Renjun menepati janjinya kepada teman-teman barunya itu. Ia benar-benar mentraktir keempatnya, untuk makan siang bareng Kafe yang ada di pusat kota, sembari mengerjakan tugas kelompok.
Renjun rasa semuanya berjalan lancar, ia sendiri tidak menduga kalau mereka berempat bisa cukup akrab padahal baru hari inilah dirinya bergaul dengan Jeno dan Heechan beserta yang lainnya.
Selain itu, Renjun sangat bersyukur bisa sekelompok dengan Jeno yang pintar dan rajin , Heechan yang berhasil menjadi sumbu kecanggungan diantara kelompok kecil itu dan Mark yang sangat ramah, serta Chenle yang cukup asyik diajak ngobrol.
Semuanya terasa sempurna dalam sekilas, bahkan kebencian Heechan pada Renjun sedikit menghilang seolah-olah orang yang kemarin membenci Renjun bukanlah dia.
"Apa memang Heechan sedang tidak mengerti materi kali ini atau emang dasarnya ia selalu jadi beban kelompok?" tanya Jeno secara terang-terangan , seperti menghujani tumpukan peluru kedalam lingkaran yang tadinya mulai saling terbentuk, Meksipun, ikatan itu masih terlalu tipis dan mudah putus.
"Jeno, kau gak mau ngomong kayak gitu. Heechan itu baik kok dan lumayan rajin biasanya, keluh Chenle yang berusaha menasehati Jeno.
Untung saja, sepertinya Heechan sedang tidak memainkan api amarahnya kali ini. Tapi lucunya ia malah menatap Renjun, seolah-olah sedang menunggu pembelaan dan belas kasih dari teman barunya itu.
Mark yang menyadari tatapan memohon Heechan, buru-buru menyenggol Renjun yang ada disebelahnya. Saat ini , Renjun sedang fokus menggambar mind map di kertas Karton yang tadi mereka beli sebelum kesini.
"Lihat itu mukanya si Heechan," beritahu Jeno yang tidak bisa menahan tawa , bila ia melihat wajah memelas Heechan seperti kekanak-kanakan saja.
Dalam sejenak, ia merasa malu melihat tingkah temannya itu. Akan tetapi, kalau dipikir-pikir tingkahnya yang menggemaskan itulah yang mampu menjadi candu untuk mengatasi kebosanan kehidupan Mark.
"Renjun, gimana menurutmu tentang Jeno yang mengatakanku beban?" tanya Heechan, suaranya sengaja dibuat menggemaskan. Renjun yang berada dihadapannya itu memilih diam untuk sejenak, ia tidak ingin nantinya sebuah kalimat kasar keluar dari bibirnya dan malahan merusak suasana yang sebelumnya retak di perbuat oleh Jeno.
Renjun melirik kearah Jeno. Sialnya, Jeno malah bersikap acuh dan sibuk mengetik tugas mereka dilaptop seusai melemparkan masalah padanya. Bukan, sepertinya Jeno sendiri tidak tahu kalau masalah ini akan menimpanya. Namun tetap saja, ia berharap lain kali Jeno bisa menyaring ucapannya dulu sebelum dilontarkan kepada orang lain.
"Gimana, Renjun?" tanya Heechan lagi. Mark yang ada disebelah Renjun malah tertawa gak jelas , ia memang sosok yang mudah sekali tertawa padahal tidak ada yang menggelik saat ini.
Berbeda pula pada Chenle yang malah memasang wajah was-was, ia memang seseorang yang lebih perduli diantara kami saat ini melebihi Mark.
"Menurutku sih, aku gak masalah siapapun menjadi beban kelompok asalkan dia tetap tenang dan gak mengganggu pekerjaan temannya yang lain," ucap Renjun , tetapi ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi tertekan.
"Apa sih maksudmu, Renjun? Jadi intinya aku ini beban atau tidak?" tanya Heechan yang masih memasang wajah penuh harap, Renjun menghela nafas sejenak tanpa berniat menjawab pertanyaan bodoh itu secara terang-terangan.
"Aku menolak menjawab pertanyaan bodoh itu, " tukasnya dengan memasang wajah tenang, tetapi dalam sekejap ucapannya barusan malah membuat Mark dan Jeno tertawa geli.
Mereka bisa menyimak, bagaimana Renjun terlihat tertekan sampai harus menolak untuk menjawab pertanyaan Heechan.
"Kau lihat? Bahkan si anak baru aja sampai menolak menjawab karena setuju sama perkataanku," ledek Jeno, ia mulai bisa melihat ucapan sarkasnya Renjun sudah bisa se-frekuensi dengannya.
Heechan yang merasa ditertawakan, cuman bisa menggerutu kesal dan langsung mengambil pensil secara asal dari atas meja.
"Kalau gitu apa yang bisa kubantu?" tanyanya cemberut, tetapi untungnya wajah masamnya itu bukanlah bentuk ungkapan kemarahannya dan bukanlah hal yang mengkhawatirkan bagi Chenle dan Mark .
Heechan sendiri juga sudah mulai mencoba membiaskan diri dengan ucapan kasar Renjun, baginya Renjun tidak terlalu mengerikan seperti Jeno dan tidak juga terlihat sarkas melebihi Jeno.
"Apa aku perlu membantumu, Renjun?"
"Boleh," jawab Renjun, yang malah lebih ke perasaan bersalah kepada Heechan atas jawabannya barusan. Renjun membuka set pensil warna yang tadi mereka beli dan menyerahkannya pada Heechan.
"Kau bisa mewarnai mind mapnya, selagi aku dan Mark sedang membuat bagian sebelah sini!" Renjun menjelaskan kepada Heechan atas bagiannya.
