2

Sani, gadis cantik dengan bola mata indah duduk menunggu di dalam rumah. Sesekali dia menatap televisi dan kembali membuka laman di handphone nya. Yang dilihatnya bukan situs belanja atau pun situs yang banyak digandrungi anak muda pada keumumannya.

Sani sejak kecil memang bukan tipikel anak manja. Bahkan cenderung mandiri dan pintar. Tak heran sejak bangku awal Sani selalu meraih rangking teratas dan tak pernah sekali pun prestasinya digeser.

Tak sedikit teman-teman juga guru-gurunya yang kagum atas kepintaran Sani yang di atas rata-rata. Tapi dibalik itu semua Sani merasa minder. Tak sedikit pula teman-teman nya menyindir bahkan mencemooh status dirinya yang lahir tanpa ayah. Itu semua sudah jadi rahasia umum.

Untungnya dari sekian banyak teman-temannya yang melirik Sani dengan sebelah mata, ada juga teman Sani yang mau menjadi sahabatnya. Dia Ijal, laki-laki teman kecilnya sewaktu mengaji yang kini satu sekolah di Sekolah menengah atas yang selalu setia menemaninya.

Ijal bukan hanya sekadar teman, tapi sudah menjadi sahabat Sani sejak SD. Entahlah apa itu taqdir atau unsur kesengajaan. Dari SD sampai Sma selalu satu sekolah.

Di sela-sela membaca artikel, terdengar suara notifikasi.

Sani membuka notifikasi, ternyata ijal mengirimkan pesan wa.

"San.. kamu lagi ngapain?"

"Lagi baca wa kamu."

"Gue tau kan gue ngirim wa, bukan ngirim duit. Maksud gue tuh, elu sebelum baca wa gue lu lagi ngapain?"

"Mau dijawab semuanya?"

"Ih elu rese banget, ditanya gitu doang jawabanya gaje."

"Lu juga sama nanya gaje."

"Lah ditanya ko ngajak perang, ya udah lu sebelum baca wa gue paling terakhir lu lagi ngapain?" Sepertinya ijal sudah biasa menanggapi sikap Sani yang cool dan kadang jutek abis.

"Baca artikel."

"Artikel apa?"

"Banyak."

"Iya apa aja?"

"Lu mau nyensus apa mau ujian?"

"Ya elah, nanya aja. Biar gue dapet input."

"Males ngetik."

"Ya udah gue telepon aja!"

"Males ngangkat!"

"Ente... "

Hening tak ada lagi berkirim pesan. Sani kembali membaca artikel dengan serius. Tak peduli dengan percakapan yang terhenti dari sahabatnya.

Lima belas menit kemudian.

"Assalamu'alaikum."

Sani mengerutkan keningnya. Dengan cepat dia lari ke kamarnya membawa kerudung yang biasa dipakai di rumahnya. Suara itu sudah tak asing didengarnya.

"Waalaikumsalam."

Sani membuka pintu, matanya menatap malas.

"Ngapain kamu ke sini malam-malam?" Sani menekuk wajahnya dengan bibir manyun, jutek.

"Gue mau pinjem catatan buat besok. Di kelas gue ada ulangan, jutek... " Ijal tanpa canggung menyebut 'jutek'

"Catatan apa?"

"Matematika."

Sani dengan wajah juteknya masuk ke dalam kamar mencari buku catatan lalu kembali menghampiri Ijal.

"Nih!" Sani menyodorkan buku catatannya pada Ijal.

"He he gue pinjem dulu yah! Besok di sekolah gue kembaliin." Ijal nyengir kuda melihat keinginannya sudah didapat.

"Hhhm." Sani langsung menutup pintu tanpa basa basi lagi.

Ijal yang sudah tahu karakter Sani seperti itu hanya bisa melongo. Menatap pintu yang baru saja ditutup dengan tatapan penuh harap, pintu akan terbuka lagi.

*Hhmm Sani.. elu emang gak peka jadi cewek. Gue bukan hanya pinjem buku, tapi emang gue kangen liat elu.. dasar cewek jutek yang gak peka.

Eh emang ada gitu cewek jutek, peka? hehe*

Ijal tersenyum simpul sendirian. Menertawakan lawakannya sendirian.

Walau hanya bertemu sesaat, hati Ijal begitu senang. Ya mau bagaimana lagi kenyataannya cewek yang dia sukai memang begitu adanya. Tapi sebenarnya Sani adalah cewek yang baik, tidak neko-neko.

