18

"Kamu ganti baju dengan yang lebih pantas!" Bu Haji Zenal kembali menyuruh Farhan agar mengganti pakaian.

"Kenapa mi?" Farhan merasa heran kenapa harus mengganti baju. Rasanya bajunya tidak apa-apa. Farhan malah memeriksa baju yang sedang dipakainya.

"Di bawah sudah ada keluarga Nisa Farhan. Biar umi pilihkan bajunya!" Bu Haji Zenal langsung membuka lemari memilihkan baju untuk Farhan yang kira-kira pantas menerima tamu.

"Kok jadi malah datang kesini mi?" Farhan terheran.

"Habis kamu susah dibawa ke sana. Jadi ya umi suruh kesini saja. Takut kamu keburu berangkat nanti susah lagi bertemu." Ucap bu Haji Zenal sembari memberikan kemeja bercorak salur dengan motif cerah juga celana katun yang warna moka senada dengan kemejanya.

"Duh umi.. kan Farhan tadi bilang belum siap." Farhan agak kecewa dengan keputusan Ibunya yang sepihak.

"Sudah.. kalau kamu selalu tidak siap. Lalu kapan siapnya? Ayo turun cepat ya! Umi tunggu." Bu haji Zenal langsung keluar dari kamar Farhan.

Sedang dibelakang Sani dan bi Inah saling berbisik mengomentari kedatangan tamu keluarga Nisa.

"Bi Inah.. penasaran calonnya aden Farhan apakah dia cantik?" Sesekali dia melihat ke arah depan. Padahal tamunya tidak terlihat karena terhalang oleh tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga sekaligus ruang makan.

"Ya pasti cantik lah bi. Kan perempuan. He he." Sani tersenyum manis.

"Ah neng Sani.. eh lihat itu mas Farhan cakep pisan!" Bi Inah yang kebetulan orang Sunda bicaranya suka campur-campur.

"MasyaAllah... " Sani menatap Farhan dengan rasa kagum. Matanya tidak dibiarkan mengedip dibiarkan begitu saja untuk mentafakuri ciptaan-Nya. Entah apa yang sedang tumbuh di hati Sani. Lalu dia buru-buru tersadar "Astagfirullah.."

Sani merasa ada dosa yang harus segera dihapus dalam hatinya begitu lintasan hati yang kotor melewati hatinya. Ada rasa ketertarikan di hati Sani melihat penampilan Farhan yang terlihat perfect di malam ini.

Bi Inah melirik Sani aneh, pikirnya "Kenapa Sani mengucap istigfar?" Tapi bi Inah langsung melengos tidak memperdulikan lagi.

"Assalamu'alaikum." Farhan dengan sopan mengucap salam pada semua tamunya lalu dia menyodorkan tangannya untuk menciumi punggung tangan pada pria yang lebih tua tamunya lalu merapatkan tangan di dada sebagai salam bagi para perempuan yang dianggap sebagai non muhrim.

"MashaAllah.. ini Farhan bu Haji?" Jeng Reni menatap kagum pria muda yang akan dikenalkan pada Nisa dengan mata melebar juga wajah yang terlihat berbinar.

Begitu pun Nisa, dia mencuri pandang lalu tersenyum tersipu malu melihat laki-laki yang baru saja menghampiri di ruang tamu. Selain tampan dia pun terlihat sopan.

Farhan lalu duduk berdampingan dengan keluarganya tepatnya di samping pak Haji Zenal.

Wajah Fathan yang putih bersih dengan jambang tipis memenuhi dagu yang menyambung ke area rambut yang dekat telinga terlihat kontras. Dia laki-laki tampan juga terlihat menarik.

"Iya ini Farhan. Baru dua hari ada di Jakarta. Eh.. malah besok harus kembali ke Singapura." Ucap bu Haji Zenal dengan senyum bangga memperkenalkan anaknya pada calon besan.

"Wah.. sudah tampan pinter nyari uang." Puji jeng Reni terlihat semakin kagum pada sosok calon mantunya.

