Maunya Ngapain?

“Dia bukan anak-anak, umurnya sudah lebih dari dua puluh tahun. Aku harap kalian tidak akan mencari tau lebih jauh tentang gadis ini,” ujar Janu, kalimat yang penuh penekanan seakan menjadi sebuah ancaman pada kedua orangtuanya.

"Janu, dia lebih pantas jadi adik kamu," ujar Halimah. 

"Apa aku mengatakan ada hubungan dengan gadis itu atau ingin menikahinya? Mamih jangan berfikir terlalu jauh,” jawab Janu

"Papih tidak akan ikut campur, tapi sebaiknya kamu cepat cari pengganti Arina. Jangan sampai mantan istri kamu itu berfikir kamu tidak bisa move on dari dia dan jangan permainkan gadis muda itu, apalagi sampai menghancurkannya," tutur Radja. 

Janu yang bersandar pada sofa, jari tangan kanannya mengetuk pegangan sofa. "Sepagi ini aku harus ke sini untuk bahas kehidupan cinta aku?" tanya Janu menatap bergantian pada kedua orangtuanya. “Aku bukan anak kecil yang sedang merasakan cinta monyet, masih banyak persoalan yang perlu Papih dan Mamih pikirkan dari pada masalah ini.” 

"Oke, stop bahas tentang kamu. Mamih ingin tau pencairan orang yang menolong Mamih, apa sudah ada kabar baik?" Janu menyerahkan pada mamihnya amplop coklat bertali yang ia bawa dan sudah Dio simpan di meja kerjanya saat ia ke luar kota. 

"Penelusuran ke alamat terakhir, keluarga itu benar ada di Sukabumi. Namun pendonor Mamih meninggal kurang lebih tiga tahun setelah kepindahannya ke Sukabumi," ungkap Janu refleks membuat Halimah menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Ya ampun, Papih, wanita itu meninggal," ucap Halimah muai menangis. 

Radja merangkul Halimah dan menenangkannya. "Meninggal karena terlalu lelah bekerja, padahal kondisi tubuhnya belum bisa beraktifitas normal akhirnya menjadi penyakit serius. Kedua anaknya sekarang ada di Jakarta, karena Ayah mereka juga meninggal, dua tahun lalu. Itu ada beberapa foto saat keluarga tersebut masih tinggal di Sukabumi."

Halimah segera membuka amplop coklat itu dan mengeluarkan isinya. Radja mengelus punggung Halimah karena wanita itu terisak sambil memandangi satu persatu lembar foto ditangannya.

"Layla, gadis ini bernama Layla. Dia cantik sekali, tumbuh tanpa kasih seorang Ibu. Papih, Mamih harus bertemu Layla. Aku harus menggantikan kasih sayang seorang Ibu yang tidak ia dapatkan selama ini. Janu bantu Mamih, cari gadis itu. Mereka ada di Jakarta sudah dekat dengan kita,” rengek Halimah.

“Tenanglah, kita serahkan pada Janu untuk menemukannya. Kamu harus ingat kesehatan kamu sendiri jangan merasa tertekan atau bersalah terkait hal ini. Bukan salah kamu kalau mereka malah pergi setelah operasi dan bukan karena kamu jika wanita itu akhirnya meninggal,” ungkap Radja menenangkan Halimah.

“Aku masih minta Dio mengurus hal ini, dia juga sudah kembali Jakarta. Kalian tunggu kabar dariku,” terang Janu lalu berdiri. “Aku pulang,” ucapnya.

“Kamu tidak ke kantor?” tanya Radja. Janu menggelengkan kepalanya, “Harusnya hari ini aku baru kembali ke Jakarta.”

“Sejak kapan kamu terlihat santai begini, biasanya selalu sibuk,” ujar Radja sambil menatap anaknya.  

.

.

.

Nena baru saja selesai membersihkan lantai apartement Janu saat pria itu datang. Menatap Nena yang sedang asyik mengerjakan tugasnya tanpa rasa tidak nyaman atau takut  bahwa dia berada di apartemen seorang pria. “Buatkan aku kopi,” titah Janu pada Nena lalu duduk pada sofa. Ia memijat dahinya pelan, bingung dengan hati dan pikirannya.

Saat di depan kedua orangtuanya ia dengan tegas mengatakan tidak ada hubungan dengan Nena yang ada pada foto candid semalam, namun saat melihat dan bertemu langsung dengan gadis ini ada rasa dihati Janu yang tidak bisa dijelaskan. Ia bahkan bergegas ingin kembali ke Jakarta hanya untuk mengerjai gadis ini, menyuruh orang untuk mengikuti dan mengawasi aktifitas Nena seakan memerlukan CCTV yang dapat merekam apa yang Nena lakukan.

