18

"Kamu harus merubah diri kamu jadi pribadi yang lebih baik, jangan tinggalkan shalat, perbanyak sedekah, puasa dan mengaji Nak Anggi. InsyaAllah kamu akan lebih tenang" sambut Bu Sri.

"Iya Bu aku tau" jawabku mulai menenangkan diriku sendiri.

"Kamu masih ringan Gi gejalanya. Saya sehari sampai tiga kali dibawa suami ke Rumah Sakit" ujar Bu Sri.

"Aku sampai mau bunuh diri, jalan diatas rel kereta api" sambut Bu Eli.

Aku menatap wajah Bu Sri dan Bu Eli bergantian.

"Benarkah Bu?" tanyaku tak percaya.

Dua wanita cantik pada masanya itu tersenyum lembut menatapku.

"Semua karena terlalu memikirkan hidup ini Nak Anggi, lupa kalau ada kehidupan akhirat. Kami mau cepat kaya, tapi gak kesampaian. Suami saya hanya pegawai biasa di sebuah universitas negeri. Gajinya pas - pasan. Saya berpikir bagaimana merubah nasib. Akhirnya saya membuka Restoran yang besar tapi saya tidak pintar mengelolanya. Akhirnya Restoran saya tutup" ungkap Bu Sri.

Aku mendengar cerita mereka sambil mencari hikmah dari semuanya.

"Sekarang Ibu sudah menyadarinya, semua hanya titipan. Sekarang suami Ibu sudah pensiun, anak - anak semua sudah menikah. Saya dan suami kini tinggal di desa tak jauh dari kota ini. Suasananya masih pedesaan. Saya dan suami berkebun. Tidak apa kulit saya kini lebih hitam tapi saya sehat. Saya makan - makanan yang sehat hasil dari kebun dan hubungan dengan para tetangga sangat rukun sekali. Terkadang kami sering bertukar hasil panen. Hidup disana lebih tenang Nak Anggi, jauh dari kebisingan kota. Sesekali saja saya dan suami ke kota kalau kangen sama anak - anak dan cucu - cucu" sambung Bu Suci.

"Ibu juga gak jauh beda Nak Anggi. Ibu kecewa pada hidup. Ibu bersaudara delapan orang. Diantara semua saudara Ibu, Ibu yang paling kurang beruntung. Sedari kecil Ibu sering mendapatkan perbedaa perhatian orang - orang sekitar Ibu. Di Rumah Ibu merasa Bapak Ibu tidak menyayangi Ibu. Dulu keluarga Ibu,keluarga yang susah. Ibu adalah juara kelas tapi saat sekolah teman - teman sangat pelit berbagi buku pelajaran. Orang tua Ibu tidak sanggup membelinya karena anak - anaknya banyak, semua butuh sekolah. Rasanya sangat sulit sekali mau belajar pada saat itu. Saat di dunia kerja, Ibu sang juara kelas hanya bekerja sebagai admin di sebuah perusahaan kecil. Lalu Ibu menikah dengan suami. Awal menikah hidup kami sangat mapan tiba - tiba perusahaan kontraktor tempat suami Ibu bekerja gulung tikar. Suami Ibu di PHK dan kehidupan kami sejak saat itu mulai susah. Saudara - saudara Ibu semua berhasil dan jadi orang sukses. Mereka sering memberikan bantuan kepada keluarga Ibu. Tapi Ibu tetap iri dengan hidup mereka. Mengapa Ibu sang juara kelas hidup lebih susah. Setiap mereka membukakan usaha untuk Ibu selalu gagal. Ibu putus asa dan marah pada hidup ini dan ingin menghabisi nyawa Ibu. Tiba - tiba saja Ibu sadar ada anak - anak yang masih membutuhkan Ibu. Saat Ibu masih dalam masa pengobatan anak - anak disekolahkan oleh saudara - saudara Ibu. Alhamdulillah si sulung kini sudah jadi PNS dan si Bungsu membuka usaha kecil - kecilan dirumah bersama Ibu. Sekarang kehidupan kami mulai normal walau sederhana. Ibu menyadari bahwa dalam hidup ini tak semua yang kita inginkan akan tercapai" ungkap Bu Eli.

Aku kembali menangis mendengar cerita Bu Eli, karena kisahku juga hampir sama dengan beliau.

Aku sang juara kelas hanya bekerja sebagai admin perusahaan asuransi. Sedangkan teman - temanku yang dulu sering menyontek padaku di bangku sekolah kini menjadi orang besar.

Aku sering merasa malu bertemu teman - temanku setiap kali aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku merasa minder mereka kini sudah mempunyai rumah besar, mobil mahal dan pakaian mereka juga bagus - bagus.