Ijal berjalan menjauh, kembali ke rumahnya setelah tujuannya terpenuhi. 'Modus pinjam catatan padahal pinjam rindu.'

Tak lama kemudian pintu rumah Sani digedor. Sani yang masih duduk menunggu di kursi langsung berdiri dan membuka pintu.

"Mbak Ira kenapa bu?" Matanya heran menatap Ira dipapah ibunya.

"Keseleo San." Ira menjawab.

Sani langsung membantu Ira memapahnya ke kursi.

"Sakit mba?" Ira duduk jongkok melihat kaki Ira yang sedang dipegang.

"Hhmm, lumayan." Ira meringis menahan sakit sambil sesekali mengusap bagian kaki yang terasa tidak nyaman. Padahal dengan diusap-usap pun rasa sakitnya tidak bakal menghilang.

Ya, sebenarnya sentuhan hanya memberi tahu pada otak kita, bahwa kita sedang berkomunikasi dengan bahasa tubuh lainnya. Dia sedang mengatakan 'tak apa-apa kamu kuat' semoga kamu yang sakit bisa tahan ya!

"Sani bawakan es ya mbak, buat mengompres yang sakit!" Seketika Sani berjalan ke dapur membuka kulkas dan mengambil beberapa es balok dalam ukuran kecil dan membungkusnya dengan handuk kecil. Dia kembali mendekati Ira dan mengompres bagian kaki yang sakit.

"Ma kasih anak cantik!" Ira mengelus kepala Sani dengan tatapan haru.

Kenapa kamu lahir disini nak! Padahal jika kamu lahir di luar sana nasibmu akan lebih baik.Tidak seperti kita-kita ibumu.

Ira yang melihat ketulusan Sani merawatnya, merasa hatinya terharu. Tanpa dirasa matanya mulai berkaca-kaca.

'Mbak sakit banget ya?" Dari ujung kelopak mata Sani, dia melihat Ira sedih. Dia mengira mungkin mba Ira sedang menahan sakit akibat keseleo.

"Eh iy iya." Ira menjawab tergagap.

Sani.. aku sedih bukan karena sakit keseleo. Tapi aku sakit hati sama nasib kamu sayang.

Sani tersenyum sambil terus mengompres bagian kaki Ira yang terlihat bengkak.

"Wah mbak bengkak." Sani mencemaskan bagian yang terlihat bengkak dan membiru. Mungkin ada bagian urat yang terjepit sehingga menimbulkan warna kebiru-biruan.

"Kenapa parah?" Ibunya Sani keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian rumahan dan menghapus riasan yang tadi digunakannya.

"Iya, kayanya butuh diurut." Ira menjawab dengan sesekali melihat pada kakinya.

"Mbak mau diantar sekarang ke tukang urut?" Sani menanyakan apakah Ira mau pergi ke tukang urut, karena merasa khawatir kalau ditunda-tunda bengkaknya bisa lebih parah.

"Baiknya bagaiman ya?" Ira bingung. Kalau ke tukang urut, dia mesti dipapah. Ira tidak enak hati harus merepotkan.

"Kalau mau, bisa minta tolong Ijal mbak. Bawa motor."

Mendengar kata laki-laki, Mei langsung melotot. Dan Ira menangkap bahasa Isyarat bahwa Mei tidak suka anaknya dekat sama laki-laki.

"Eh.. biar besok saja San. Biar nanti mas Bejo saja yang antar mbak Ira ke tukang urut." Ira segera mengurungkan niatnya untuk segera pergi ke tukang urut, melihat Mei tidak menyetujui ide anaknya.

"Ya sudah. Sani antarkan ke kamar mbak" Sani memapah Ira dengan merangkul tangannya di atas pundaknya.

Suara handphone Mei berbunyi.

"Iya halo." Mei berdiri lalu berjalan ke arah dapur menghindari pembicaraannya di dengar orang lain.

"Siapkan nomor rekeningnya. Sekarang uang yang kau minta akan ditransfer."

Terpopuler

Comments

Najwa Nibras

Najwa Nibras

untung si ijil sabar kl engg habis tu si sani kena tabok wkwkkwkw

2022-12-23

0

atik samabi

atik samabi

sannii... sanni... lagunya bcl 😄😄

2022-11-05

1

Hasnayuliani

Hasnayuliani

Lanjuuutt

2022-10-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!