Sukabumi, tahun 2020
"Abahhhhh (Ayah)," teriak Nena sambil berlari dengan wajah berseri. "Nena, ulah lulumpatan maneh (jangan lari-larian, kamu)," ujar tetangga Nena.
"Sabar, loba istighfar (banyak istighfar)," ujar tetangga yang lain.
Nena menghentikan langkahnya, "Keur bungah atuh (Lagi senang dong)," sahut Nena, "malah diminta istighfar." Nena merasa bahagia karena baru saja menerima surat kelulusan, artinya ia bisa memilih kampus manapun yang ia suka untuk melanjutkan pendidikan sesuai impiannya selama Abahnya sanggup untuk membiayai.
Berbelok menuju rumahnya, Nena terkejut karena rumahnya tampak ramai. Banyak para tetangga, yang duduk dan beberapa orang terlihat sibuk. "Nena," panggil Ceu Ila, istri dari Kang soleh ketua RT tempatnya tinggal.
"Ini ada apa? Kenapa rumah aku ramai, Abah mana?" Seketika jantungnya berdegup kencang melihat salah satu orang membawa bendera kuning dan memasangnya dipagar rumahnya. "Abah mana ceu?"
"Maneh sabar nyah, Abah tos pupus (Kamu yang sabar, Ayah sudah meninggal),” ucap Ceu Ila sambil mengusap air matanya dan memeluk Nena.
"Enggak mungkin, Abah mau antar aku pilih kampus yang aku mau, ini aku sudah bawa surat kelulusan ceu." Nena menunjukan amplop yang ia bawa, air matanya sudah tidak dapat dibendung namun hatinya menolak dengan apa yang ia lihat dan ia dengar.
"Sabar Nena," ceu Ela memeluk Nena. Hidup hanya berdua dengan Abahnya, setelah kematian Ibunya karena sakit. Kini ia harus menjalani kehidupannya seorang diri. Nena sebenarnya memiliki seorang kakak, namun entah ada di mana. Mereka tidak berkomunikasi sejak Nena masih duduk di SMP.
“Abah,” panggil Nena saat masuk ke rumah, terlihat fisik Abahnya yang terbujur kaku tertutup kain jarik. Terlihat beberapa orang sedang membaca ayat-ayat suci, Nena duduk disamping tubuh itu. Tubuh yang tadi pagi masih mengantarkannya sampai pagar dan mendoakan hasil kelulusan dengan nilai terbaik. Tubuh yang masih menjulurkan tangan kanannya untuk ia cium. Tubuh yang telapaknya masih sempat mengusap puncak kepala Nena. Tubuh yang menampilkan wajah tersenyum karena putrinya sangat antusias menunggu informasi kelulusan sekolahnya.
Nena menangis dalam pelukan Ceu Ila saat Kang Soleh membuka penutup wajah jenazah agar Nena menatap wajah Abahnya untuk terakhir kali.
Setelah pemakaman Abahnya, berhari-hari Nena terlihat murung, ia hanya diam di kamar sesekali keluar untuk sekedar membersihkan rumahnya. Memilih tidak banyak melakukan aktifitas karena setiap sudut rumahnya memiliki kenangan tersendiri dengan Abahnya.
Lewat seminggu, Nena yang masih mengurung diri di kamar dikejutkan dengan kedatangan seorang pria. "Cari siapa?" tanya Nena saat membukakan pintu.
"Kamu."
Nena mengerutkan dahinya, pria itu mendecak. "Aku Malik," ucapnya. Nena membulatkan kedua matanya, "Bang Malik? Beneran Bang Malik?"
Pria itu hanya mengangguk, Nena memindai Malik dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Bang Malik, Abah Bang," jerit Nena sambil menangis lalu memeluk Malik. Malik mengusap puncak kepala Nena. Mereka kini berada di dalam ruang keluarga. Duduk bersisian di sofa yang sudah terliat usang, "Aku akan bawa kamu ke Jakarta,” ujar Malik memecah kediaman antara keduanya.
Nena menoleh pada Malik, “Jakarta?” Malik mengangguk. Jakarta untuk Nena adalah tempat yang asing. Walaupun saat sekolah sebagian teman-temannya selalu berangan untuk pergi ke sana. Entah hanya ingin tau, plesiran, menuntut ilmu bahkan mencari peruntungan. Sebagian besar pemuda di desa tempat Nena tinggal mendewakan Jakarta sebagai tempat yang akan memberikan materi dan kemewahan.
