Kepingan Hati Vania
Namaku, Vania Kirana Larasati, orang terdekatku memanggiku Nia. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan.
Kakak pertamaku, Tisha Listyana Maharani, tercantik diantara kami, juga lembut dan cerdas. Tidak heran aku menyebutnya kesayangan Ayah karena Ayah selalu memuja kalau berbicara tentangnya. Dimata Ayah, Kak Tisha tiada cela sama sekali, berbeda dengan kakak keduaku yang kata Ayah suka ngambek dan aku yang disebut suka membangkang.
Tetapi, sesungguhnya kami bertiga adalah putri yang sangat dicintai Ayah dan Ibu, kami adalah permata hati mereka. Meski dari keluarga sederhana yang hidup dari hasil toko kelontong di pasar sebuah kota kecil di pulau JW, kota yang ramah dan juga nyaman.
Nama ayahku Aryasena dan Ibu bernama Asmarini. Ayah memiliki lima orang adik yang sangat tidak kusukai. Namun ada seorang adik laki-laki Ayah yang akrab dengan kami, biasa dipanggil Paman Tino sedangkan istrinya kami sapa dengan Bibi Rima. Pernikahan mereka sangat harmonis meski belum dikaruniai anak di usia pernikahan yang menginjak 20 tahun. Secara otomatis kami menjadi keponakan tersayang sekaligus dianggap seperti putri mereka sendiri. Mereka menyewa tempat di sebelah toko kami untuk berjualan snack kiloan dan makanan ringan lainnya. Snack yang paling aku sukai adalah keripik gadung.
Hanya Paman Tino dan Bibi Rima yang aku hormati dari keluarga besar Ayah, selain itu aku anggap hanyalah manusia-manusia munafik. Mereka menganggap kami sebelah mata hanya karena memiliki sebuah rumah sederhana, sepetak toko dan sebuah sepeda motor bebek. Bukan Ayah tak mampu seperti mereka yang memiliki harta lebih banyak tapi dia justru mementingkan biaya pendidikan kami bertiga. Impian terbesar Ayah dan Ibu adalah mendampingi kami ketika wisuda. Wisuda merupakan sebuah pencapaian akademik yang gagal mereka raih atas nama bucin, halah ...
Walaupun kami perempuan dan akhirnya nanti berujung di dapur setelah menikah, setidaknya kami bisa berdikari dan menjadi istri serta ibu yang tidak bodoh, itu kata Ayah. Kalau kataku sih, supaya tidak dibodohi suami nantinya, hahahaha ...
Sebaliknya, keluarga dari pihak Ibu sungguh misterius. Kami tidak pernah sekalipun mendengar apapun perihal tentang keluarga Ibu. Pernah kami coba bertanya beberapa kali pada Ayah, tapi jawaban Ayah selalu sama.
"Kalau Ibu keberatan menceritakannya, Ayah pun sama. Hanya Ibu yang berhak menceritakannya karena itu keluarga Ibu."
"Aih, Ayah takut dimarahi Ibu ya?" tuduhku sebal.
"Tidak, karena Ayah menghormati dan terlalu mencintai ibu kalian," jawab Ayah.
"Ih, jawabannya dari dulu itu melulu. Kok, Ayah bisa sih secinta itu sama Ibu?" tanya Kak Litha.
"Hmm ... Ibu kalian memang galak. Tapi, pengorbanannya untuk Ayah yang membuat Ayah sangat mencintai Ibumu. Semoga kalian nanti mendapat suami seperti Ayah, yang mencintai kalian sepenuh hati tanpa syarat."
"Ishh ... Ayah narsis! ... Tapi pengorbanan apa?" tanyaku menyelidik.
"Ck. Anak kecil mau tahu saja urusan orangtua. Kalian hanya perlu tahu kalau kalian itu lahir di dunia ini karena cinta suci kami."
Ayah malah memeluk dan menciumi pucuk kepala kami bertiga. Aku bisa merasakan cinta dan kasih sayang Ayah yang begitu besar pada kami.
