Our Love Story
Sukabumi, tahun 2020
"Abahhhhh (Ayah)," teriak Nena sambil berlari dengan wajah berseri. "Nena, ulah lulumpatan maneh (jangan lari-larian, kamu)," ujar tetangga Nena.
"Sabar, loba istighfar (banyak istighfar)," ujar tetangga yang lain.
Nena menghentikan langkahnya, "Keur bungah atuh (Lagi senang dong)," sahut Nena, "malah diminta istighfar." Nena merasa bahagia karena baru saja menerima surat kelulusan, artinya ia bisa memilih kampus manapun yang ia suka untuk melanjutkan pendidikan sesuai impiannya selama Abahnya sanggup untuk membiayai.
Berbelok menuju rumahnya, Nena terkejut karena rumahnya tampak ramai. Banyak para tetangga, yang duduk dan beberapa orang terlihat sibuk. "Nena," panggil Ceu Ila, istri dari Kang soleh ketua RT tempatnya tinggal.
"Ini ada apa? Kenapa rumah aku ramai, Abah mana?" Seketika jantungnya berdegup kencang melihat salah satu orang membawa bendera kuning dan memasangnya dipagar rumahnya. "Abah mana ceu?"
"Maneh sabar nyah, Abah tos pupus (Kamu yang sabar, Ayah sudah meninggal),” ucap Ceu Ila sambil mengusap air matanya dan memeluk Nena.
"Enggak mungkin, Abah mau antar aku pilih kampus yang aku mau, ini aku sudah bawa surat kelulusan ceu." Nena menunjukan amplop yang ia bawa, air matanya sudah tidak dapat dibendung namun hatinya menolak dengan apa yang ia lihat dan ia dengar.
"Sabar Nena," ceu Ela memeluk Nena. Hidup hanya berdua dengan Abahnya, setelah kematian Ibunya karena sakit. Kini ia harus menjalani kehidupannya seorang diri. Nena sebenarnya memiliki seorang kakak, namun entah ada di mana. Mereka tidak berkomunikasi sejak Nena masih duduk di SMP.
“Abah,” panggil Nena saat masuk ke rumah, terlihat fisik Abahnya yang terbujur kaku tertutup kain jarik. Terlihat beberapa orang sedang membaca ayat-ayat suci, Nena duduk disamping tubuh itu. Tubuh yang tadi pagi masih mengantarkannya sampai pagar dan mendoakan hasil kelulusan dengan nilai terbaik. Tubuh yang masih menjulurkan tangan kanannya untuk ia cium. Tubuh yang telapaknya masih sempat mengusap puncak kepala Nena. Tubuh yang menampilkan wajah tersenyum karena putrinya sangat antusias menunggu informasi kelulusan sekolahnya.
Nena menangis dalam pelukan Ceu Ila saat Kang Soleh membuka penutup wajah jenazah agar Nena menatap wajah Abahnya untuk terakhir kali.
Setelah pemakaman Abahnya, berhari-hari Nena terlihat murung, ia hanya diam di kamar sesekali keluar untuk sekedar membersihkan rumahnya. Memilih tidak banyak melakukan aktifitas karena setiap sudut rumahnya memiliki kenangan tersendiri dengan Abahnya.
Lewat seminggu, Nena yang masih mengurung diri di kamar dikejutkan dengan kedatangan seorang pria. "Cari siapa?" tanya Nena saat membukakan pintu.
"Kamu."
Nena mengerutkan dahinya, pria itu mendecak. "Aku Malik," ucapnya. Nena membulatkan kedua matanya, "Bang Malik? Beneran Bang Malik?"
Pria itu hanya mengangguk, Nena memindai Malik dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Bang Malik, Abah Bang," jerit Nena sambil menangis lalu memeluk Malik. Malik mengusap puncak kepala Nena. Mereka kini berada di dalam ruang keluarga. Duduk bersisian di sofa yang sudah terliat usang, "Aku akan bawa kamu ke Jakarta,” ujar Malik memecah kediaman antara keduanya.
Nena menoleh pada Malik, “Jakarta?” Malik mengangguk. Jakarta untuk Nena adalah tempat yang asing. Walaupun saat sekolah sebagian teman-temannya selalu berangan untuk pergi ke sana. Entah hanya ingin tau, plesiran, menuntut ilmu bahkan mencari peruntungan. Sebagian besar pemuda di desa tempat Nena tinggal mendewakan Jakarta sebagai tempat yang akan memberikan materi dan kemewahan.
Entah dari sisi mana mereka melihat itu, mungkin hanya gambaran yang terlihat pada sinetron yang banyak ditonton atau bualan para pekerja ketika pulang kampung. Karena pada dasarnya dimana pun kita berada jika tidak memiliki kompetensi akan sulit mendapatkan pekerjaan, hanya berpindah status pengangguran.