Entah dari sisi mana mereka melihat itu, mungkin hanya gambaran yang terlihat pada sinetron yang banyak ditonton atau bualan para pekerja ketika pulang kampung. Karena pada dasarnya dimana pun kita berada jika tidak memiliki kompetensi akan sulit mendapatkan pekerjaan, hanya berpindah status pengangguran.
“Tidak ada kerabat lain di sini, aku juga tidak bisa menjanjikan hidupmu akan lebih baik atau nyaman di sana. Tapi paling tidak aku bisa mengawasi secara langsung.”
Nena terdiam, dalam asanya ia masih berharap bahwa ia akan melanjutkan pendidikannya sesuai yang Abah sanggupi. “Kamu sudah lulus?” Nena mengangguk. “Dengan ijazah SMA, paling tidak enggak susah-susah amat cari kerja,” ucap Malik.
“Hah, kerja?” batin Nena. Dalam hati ia ingin bertanya, apa tidak mungkin aku untuk melanjutkan pendidikan. Apa Bang Malik tidak sanggup membiayai kuliah ku. Namun lindahnya kelu, tidak sanggup mengucapkan. Untuk hidupnya saat ini, bisa makan dengan baik saja sudah cukup.
“Kalau aku enggak mau,” sahut Nena. Malik menoleh pada Nena yang menunduk, sepertinya gadis itu kembali bersedih. “Aku tidak akan kemari kalau masih ada yang bertanggung jawab terhadap hidup kamu.”
“Aku bisa cari kerja, tanpa harus ke Jakarta.”
“Mau tinggal di mana? Kamu pikir ini rumah Abah.” Nena menatap Malik. “Rumah ini sudah dijual saat Ibu sakit-sakitan dulu, setelah itu pemiliknya membiarkan kalian tinggal disini karena Abah membayar sewa.”
.
.
.
Nena sudah menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa ke Jakarta. Sisa barang-barangnya ada yang dibuang, yang terlihat masih bisa digunakan ia berikan pada tetangganya. Setelah berpamitan dengan para tetangga yang sudah cukup dekat, Nena dan Malik meninggalkan desa yang memiliki banyak kenangan bagi Nena. Ia sempat menengok ke belakang menatap gambaran rumah penuh kenangan.
Berada dalam bus yang membawanya entah kemana, yang jelas ia hanya mengikuti Malik sang kakak. Mengenakan celana jeans biru dan kaus tangan panjang putih serta menggunakan flat shoes dengan ransel dan satu buah koper besar. Selama perjalanan Nena tidak bisa memejamkan matanya, bukan karena exited ia akan menuju Jakarta dengan sejuta pesonanya. Namun lebih karena bingung, Apa yang akan ia lakukan di sana? Bagaimana jika ia tidak betah tinggal di Jakarta?
Lewat beberapa jam, bus yang meraka tumpangi sudah berhenti di sebuah terminal. Nena mengikuti Malik yang mengarahkannya untuk turun. Berpindah menaiki Bajaj, melewati daerah yang semakin padat. Pinggir kali, bahkan kiri kanan rumah terlihat sangat rapat. Nena tidak melihat pepohonan asri yang biasa ia lihat di tempat tinggalnya dulu.
Turun di sebuah gang, berjalan kaki menyusuri gang tersebut. Lalu muncul di sebuah jalan yang lebih lebar di bandingkan gang yang barusan ia lewati. “Woy, loe bawa siape nih?” tanya seorang lelaki tua saat Malik dan Nena melewati rumahnya.
“Ade,” jawab Malik cuek dan tetap berjalan, sedangkan Nena sedikit mengangguk dan tersenyum karena laki-laki tersebut memandang lekat pada Nena.
Ternyata itu bukan satu-satunya pertanyaan, karena berikutnya pertanyaan itu kembali di ulang oleh orang yang berbeda. Bahkan ada yang terang-terangnya memuji Nena cantik atau ingin menjadikannya menantu. Malik hanya diam tidak menanggapi, sedangkan Nena hanya tersenyum. Malik berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar besi yang terlihat karatan, memasukan tangannya pada lubang kunci dan menggeser pengaitnya lalu membuka pagar tersebut. Dengan halaman yang tidak luas malah cenderung sempit, Nena melangkahkan kakinya di sana.