"Ayah tidak seru!" Aku merajuk pada Ayah, lalu menarik tangan kakakku, "Kak Tisha kok diam saja, bantu nanya kek," ujarku padanya yang sedari tadi hanya senyum-senyum saja.
"Ngapain nanya? Berapa kali pun kau tanya jawaban Ayah tetap sama. Lagian masih SD kepo urusan orangtua, nanti wajahmu cepat tua karena dewasa sebelum waktunya, hahaha ...." jawab Tisha tergelak.
Aku memberengut kesal karena Kak Tisha selalu memihak Ayah. Untungnya aku masih memiliki kakak yang satu frekuensi denganku, makanya setelah pisah tidur dari kamar Ayah dan Ibu, aku lebih memilih satu kamar dengan Kak Litha ketimbang Kak Tisha. Maklum, rumah sederhana kami hanya memiliki tiga kamar tidur, satu ruang tamu, satu ruang tengah yang sering dipakai untuk bercengkrama bersama dan sebuah dapur juga kamar mandi.
"Kak, aku sangat penasaran kenapa kita tidak boleh mengenal keluarga Ibu. Mungkin saja Ibu adalah seorang anak orang kaya yang lari dari perjodohan karena memilih Ayah yang hanya seorang pedagang di pasar," bisikku pada kakak keduaku.
"Hentikan imajinasimu! Kalaupun benar, tidak ada pengaruhnya juga buat kita. Meski hanya pedagang di pasar tapi Ayah adalah Ayah terbaik di dunia."
Kakak keduaku, Navia Litha Sarasvati, seorang perempuan santun yang memiliki empati tinggi, juga penyayang, sedikit galak dan pandai berkamuflase. Aku katakan dia pandai berkamuflase karena Kak Litha, panggilan akrabnya, begitu pandai menutupi perasaannya yang sebenarnya.
Dia memang tidak secantik Kak Tisha, tone kulitnya paling gelap diantara kami, namun begitu ia yang paling membuat Ayah kewalahan menghalau teman-teman lelaki yang selalu ingin mendekatinya. Sedangkan kulitku sangat putih, bukan pucat ya, tapi seputih salju hahahaha .... Meski aku berjemur di bawah terik matahari kulitku tidak akan berubah sedikitpun. Untungnya rambutku hitam, kalau tidak aku akan disangka Albino.
Kulit anehku ini kudapatkan dari Ibu begitu juga mataku. Seharusnya aku mirip dengan Ibu yang cantiknya paripurna karena aku mewarisi jenis kulit dan matanya tapi nyatanya justru Kak Litha yang plek-ketiplek mirip dengan Ibu, pembedanya hanya di warna kulit. Aih ... aku jadi iri dengan kakakku itu. Tapi kenapa juga Ayah seringkali sewot jika ada teman lelakinya yang bertandang main atau kerja kelompok ke rumah padahal mereka hanya T-E-M-A-N.
...***...
Gerimis menyertai pemakaman Ayah sore itu. Cinta pertama kami telah berpulang meninggalkan semua bidadarinya di bumi. Tangisanku paling keras diantara semua, sementara Ibu hanya diam menatap hampa nisan Ayah.
Mulailah derita malang menimpa keluarga kami datang berderet. Sejak Ayah tiada, otomatis lelaki yang bisa melindungi kami hanyalah Paman Tino– tetapi berhadapan dengan Bibi Rima saja, Paman takutnya bukan main, bagaimana kami akan mengandalkannya?
Di saat-saat seperti ini aku memimpikan kalau saja aku memiliki seorang saja kakak lelaki, setidaknya kami tidak selinglung ini dan setidaknya kami masih percaya diri mengangkat muka setelah kehilangan Ayah karena masih ada yang melindungi kami.