“Tidak ada kerabat lain di sini, aku juga tidak bisa menjanjikan hidupmu akan lebih baik atau nyaman di sana. Tapi paling tidak aku bisa mengawasi secara langsung.”
Nena terdiam, dalam asanya ia masih berharap bahwa ia akan melanjutkan pendidikannya sesuai yang Abah sanggupi. “Kamu sudah lulus?” Nena mengangguk. “Dengan ijazah SMA, paling tidak enggak susah-susah amat cari kerja,” ucap Malik.
“Hah, kerja?” batin Nena. Dalam hati ia ingin bertanya, apa tidak mungkin aku untuk melanjutkan pendidikan. Apa Bang Malik tidak sanggup membiayai kuliah ku. Namun lindahnya kelu, tidak sanggup mengucapkan. Untuk hidupnya saat ini, bisa makan dengan baik saja sudah cukup.
“Kalau aku enggak mau,” sahut Nena. Malik menoleh pada Nena yang menunduk, sepertinya gadis itu kembali bersedih. “Aku tidak akan kemari kalau masih ada yang bertanggung jawab terhadap hidup kamu.”
“Aku bisa cari kerja, tanpa harus ke Jakarta.”
“Mau tinggal di mana? Kamu pikir ini rumah Abah.” Nena menatap Malik. “Rumah ini sudah dijual saat Ibu sakit-sakitan dulu, setelah itu pemiliknya membiarkan kalian tinggal disini karena Abah membayar sewa.”
.
.
.
Nena sudah menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa ke Jakarta. Sisa barang-barangnya ada yang dibuang, yang terlihat masih bisa digunakan ia berikan pada tetangganya. Setelah berpamitan dengan para tetangga yang sudah cukup dekat, Nena dan Malik meninggalkan desa yang memiliki banyak kenangan bagi Nena. Ia sempat menengok ke belakang menatap gambaran rumah penuh kenangan.
Berada dalam bus yang membawanya entah kemana, yang jelas ia hanya mengikuti Malik sang kakak. Mengenakan celana jeans biru dan kaus tangan panjang putih serta menggunakan flat shoes dengan ransel dan satu buah koper besar. Selama perjalanan Nena tidak bisa memejamkan matanya, bukan karena exited ia akan menuju Jakarta dengan sejuta pesonanya. Namun lebih karena bingung, Apa yang akan ia lakukan di sana? Bagaimana jika ia tidak betah tinggal di Jakarta?
Lewat beberapa jam, bus yang meraka tumpangi sudah berhenti di sebuah terminal. Nena mengikuti Malik yang mengarahkannya untuk turun. Berpindah menaiki Bajaj, melewati daerah yang semakin padat. Pinggir kali, bahkan kiri kanan rumah terlihat sangat rapat. Nena tidak melihat pepohonan asri yang biasa ia lihat di tempat tinggalnya dulu.
Turun di sebuah gang, berjalan kaki menyusuri gang tersebut. Lalu muncul di sebuah jalan yang lebih lebar di bandingkan gang yang barusan ia lewati. “Woy, loe bawa siape nih?” tanya seorang lelaki tua saat Malik dan Nena melewati rumahnya.
“Ade,” jawab Malik cuek dan tetap berjalan, sedangkan Nena sedikit mengangguk dan tersenyum karena laki-laki tersebut memandang lekat pada Nena.
Ternyata itu bukan satu-satunya pertanyaan, karena berikutnya pertanyaan itu kembali di ulang oleh orang yang berbeda. Bahkan ada yang terang-terangnya memuji Nena cantik atau ingin menjadikannya menantu. Malik hanya diam tidak menanggapi, sedangkan Nena hanya tersenyum. Malik berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar besi yang terlihat karatan, memasukan tangannya pada lubang kunci dan menggeser pengaitnya lalu membuka pagar tersebut. Dengan halaman yang tidak luas malah cenderung sempit, Nena melangkahkan kakinya di sana.
Nena sempat menghela nafas saat pintu rumah itu dibuka, meja tamu yang terlihat sudah tidak layak, puntung rokok beserta bungkusnya yang berserakan, juga botol air dan kaleng entah minuman apa. “Ini kamar loe,” ujar Malik menunjuk sebuah pintu, “kamar gue yang itu. Kamar mandi di belakang, loe boleh istirahat, gue beli makan dulu.”
Nena mendorong pintu yang disebut kamar untuknya oleh Malik, pemandangan yang sungguh menyayat hati dan menyedihkan.
_______
Hai, ketemu lagi di karya aku yang baru, murni boleh ngehalu. Jangan lupa jejaks yesss. Like, vote, komen dan favorit
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Fajar Ayu Kurniawati
.
2024-01-24
0
Becky D'lafonte
aku mampir thor
2023-10-04
0
zeefany
mampir......
2023-01-22
1