Nena sempat menghela nafas saat pintu rumah itu dibuka, meja tamu yang terlihat sudah tidak layak, puntung rokok beserta bungkusnya yang berserakan, juga botol air dan kaleng entah minuman apa. “Ini kamar loe,” ujar Malik menunjuk sebuah pintu, “kamar gue yang itu. Kamar mandi di belakang, loe boleh istirahat, gue beli makan dulu.”
Nena mendorong pintu yang disebut kamar untuknya oleh Malik, pemandangan yang sungguh menyayat hati dan menyedihkan.
_______
Hai, ketemu lagi di karya aku yang baru, murni boleh ngehalu. Jangan lupa jejaks yesss. Like, vote, komen dan favorit
Nena sempat menghela nafas saat pintu rumah itu dibuka, meja tamu yang terlihat sudah tidak layak, puntung rokok beserta bungkusnya yang berserakan, juga botol air dan kaleng entah minuman apa. “Ini kamar loe,” ujar Malik menunjuk sebuah pintu, “kamar gue yang itu. Kamar mandi di belakang, loe boleh istirahat, gue beli makan dulu.”
Nena mendorong pintu yang disebut kamar untuknya oleh Malik, pemandangan yang sungguh menyayat hati dan menyedihkan. Menyedihkan karena kamar yang akan ia tempati terlihat sempit, hanya ada tempat tidur kecil dengan lemari kayu dan meja rias yang modelnya sudah ketinggalan jaman.
Nena merangsek masuk menggeret kopernya, paling tidak walaupun sempit tapi kamar itu terlihat bersih. Nena membuka kopernya mencari pakaian ganti dan handuk.
“Tuh makanan loe, gue mau kerja. Tetangga sekitar udah tau sekarang loe tinggal bareng gue termasuk Pak RT. Jangan kelayapan jauh-jauh kalau enggak mau nyasar, jangan lupa kunci pintu,” ucap Malik sebelum pergi.
Nena mencari kantung plastik dan memindahkan semua sampah yang ada di meja ruang tamu untuk dibuang dan menyapu lantai seluruh ruangan kecuali kamar Malik. Kini ia duduk di meja makan membuka bungkusan yang disebut makan malam untuknya. Berisi nasi, sepotong lauk dan pelengkap menu lainnya. Nena tidak langsung memakan tapi dia memandang makanan itu.
“Makan yang banyak, biar kamu cepat tumbuh tinggi. Heran Abah, sama tubuh kamu yang enggak tinggi-tinggi,” ucap Abah sambil menuangkan nasi, beserta lauk pauknya memenuhi piring dan diserahkan di depan Nena. “Tapi ini kebanyakan Bah, yang ada aku bukan tinggi tapi gendut.”
“Yang penting sehat, gendut juga enggak apa-apa.”
Air mata Nena tidak terbendung, mengingat penggalan kisah dengan Abahnya. Kehadiran Abah memang sangat terasa saat pria itu sudah tidak ada lagi di dunia ini. Nena menengadahkan wajahnya agar tangisnya berhenti lalu menghela nafas lelah. Meraih sendok dan mulai menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya. Rasa makanan itu jauh dari kata nikmat, entah karena kondisi hidupnya saat ini atau memang rasa makanan standar dengan harga murah memang begitu.
Setengah porsi telah habis, tidak ingin kembali menghabiskan namun mengingat hidupnya saat ini, mau tidak mau ia kembali menghabiskan sisa makanan di hadapannya.
Sebelum tidur Nena sudah memastikan pintu dalam keadaan terkunci, melihat jam dinding saat ini sudah pukul sebelas malam. Tapi masih terdengar ramai, anak-anak berteriak atau ngobrol saat lewat depan rumah, suara deru kendaraan roda dua juga suara TV entah rumah mana yang menyalakannya. Dengan kondisi rumah yang rapat, aktivitas tetangga terkadang bisa didengar dengan jelas.
Seminggu tinggal dengan Malik, Nena belum begitu akrab dengan lingkungan sekitar. Sesekali ia keluar untuk menghafal jalan sekitar tidak jauh dari gang menuju rumah Malik. Dia sendiri jarang bertemu dengan Malik, dengan alasan kerja dan kesibukan mungkin itu yang membuat pria itu jarang pulang.
.
