Dilema

Seruni Dendam Istri Pertama Bagian 12

Oleh Sept

Aku menjerit ketika mas Erwin memulai keributan. Jujur, ini kali pertama aku melihat mas Erwin begitu emosional di depan banyak orang. Dia biasanya sangat tenang, dan hanya bersamaku keluar sifat aslinya. Sebenarnya ini kesempatan bagus untukku, aku bisa minta tolong pada orang lain. Tapi aku juga kasihan pada waiter yang harus mendapat bogem mentah karena menjadi perisaiku.

"Ayo sini!" sentak mas Erwin meraih lenganku. Tapi sempat ditepis oleh waiter karena aku ketakutan. Sehingga terjadilah permukulan.

"Jangan ikut campur!" ujar mas Erwin menatap tajam ke arah pelayan cafe yang tidak tahu apa-apa itu.

"Mbak, apa orang ini menyakitimu?" tanya pria itu yang sepertinya kasihan padaku. Padahal ia habis kena tonjok, tapi malah tidak peduli. Mungkin dia kasihan, karena pasti wajahku sudah pucat pasi.

"Urusi saja urusanmu! Dia istriku!" sentak mas Erwin garang. Aku ingin menjauh, tapi mas Erwin langsung menatikku dengan kasar.

"Mbak ... apa perlu aku telpon polisi?" teriak pemuda itu. Karena aku menatapnya penuh harap. Aku sangat takut kalau sampai di rumah. Mas Erwin pasti menyakiti fisikku lagi. Harapanku adalah orang-orang di sini. Semoga ada yang peduli.

"Kurang ajar!"

BRUAKKK

Mas Erwin marah atas ucapan waiter tersebut, sebelum pergi menarikku lagi, ia menendang kursi dengan kasar. Membuat benda itu jatuh dan membentur meja di sebelahnya.

Hampir pengunjung yang ada langsung menatap kami. Tapi sayang, yang peduli hanya waiter, sisanya hanya diam melihat. Mungkin karena ini urusan rumah tangga, atau memang hati nurani orang-orang mulai meredup dan mati. Tidak bisahkan mereka semua melihatku, bahwa aku sangat ketakutan saat ini.

"Ada apa ini?" tanya seorang pria yang muncul tiba-tiba. Entah dari mana, yang jelas dia langsung menghampiri kami.

"Maaf, Pak. Ada sedikit keributan," ucap waiter itu kemudian menatapku.

Pria berpakaian rapi dengan sepatu sporty itu juga ikut menatapku. Lebih tepatnya dia memperhatikan aku dan mas Erwin.

"Saya Agra, Owner cafe ini."

Mas Erwin hanya menatap sekilas lalu langsung menarikku keluar dengan paksa. Sepertinya dia sengaja menghindari orang-orang dan ingin cepat-cepat membawaku pulang.

"Masuk!" ujarnya marah sembari membuka pintu mobil untukku.

Aku menggeleng keras, kemudian kuhempaskan tangannya.

"Berani kamu Seruni?"

Mata itu melotot tajam ke padaku. Aku yang sudah berhasil lepas, langsung saja lari ke dalam cafe. Apalagi di sana masih ada waiter yang merapikan meja dan juga pria yang mengaku bernama Agra tersebut.

"Runiiii!" teriakan mas Erwin kencang.

Aku langsung menyentuh tangan pemilik cafe. Dengan tatapan memohon agar dia mau menolongku.

"Tolong saya, tolongin saya!" ucapku sambil menyibak lengan dan juga tanpa malu aku membuka sedikit bajuku. Agar orang percaya kalau mas Erwin sudah melakukan kekerasan fisik padaku.

Kulihat pria bernama Agra ini terkejut, kemudian dia merogoh saku celananya. Ku dengar dia langsung menelpon seseorang. Selang beberapa saat dua security datang. Dan aku melihat mas Erwin langsung berbalik pergi. Hatiku sangat lega, mungkin mas Erwin takut di massa. Atau mungkin takut karena yang menolong Kali ini bukan pelayan cafe, tapi seseorang yang mungkin tidak akan mundur saat di gertak.

Ketika mobil mas Erwin sudah pergi, aku benar-benar baru lega. Apalagi pemilik cafe ini memberikan aku minum. Dan dia mulai bertanya banyak hal padaku.

"Dia suamimu?"

Aku mengangguk.

"Korban KDRT?" tanya pria itu tanpa basa-basi. Dan lagi-lagi aku menjawab hanya mengangguk setelah meminum segelas air putih dingin yang diberikan padaku.

"Di mana rumahmu? Akan aku antar ke rumah orang tuamu!" Pria itu kemudian menatapku, mungkin dalam kepalanya aku masih muda. Dan pasti butuh perlindungan orang tua.

Aku langsung menelan ludah, lalu menggeleng pelan. "Terima kasih. Terima kasih sudah membantu. Saya permisi."