Setiap aku melihat status mereka di jejaring sosial mereka selalu jalan - jalan ke luar kota bahkan luar negeri. Mereka sering makan - makanan mahal di tempat yang mewah.

Mereka terlihat sangat bahagia sedangkan aku bukanlah siapa - siapa. Aku hanya mampu beli rumah subsidi itupun masih dalam proses.

Tapi itu tidak begitu menggangguku karena aku tinggal disini jauh dari teman - temanku. Di sini kota besar, sangat jarang ketepatan bertemu dengan orang yang kita kenal.

Membuat aku lebih percaya diri karena kehidupan orang kota tidak suka ikut campur dengan hidup orang lain. Aku bisa jadi diri sendiri bekerja dengan segala keahlianku.

"Kamu harus kuat Anggi. Allah tidak akan memberikan kita cobaan jika kita tidak sanggup untuk memikulnya. Pasti ada hikmah dibalik semua ini. Mungkin saat ini terasa sangat berat bagi kamu. Tapi setelah semua bisa teratasi kamu akan tau apa maksud Allah memberikan cobaan seperti ini" pesan Pak Joko.

"Kamu kan sudah dengar juga kisah hidup Bapak Anggi. Kamu lebih beruntung dari kami semua. Kamu masih muda, penyakit kamu juga bukan karena obsesi dunia" ujar Pak Pramono.

"Tidak Pak, aku juga sama dengan kalian. Aku sama dengan Bu Eli, sama dengan Bu Sri. Saya juga pernah kecewa pada hidup. Baper dengan keadaan hidup saya yang kurang beruntung dibanding saudara - saudara saya dan juga teman - teman" ungkapku sambil menangis.

"Tapi kamu masih punya suami yang selalu ada di sini kamu, tempat kamu bersandar dan mengadu. Bapak lihat dia selalu menemani kamu kemanapun untuk berobat, agar kamu sembuh Anggi" ujar Pak Pramono.

Aku mengangguk dan tak henti bersyukur dalam hati.

"Iya Pak.. Alhamdulillah.. aku punya suami yang selalu setia menemaniku kemanapun aku ingin pergi untuk berobat. Dia selalu mendukung usahaku apapun itu untuk membuat aku lebih bersemangat dan kuat" jawabku.

"Syukuri itu Nak Anggi.. jangan lupa bersyukur dengan apapun yang kamu raih dan capai. Karena dengan bersyukur itu akan membuat otak kita sadar bahwa apa yang kita dapatkan lebih baik dibanding orang - orang yang jauh lebih kurang beruntung dari kita. Jangan lihat ke atas tapi lihat kebawah kita Nak Anggi. Masih banyak orang - orang yang tidak beruntung dibanding kita. Kita harus banyak bersyukur" pesan Bu Sri.

"Iya Bu.. Alhamdulillah.. Alhamdulillah ya Allah.. Maafkan hambaMU ini yang tidak tau diri dan tidak tau berterimakasih" ucapku menangis sesegukan sambil menutup wajahku dengan dua tanganku.

"Menangislah jika itu bisa membuat kamu merasa lebih plong, lebih lega. Menangislah.. karena menangis bisa melembutkan hati" sambut Bu Eli.

"Terimakasih Pak... Terimakasih Bu... kalian sangat baik sekali kepadaku. Terimakasih kalian sudah mengingatkanku akan rasa syukur dan juga kematian. Aku beruntung bisa bertemu dan mengenal kalian" ucapku masih menangis.

"Disini kita adalah keluarga, kita saling dukung dan menguatkan. Jangan sungkan kalau kamu masih ingin bercerita silahkan" sambut Pak Pramono.

"Sudah Pak, untuk saat ini sudah cukup. Aku sudah banyak mendapat pelajaran hidup dari kalian hari ini. Hanya Allah yang bisa membalasnya" jawabku.

.

.

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

iya...aku juga tidak jauh seperti cerita ini.ada rasa takut,minder bila ketemu temen(padahal dulu pas masih gadis pede2 aja) dan merasa bosan kehidupan kok dari muda ampe hampir kepal 4 gini2 aja.tapi setelah dapat circle yg serupa alhamdulillah udah mendingan

2022-10-06

1

Sry Rahayu

Sry Rahayu

syukur dan ikhlas obat utama... walau jujur emang susah melakukannya...

2022-07-14

1

Rusi Herowati

Rusi Herowati

😭😭😭😭 gak kuat bacanya....

Semangat mbak anggi 💪🏻💪🏻

2022-06-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!