.
.
Nena baru saja selesai menyetrika pakaian saat Malik pulang, “Bang, kerjanya apa sih? Kenapa jarang pulang?” tanya Nena. “Kamu enggak usah kepo dan banyak tanya. Biasanya orang yang penasaran itu mudah celaka, jadi biasakan tidak ikut campur urusan orang lain.”
“Cuma nanya, tinggal jawab aja, malah pake ceramah,” jawab Nena lirih namun sudah pasti bisa di dengar Malik.
“Gimana, loe udah datang alamat resto yang gue kirim?”
Nena mengangguk, “Mereka butuh yang pengalaman dan bersertifikat. Jadi aku enggak diterima.”
“Loe kan lulusan SMK, masa enggak bisa lolos,” ujar Malik. “Aku lulusan SMK Farmasi Bang, yang dibutuhkan restoran itu lulusan tata boga, beda jurusan. Naik angkot aja kalau salah jurusan, nyasar.”
Sudah tiga bulan tinggal bersama Malik, Nena pun sudah sering ke berbagai tempat untuk melamar kerja. Mulai dari office girl, penjaga toko, sampai lowongan bagian dapur rumah sakit pun ia sudah coba namun keberuntungan belum berpihak padanya.
Tanda tanya mengenai pekerjaaan Malik masih belum ada jawaban, namun Nena yakin apa yang dilakukan kakaknya bukan dalam jalan yang lurus meskipun bukan seorang perampok, pencuri apalagi pencopet. Malik pernah pulang dalam keadaan babak belur, entah siapa yang memukuli. Juga dalam kondisi luka berdarah-darah entah siapa yang melukainya. Namun ada masa pulang dalam keadaan rapih menggunakan jas, bahkan Nena sendiri tidak menyangka bahwa Kakaknya dengan pakaian itu terlihat tampan.
Seperti saat ini, Nena membuka pintu untuk Malik yang pulang bersama seorang perempuan. “Siapa dia?” tanya perempuan itu pada Malik. “Ade gue,” jawabanya.
“Hmm, cantik. Jangan sampe Bos Leo lihat, bisa digaet.”
Malik berdecak, lalu membuka dasi yang masih terikat di kerah bajunya. “Nena,” panggil Malik.
“Iya,” sahut Nena menghampiri Malik. “Gue mau istirahat, enggak usah ganggu gue. Apapun yang loe dengar dari kamar, hiraukan aja. Ayo,” ajak Malik pada perempuan itu. Kemudian merangkulnya dan perempuan itu terbahak karena mendengar Malik berbisik.
“Bang Malik, ngomong apa sih? Itu perempuan kenapa ikut masuk ke kamar Bang Malik. Kalau mau nginep harusnya tidur bareng aku dong.” Nena menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia pun masuk ke kamarnya, belum sempat terpejam. Telinganya menangkap suara-suara aneh, seperti kesakitan tapi bukan. Seperti kesenangan tapi juga bukan, cukup lama sampai terdengar suara Bang Malik mengerang.
“Tau ah, mungkin lagi pada kerokan karena masuk angin,” ujar Nena.
Dua hari setelah itu, Nena yang menuju pasar untuk membeli kebutuhan bulanan yang dibutuhkannya juga Malik melewati deretan ruko. Yang menarik perhatiannya adalah salah satu ruko yang merupakan apotik yang lumayan terkenal memasang plang. “Membutuhkan Staf Farmasi”
Tanpa membuang waktu, ia segera masuk ke dalam apotek mengkonfirmasi kebenaran pengumuman tersebut. Nena pulang untuk mengambil berkas lamaran kerjanya lalu kembali ke apotek tersebut, tanpa diduga ia diterima bekerja di apotek tersebut.
Karena apotek tersebut buka 24 jam, maka ia kebagian jadwal kerja shift. Nena tidak disulitkan dengan pakaian kerja, karena ada hari-hari tertentu ia menggunakan seragam yang sudah ditetapkan.
Masa kini, Jakarta 2022
“NENAAAA!!!” panggil Ajat dengan berteriak di depan rumahnya tanpa turun dari motor.
“Bentar, gue ketiduran,” ujar Nena dengan kepala yang menyembul di pintu. Ia akan membonceng motor Ajat anak Pak H. Soleh tetangga Malik. “Buruan, gue tunggu depan gang,” teriak Ajat lagi.