"Ah, Heechan. Kau bisa bebas memberikan warna apapun kedalam mind map, terimakasih ya." Renjun tersenyum , seusai memberikan instruksi pada Heechan.
Heechan hanya mengangguk saja, ia tidak bisa berbohong kalau diem merasa senang ada seseorang yang mengatakan terimakasih padanya padahal ia belum melakukan apapun. Baginya, ini adalah kali pertama ia mendengarkan kalimat tersebut selain dari Mark dan Chenle.
Dan tak bisa dipungkiri, suasana hati Heechan berubah drastis menjadi lebih bersemangat. Entah bagaimana masa lalu yang dialami Heechan sampai haus akan perhatian seperti itu, bahkan kilatan matanya yang masih berbinar tampak jelas dimata Mark yang sangat mengenal jauh tentang kepribadian Heechan dan rasa sakitnya.
"Apa menurutmu masa kolonialismenya bisa lebih kita persingkat, Mark?" tanya Renjun yang langsung membuyarkan perhatian Mark dalam lamunannya dan mengangguk setuju.
"Boleh, mungkin kita bisa-" tiba-tiba saja teleponnya berbunyi , ia terpaksa menghentikan perkataannya tersebut dan matanya terbelalak saat itu juga.
Dengan cepat, ia pergi menjauh dari sana untuk mengangkat panggilan tersebut. Tapi, Renjun bisa melihat ada sebuah ketegangan diantara dalam panggilan itu.
Wajah Mark yang biasanya ramah, mulai berubah menjadi tidak bersahabat dan beberapa kali ia mengepalkan tangannya untuk menahan emosi.
Adapun dari sudut pandang Mark, ia merasa panggilan telepon tersebut adalah kutukan baginya.
Namun, bila ia tidak mengangkat panggilan tersebut yang ada malahan nanti memperburuk keadaan . Makanya, ia langsung mengangkat panggilan tersebut meskipun ia sangat paham kalau mentalnya akan jatuh acap kali ia menerima panggilan dari orang itu.
"Ada apa, Pa?" tanya Mark, sepertinya itu adalah panggilan dari sang Ayah.
Akan tetapi, bukannya kelihatan senang malahan Mark merasa tertekan dan muak saat ini.
"Pulang kau sekarang! Ibumu mulai berulah lagi, ia benar-benar buang waktuku!" keluh Papanya Mark dari seberang telepon itu.
Mark berubah khawatir, " Gimana keadaan Mama sekarang?"
"Dia pingsan, makanya kau pulang sekarang dan urusin dia. Soalnya aku mau balik lagi ke Rumah Sakit untuk bekerja," keluh Papanya Mark.
"Kau memang ingin kembali bekerja, atau malah balik ke Rumah wanita itu?" Mark mulai tidak tahan kepada sikap Ayahnya, kalau saja ia tidak memikirkan ibunya pastilah lekaki yang dianggapnya Ayah itu sudah dihabisinya sejak dahulu.
"Dasar anak sialan! Berani-beraninya kau tidak sopan gitu padaku, apa ini hasil didikan ibumu?" bentak Papanya dari seberang telepon, Mark cuman bisa terpaku saja mendengarkan omelan itu.
Baginya, omelan tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari yang menusuk mentalnya. Mark sendiri juga tidak bisa mengelak kalau kehidupannya ini sangatlah menyedihkan , dan ia sangat paham kalau tak ada jalan untuknya bisa lari dari takdir mengerikan ini.
Satu-satunya jalan yang hanya bisa ditempuh oleh Mark, hanyalah tetap bersembunyi dibalik senyuman palsu dan keramahan yang selama ini diperlihatkan olehnya . Senyuman yang terkadang mampu melupakan semua masalah yang terjadi dalam rumah mengerikan itu, pernah sekali ia menangisi kelahirannya didunia ini yang sangat menyayangkan , tetapi sejak mengenal Heechan barulah ia bisa membandingkan kalau kehidupannya jauh lebih baik setiap kali ia mulai merasa patah hati kepada orangtuanya dan mengalami kondisi mental yag sangat terpuruk
Makanya , sampai detik inipun ia selalu berteman dengan Heechan yang menurutnya bukan hanya seorang teman baik saja. Akan tetapi, tanpa sadar kalau dirinya sedang menjadikam kehidupan Heechan sebagai alat perbandingan dam acuan kesialan, agar Mark bisa tetap menjalani hidup seperti biasanya.
"Aku akan mengurusi Mama, kau bisa pergi sekarang dan tolong berhenti mengomel!" tukas Mark yang sudah tidak sanggup lagi mendengarkan ocehan ayahnya itu, lalu tak beberapa lama suara bunyi panggilan terputus dari sang Ayah sedikit melegakan hati Mark.
Dengan buru-buru , ia berlari kedalam kelompoknya kembali dan menggendong ranselnya sambil berpamitan pergi dengan tatapan baik-baik saja.
Mark memang ahli menyembunyikan perasaannya, atau lebih tepatnya merasa malu untuk berterus-terang tentang betapa terlukanya Mark saat ini. Kalau saja ia bisa memberanikan diri untuk menangis detik ini juga, maka ia akan menangis sekuat-kuatnya tanpa perlu memikul beben emosi yang sejak kecil ditimpuk olehnya .
"Aku permisi duluan ya. Soalnya Papaku tadi telepon untuk nyuruh pulang cepat hari ini," ucap Mark sambil tetap tersenyum.
Senyuman palsu yang sama sekali tidak pernah terlupakan olehnya, mungkin kalau dihitung-hitung senyuman itu sudah ada sejak kelas 1 SMP .
"Maaf merepotkan kalian semua, selamat siang!" ucap Mark yang langsung pergi saat itu juga, tanpa menunggu ucapan apapun dari keempat temannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments