku merasa agak kecewa. Perasaan ingin tahu yang tadi menggebu-gebu dalam diriku ketika mendengar kata Andover, tiba-tiba hilang begitu saja. Aku mengharapkan sesuatu yang fantastis yang istimewa! Pembunuhan seorang wanita tua yang membuka toko tembakau kecil terasa agak biadab dan tidak menarik. Poirot melanjutkan ucapannya, perlahan dan suram, ”Polisi Andover yakin mereka pasti dapat menangkap

si pelaku”

Untuk kedua kalinya aku kecewa.

”Agaknya wanita itu mempunyai hubungan yang tidak baik dengan suaminya. Laki-laki itu tukang ma- buk dan memperlakukannya dengan kasar. Suaminya bahkan mengancam akan membunuhnya lebih dari satu kali.”

”Namun demikian,” lanjut Poirot, ”karena kejadian ini, polisi di sana ingin meneliti kembali surat kaleng

yang kuterima. Kukatakan bahwa kau dan aku akan segera pergi ke Andover.”

Semangatku kembali sedikit. Bagaimanapun, semesum-mesumnya kejahatan ini, toh tetap merupakan suatu kejahatan, dan sudah lama sekali aku tak berurusan dengan tindak kejahatan dan para kriminal.

Aku hampir tak mendengar kata-kata Poirot selanjutnya. Namun kata-kata itu nantinya terngiang kembali dalam pikiranku dengan arti yang lebih jelas.

”Ini baru permulaannya,” kata Hercule Poirot.

Terpopuler

Comments

teti kurniawati

teti kurniawati

sudah ditambahkan jadi favorit

2022-12-04

2

ˢᶠ︎ᬊ᭄❀ anon

ˢᶠ︎ᬊ᭄❀ anon

.

2022-08-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!