Terdengar deru motor yang menjauh, Nena semakin panik sambil memakai sepatunya ia bergegas mengunci pintu dan menutup pagar besi yang sudah karatan. Bahkan serpihan karatannya akan menempel kala ia menyentuhnya.
Berlari, mengerjar Ajat karena motor miliknya sedang dibengkel, naik kendaraan umum sudah pasti terlambat. “Nenaaa, gue titip obat,” ujar tetangga Nena.
“Sms aja ya, aku buru-buru, sudah telat.”
“Bae-bae melendung, kalau udah telat mah,” ujar salah satu pemuda yang sedang nongkrong.
Nena terengah sambil membungkukan badannya sebelum naik ke motor Ajat. “Lelet macem siput,” ujar Ajat.
_______
Hai, ketemu lagi di karya aku yang baru, murni boleh ngehalu. Jangan lupa jejaks yesss. Like, vote, komen dan favorit
Nena terengah sambil membungkukkan badannya sebelum naik ke motor Ajat. “Lelet macem siput,” ujar Ajat. “Lagi loe juga aneh, udah tau gue mau nebeng, malah nunggu disini padahal tadi udah lewat depan rumah.”
Nena menaiki motor Ajat, “Sengaja, biar loe olahraga dulu,” sahut Ajat.
“Olahraga jam segini bukan menyehatkan tapi menyakitkan,” ujar Nena agar berteriak di telinga Ajat karena motor yang sudah melaju, dan suara knalpot yang agak bising. Hampir dua tahun Nena telah bekerja di apotik, namun saat ini ia bertugas di cabang yang ada pada sebuah Mall di Jakarta.
Untuk cabang tempatnya kini hanya ada dua shift, dan saat ini ia masuk shift dua, dari jam dua siang sampai jam sepuluh malam. “Turun sini aja deh, macet kalau gue muter lagi,” ucap Ajat saat menghentikan motornya di halte yang ada disebrang Mall. “Iya, makasih ya.” Setelah turun dari motor, Nena harus menggunakan jembatan penyebrangan karena melewati dua jalur.
Sudah lebih dari tiga jam, Nena hilir mudik menyiapkan pesanan obat. Setelah istirahat ia akan bergantian berjaga di pelayanan langsung dengan pelanggan. Hampir jam enam sore saat ia bersama Tata rekan kerjanya keluar dari store menuju food court untuk segera mengisi perutnya yang sudah mulai bernyanyi.
Janu Arsana (32 tahun) seorang pejabat pemerintah, berada pada sebuah restoran sedang membicarakan kesepakatan proyek yang akan ia jalani dengan rekan bisnisnya. “Ayolah Pak Janu, masa pengajuan saya gagal, saya bisa memberikan jumlah sesuai yang Pak Janu minta loh.”
Janu hanya diam, ia menyesap isi cangkir yang dipegangnya. “Saya sudah coba penuhi kebutuhan Bapak, isi perut sesuai nominal yang tadi saya ucapkan dan bawah perut.” Pria paruh baya dengan tubuh sedikit gempal tertawa. “Bagaimana rasanya wanita yang kita siapkan untuk Pak Janu?”
“Wanita?” tanya Janu heran.
“Masa lupa sih, pertemuan kita sebelumnya yang diwakili oleh asisten saya. Wanita itu top loh, banyak pejabat yang pakai dia.”
“Pak Teja, perlu Bapak tau kenapa kami tidak meloloskan draft kerja sama dengan perusahaan Bapak karena sejarah kerjasama kita sebelumnya tidak bagus. Itu alasan kami menolak,” jawab Janu sambil meraih tisue dan melap bibirnya.
“Pak Janu tau kan siapa yang memback up saya?”
Janu menghela nafasnya, “Tau, tau sekali dan Pak Teja juga tau bagaimana saya menyelesaikan masalah dengan orang-orang yang ngeyel dan tidak kompeten. Tau juga kan siapa saja orang yang mendukung saya?” tanya Janu sambil mencondongkan tubuhnya ke arah depan seakan apa yang disampaikannya adalah rahasia.
“Tapi saya lebih suka tidak ada kekerasan, jadi baiknya terima saja hasil yang sudah disampaikan. Satu hal lagi, saya bukan pria suci tapi wanita yang Pak Teja siapkan saya tidak pernah menyentuhnya. Bahkan asisten Bapak sudah mabuk berat sebelum kami selesai diskusi. Saya lebih suka wanita yang sederhana dan menolak saya, membuat saya lebih tertantang untuk mendapatkannya.”