Buru-buru aku pergi, tidak mau orang ini ikut campur terlalu dalam. Takut mas Erwin akan membawanya dalam masalah. Tapi aku juga bingung, aku harus ke mana? Aku hanya memegang uang yang tidak seberapa.

"Kau mau pergi ke mana? Maaf jika kau terganggu dengan pertanyaan ku. Tapi aku rasa kau terlihat kebingungan sekarang. Apa kau tidak punya tempat tujuan? Apa tembakan ku betul?"

Aku menatap pria ini sekilas, kemudian menatap sekeliling. Benar, aku memang sedang bingung harus ke mana.

"Apa lukamu sudah diobati? Kulihat memarnya cukup parah. Akan aku antar ke rumah sakit."

"Tidak, Pak! Tidak terima kasih."

"Tidak usah sungkan, panggil Mas Agra. Jangan memikirkan banyak hal. Aku hanya ingin membatu."

Aku diam cukup lama, kemudian karena tidak punya pilihan, akhirnya aku ikut bersama pria ini. Dan aku lihat sepertinya orangnya tulus. Kalau aku taksir, usianya hampir sama seperti mas Erwin. Umurnya mungkin di atas 30 tahun.

Kami akhirnya naik ke sebuah mobil hitam menuju rumah sakit terdekat. Di sana dokter langsung mengobati lukaku. Ku lihat suster yang sedang membawa obat, dia menatapku aneh. Dan saat mas Agra bicara pada dokter di luar, barulah perawan itu bertanya padaku.

"Maaf, Mbk ... maaf kalau lancang. Dari mana luka-luka memar di sekujur tubuh Mbk ini? Maaf, Mbk. Apa di depan itu suami Mbk? Apa dia melakukan kekerasan pada Mbk?"

Mataku tiba-tiba perih, dan aku langsung membuang muka. Mendadak bulir bening keluar tanpa bisa aku bendung.

"Astaga, saya bantu laporkan ke polisi ya, Mbk. Visum sekalian."

Tangisku semakin pecah, suster itu kemudian memelukku.

"Sabar, Mbk. Sabar." Dia menepuk punggungku lembut.

"Padahal wajahnya terlihat kalem dan baik. Kok psikopettt!" desis suster kesal.

"Bukan, Sus. Bukan dia. Dia bukan suami saya. Dia orang yang menolong saya."

Suster mengangguk mengerti, sepertinya dia juga tidak yakin mas Agra pelakunya. Sebab memang wajah mas Agra auranya bagus. Tidak ada rona kejahatan di raut mukanya.

Setelah aku diobati, aku pun boleh pulang. Aku masih menunggu di kamar, mas Agra bilang dia akan menebus resep di apotik. Selama menunggu mas Agra, aku mengamati ruang kamar rumah sakit di mana tadi aku diobati, sampai tidak terasa malah aku melamun.

Lamunanku buyar ketika ponsel yang semula aku letakkan di atas meja berdering. Jelas bukan mas Erwin, karena nomernya sudah aku blokir tadi. Ada nomer baru, langsung aku reject.

Beberapa menit kemudian, ada panggilan masuk. Aku panik karena yang menelpon adalah Bu Fatimah. Hatiku langsung gelisah, langsung saja aku angkat.

"Hallo, Bu."

"Nak, kamu di mana?"

Aku langsung menelan ludah.

"Ada apa, Bu?"

"Nak Erwin bilang kamu kabur dari rumah, apa itu benar?"

Jantungku mulai berdegup kencang. Sebelum aku menjawab, bu Fatimah kembali bicara.

"Bicara baik-baik kalau ada masalah, jangan kabur dari rumah Runi, jangan."

Aku ingin bercerita yang sebenarnya, tapi aku tahan. Sebab donatur terbesar di panti asuhan adalah keluarga mas Erwin. Kalau mas Erwin marah, dan keluarganya mencabut semua donasi, lalu bagaimana nasib adik-adik, bayi-bayi yang tidak berdosa itu?

Sungguh aku seperti berada di persimpangan jalan. Benar-benar pilihan sulit. Mengorbankan diri sendiri, atau mengorbankan banyak nasib anak-anak di panti asuhan? Aku dilema.

***

"Hallo,"

"Di mana?"

"Rumah Setia Budi!"

Tut Tut Tut

Bersambung

Terpopuler

Comments

dyul

dyul

Fix si Erwin sakit jiwa... sadis

2023-08-03

0

anisa

anisa

kasihan seruni, bagai makan buah simalakama nih...

2023-01-23

0

🌼 Pisces Boy's 🦋

🌼 Pisces Boy's 🦋

pikirkan dirimu dlu Seruni baru pikirkan adik2 dipanti pasti ada jalan keluarnya pengorbanan kamu akan sia2 saat ibu panti tau hidupmu tersiksa dengan pernikahan itu

2022-10-25

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!