Namun saat ini, ingin rasanya Janu menyeret dan mengurung gadis ini di kamarnya. Untuk apa ?

Damn it, what happen with me?

Nena meletakan secangkir kopi pada meja dihadapan Janu lalu duduk disebelah pria itu. “Aku pikir Om Janu sudah berangkat, waktu bilang akan ada yang jemput aku di telpon. Padahal ngapain juga harus dijemput, berasa jadi ART executive,” ujar Nena sambil terbahak.

Janu menoleh pada Nena, sambil mengernyitkan dahinya. Jangan tertawa, kamu buat aku tambah ... Aaahhhhh.

Janu segera menyesap kopinya untuk menghilangkan bayang-bayang dan pikiran jahat yang terus berseliweran di otaknya.

“Kamu kalau libur biasanya ngapain?” tanya Janu tanpa menatap Nena. “Hmm, lebih sering tidur, mau kemana-mana ya harus lihat isi dompet dong. Sesekali biasanya pergi sama Tata, untuk nonton atau makan enak.”

“Makan enak?”

Nena tersenyum mendengar pertanyaan Janu. “Jadi, aku sama teman-teman aku kalau lagi kerja dan waktu makan biasanya kita cari menu paketan, sudah jelas dong rasa, porsi dan kemasannya macam mana kalau harga paket. Kalau istilah makan enak itu, bukan harga paket tapi price per dish. Maklum namanya juga orang kampung, numpang hidup di kota jadi harus hemat,” ujar Nena.

“Kampung kamu di mana?”

“Sukabumi.”

Janu hanya mengangguk mendengar penjelasan Nena. “Makanya waktu Om Janu traktir kita makan, teman aku happy semua deh, malah ketagihan suka nanyain lagi.”

“Aku lapar, kamu bisa masak ‘kan?”

“Hmm, bisa kalau makanan rumahan biasa, tapi kalau ...”

Janu beranjak dari duduknya, “Kalau sudah matang, panggil aku,” ujarnya meninggalkan Nena dan naik ke lantai dua. “Ishh, dasar. Memang Om Janu enggak jelas, merintah orang semaunya aja.”

Nena membuka lemari es mengambil bahan makanan yang bisa ia masak dengan cepat. Berkutat dengan beberapa jenis sayuran, ayam dan memasak nasi pada magic com. Hampir satu jam, masakannya pun matang.

Om Janu, makanannya sudah siap.

Pesan pun terkirim. Tidak lama Janu turun, menatap meja makan yang sudah terhidang makanan. Sepiring nasi putih hangat, ayam kecap serta capcay sayuran, masih terlihat asap dari hidangan tersebut. Nena meletakan segelas air tidak jauh dari piring Nasi Janu.

“Di makan Om, jangan diliatin terus, atau mau ikut-ikutan kayak anak-anak alay. Mau makan bukannya berdoa malah difoto dan di up ke medsos,” ujar Nena dari dapur sambil terkikik sedangkan Janu berdecak karena ejekan Nena.

Nena tidak tau apakah Janu menyukai makanan yang ia masak atau tidak, karena Janu tidak mengatakan apapun saat makan atau setelahnya, kini pria itu sedang berada di balkon dengan sebatang rokoknya. Nena mencuci semua peralatan makan, setelah ini akan pulang karena list tugas yang Janu berikan sudah ia kerjakan semua.

Sedang membilas piring yang sudah ia sabuni namun tiba-tiba tubuhnya meremang. Janu, pria itu sudah berada di belakang tubuh Nena, kedua tangannya berada di sisi kiri dan kanan tubuh Nena menopang pada Wastafel. Janu mengukung tubuh Nena dari belakang, hembusan nafas pria itu terasa di leher Nena, apalagi saat ini Nena mencepol rambutnya hingga memperlihatkan leher jenjangnya.

“Om Janu, ngapain sih?” tanya Nena karena tidak nyaman dengan posisinya saat ini, jantungnya berdetak lebih kencang dan merasa akan ada kelanjutan yang tidak baik setelah ini.

“Kamu, maunya ngapain?” 

Terpopuler

Comments

Hearty 💕💕💕

Hearty 💕💕💕

Mau pulang aja

2023-08-01

0

khalisa

khalisa

awas janu beraksi

2022-05-13

1

Reyhan Dwi

Reyhan Dwi

jatuh cinta si janu

2022-05-13

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!