Janu yang ditemani Arman asistennya meninggalkan Teja dan restoran itu.
“Nena,” panggil Tata membuat langkah mereka terhenti. “Itu kan Pak Janu Arsana ya?”
Nena mengerutkan dahinya, “Janu ? Ardana? Mana?” tanyanya. “Ishhh, Janu Arsana. Masa loe enggak tau sih.”
“Enggak, yang mana orangnya.” Nena menoleh pada pria yang ditunjuk Tata. “Biasa lihat dia di TV, ternyata aslinya ganteng banget,” puja Tata.
Pria dengan tinggi tubuh yang Nena yakini lebih dari 185 cm, rahang tegas, kulit putih dan ... “Sebagai perempuan aku enggak percaya diri ya, lihat wajahnya orang itu,” ujar Nena. “Ganteng ya?”
“Glowing banget Ta, kita yang perempuan aja kalah,” sahut Nena sambil terbahak. “Eh, Tata,” panggil Nena pada Tata yang mengejar Janu. “Om Janu,” panggilnya membuat si pemilik nama menghentikan langkahnya. “Om, minta foto boleh?”
Janu ingin memaki gadis yang ada di depannya, minta foto? Sedangkan dia tidak merasa tenar bak seorang artis. Mengingat ia berada di area umum, “Boleh,” jawab Janu. “Nena, tolong fotoin!” titah Tata pada Nena. Arman asisten Janu pun menjauh, Janu sebenarnya risih dengan perempuan yang sepertinya agresif ini, menatap ke depan pada gadis yang mengambil gambar mereka.
“Satu lagi ya,” ujar Nena. Janu menatap Nena membuat gadis itu salah tingkah karena takut. “Makasih ya Om Janu,” ucap Tata. Yang dijawab Janu dengan tersenyum lalu berjalan menjauh. “Gila ganteng banget sumpah,” ucap Tata.
“Tapi kayaknya udah ...”
“Tua, maksud loe?” Nena mengedikkan bahunya.
“Lagi jamannya kali, perempuan muda jalan sama Om-om, gue juga mau kalau ada yang minta aku jadi sugar baby.”
“Astaga Tata, gelo maneh mah (Gila kamu),” pekik Nena sambil berjalan. “Realistis ajalah Na, gaji kita berapa sih, buat bayar kost, makan sebulan juga kadang kurang. Belum yang di kampung minta kirimin uang.”
Nena menghela nafasnya, “Tapi kan enggak gitu juga kali, pasti ada cara lain.” Kini Tata dan Nena sedang menikmati paket makan mereka. Tata yang terus mengoceh tentang kemewahan dan fasilitas yang akan didapatkan oleh seorang sugar baby.
“Ta, kita makan pakai paketan lima belas ribu yang isinya nasi, ayam sama teh manis. Terus kamu ngoceh-ngoceh masalah kemewahan kayaknya jomplang banget ya.”
“Nah, makanya gue enggak mau terus-terusan begini. Kalaupun enggak sugar baby, dapat cowo tajir juga enggak apa yang penting cuan.” Nena menghela nafasnya, ia menghabiskan es tehnya, lalu menuju wastafel cuci tangan. Sebenarnya apa yang disampaikan Tata ada benarnya, hidup di Jakarta itu berat. Entah dari mana ia harus membayar uang kost jika Bang Malik tidak mempunyai tempat tinggal.
Nena bergegas keluar area mall, ojeg onlinenya sudah menunggu. Setelah jam kerjanya selesai, ia mendapatkan pesan agar datang ke sebuah club untuk menjemput Malik yang sedang mabuk dan membuat keributan.
Bugh, saat didepan pintu masuk sebuah club Nena menabrak bahu seseorang. “Maaf, saya buru-buru,” ucap Nena langsung masuk ke dalam.
“Dia kan gadis yang tadi siang ... ku pikir gadis baik taunya sama aja,” batin Janu saat Nena bergegas masuk ke dalam club setelah minta maaf.
______
Hai, ketemu lagi di karya aku yang baru, murni boleh ngehalu. Jangan lupa jejaks yesss. Like, vote, komen dan favorit
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!