"MashaAllah. Jangan terlalu berlebihan memuji saya. Adakalanya saya juga banyak kekurangan yang mungkin saja membuat Anda kecewa." Farhan tak pantas senang ketika dipuji berlebihan. Dia ingin calon besannya melihat dua sisi bukan hanya kelebihannya saja." Ucap Farhan merendah. Selama dia duduk di depan keluarga Nisa Farhan tidak berani menatap langsung wajah Nisa ataupun jeng Reni. Dia lebih banyak menundukkan pandangannya. Meski dia bekerja di Singapura, Farhan lantas tidak melupakan norma dan etika agama yang selama ini dia pelajari. Dia menjaga batasan mana yang harus dan mana yang tidak boleh menurut apa yang diyakininya benar dari pandangan ajaran agamanya.

"Saya percaya nak Farhan adalah laki-laki baik. Kalaupun ada kekurangan mungkin masih dibawah standar." Ucap jeng Reni pada Farhan.

"Oh iya ngomong-ngomong Nisa lulusan mana ya Sekolahnya?" Ucap bu Haji Zenal supaya terdengar oleh Farhan. Padahal dia sudah mengetahui seluk belum Nisa. Tapi bu Haji Zenal tidak mau terlihat memaksakan kehendaknya, apalagi Farhan anak yang teguh memegang prinsip.

"Nisa baru lulus dari UI, dia mengambil jurusan Ekonomi." Senyum jeng Reni bangga.

"Wah.. Farhan itu jurusan yang bisa nyambung dengan pebisnis ya.. " Ucap bu Haji Zenal sambil menoleh ke arah Farhan. Farhan hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Perasaan Nisa seperti melambung ke atas langit ke tujuh ketika orang tuanya membanggakan akademisnya pada calon besan dan calon suami, itupun kalau jadi.

Dari tadi memang yang ribut saling bertanya dan menjawab adalah para perempuan, sedangkan para lelaki sepertinya belum mengeluarkan sumbangan suaranya.

"Bagaimana bisnis pak Haji Zenal sekarang? Katanya sedang membuka usaha grosir mebel?" Ucap ayahnya Nisa memulai mencairkan obrolan para lelaki.

"Ah.. itu baru mencoba. Soalnya usaha matrial saya sudah ada yang mengelola, kakaknya Farhan. Jadi saya ingin mencoba ke mebel furnitur kalau ada rejekinya ingin dikembangkan oleh Farhan biar kalau dia berhenti bekerja ada usaha yang bisa dikelolanya." Ucap pak Haji Zenal.

"Tapi bah.. saya sedang merintis usaha pengalengan ikan di daerah C bersama teman. Jadi abah jangan terlalu berharap kalau usaha abah nanti Farhan yang mengelola." Farhan baru menceritakan rencana bisnisnya kali ini. Kemarin-kemarin Farhan tidak terlalu terbuka karena hal itu belum dianggapnya serius.

"Iya ga pa-pa. Abah mendukung saja. Tetap saja kita harus punya cadangan." Jawab pak Haji Zenal.

"Eh saking asiknya ngobrol malah saya lupa menyiapkan makanan untuk tamu." Ucap bu Haji Zenal.

"Sebentar ya, saya tinggal ke belakang dulu!" Bu Haji Zenal berdiri lalu pergi ke dapur.

"Bi Inah.. Sani. Tolong siapkan meja makannya ya! Saya mau mengajak mereka untuk makan malam." Ujar bu Haji Zenal.

"Baik bu Haji." Sani dan bi Inah mengangguk.

"Wah jadi penasaran, calonnya den Farhan kaya gimana." Bi Inah terlihat antusias. Tapi berbeda dengan Sani dia hanya diam tak memberikan respon.

Setelah selesai Sani ke depan memberitahu bu Haji Zenal.

"Bu Haji mejanya sudah siap." Sani melihat pada bu Haji tapi ujung kelopak matanya masih jelas menangkap Farhan yang sedang duduk di samping pak Haji Zenal sedang menatap ke arah Sani.

"Mari jeng kita makan dulu!"

"Iya." Mereka berjalan ke ruang makan lalu duduk saling berhadapan.

Aroma masakan mengguar mengisi seluruh ruangan membuat selera makan tergoda.

"Ooo.. Ooo" Nisa membekam mulutnya.

"Toilet sebelah sini!" Tunjuk Sani.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!