Selain kehilangan Ayah, kami juga setengah kehilangan Kak Tisha. Aku menyebutnya setengah kehilangan sebab raganya ada tapi jiwanya tidak ada, alias ODGJ, Orang Dengan Gangguan Jiwa. Gangguannya semakin parah setelah diberitahu kabar bahwa Ayah telah meninggal. Ia tertawa, menangis namun paling banyak termenung, sampai aku penasaran apa yang ODGJ pikirkan kalau lagi termenung diam.
Sedihnya lagi, ibuku divonis kanker tulang beberapa minggu setelah Ayah dimakamkan. Kondisi keuangan kami juga menurun drastis dari sederhana menjadi kismin, eh miskin maksudnya, hahaha ....
Motor, toko, rumah, perlahan habis untuk biaya hidup sehari-hari, pengobatan Kak Tisha dan Ibu. Meski dibantu Bibi dan Paman yang berjualan snack, tetap saja tidak cukup. Sampai akhirnya kami tinggal menumpang di rumah Paman dan Bibi dan tidak lama kemudian Paman memutuskan untuk bekerja di Ibukota.
"Paman yakin, jauh-jauh ke Ibukota hanya untuk jadi pembantu?" tanya Kak Litha.
"Ini bukan pembantu biasa, Tha. Ini pembantu keluarga ternama– pemilik perusahaan yang sangat besar dan Paman hanya mengurusi bagian belakang rumah. Kata teman Paman bagian belakang itu melingkupi taman, kebun dan peternakan kecil. Gajinya besar, Tha."
"Gajinya memang besar tapi kebebasan tiada punya," selorohku dengan mata yang tidak lepas dari TV.
"Nia!"
Kak Litha meneriakiku padahal aku hanya mengutarakan pendapat saja. Sekarang aku kan, sudah SMP walaupun masih kelas satu sih, hihihi ....
"Biarkan saja dia, Tha." Paman melirikku, lalu menatap Kak Litha kembali, "Bibimu sudah menyetujuinya, tinggal ibumu saja. Paman mohon bujuklah ibumu agar mengizinkan Paman untuk bekerja disana?"
"Kenapa harus ada izin Ibu, seharusnya cukup Bibi saja, kan? Ibu hanya Kakak Ipar Paman." kataku sambil lalu ke dapur mengambil air minum.
"Karena sekarang Ibu kalian yang paling dituakan di keluarga ini," sahut Bibi ketus.
"Bibi!!! Keripikku mana?"
Aku kesal sekali keripik gadung favoritku di toples tidak bersisa, padahal tadi pagi masih penuh.
"Maaf Nia. Tadi siang aku dan Leon yang menghabiskannya."
"Kakaaaaakkk!!!"
Ya, hanya Kak Leon, teman lelaki yang diterima Ayah sebagai teman, tahu kenapa? Karena Kak Leon adalah partner lomba Kak Litha mewakili sekolah mereka. Kakakku yang masih waras itu sangat gila dengan perlombaan, pialanya berderet-deret di almari bufet dan Ayah sangat bangga setiap memandang almari itu. Segala macam lomba diikutinya bahkan perlombaan 17 Agustusan pun tidak pernah absen. Satu lagi, alasan Ayah menerima Kak Leon main ke rumah, karena Ayah yakin Kak Leon tidak akan menyentuh fisik Kak Litha sedikitpun, kok bisa? Ya bisalah, karena diancam Ayah, hahaha ....
Lalu bagaimana dengan sikap Ayah dengan teman laki-lakiku atau Kak Tisha? Jawabannya sama. Namun, aku selalu protes dan bertanya alasan yang masuk akal bukan hanya sekedar jawaban 'mau melindungi', ya ... karena Ayah mana yang tidak mau melindungi anak perempuannya, tapi bukan berarti seperti mengurung di dalam sangkar, kan? Berbeda dengan Kak Tisha yang sangat penurut, 100% menuruti semua kata Ayah. Apa dia tidak bosan menjalani hidup yang monoton?
"Life is never flat, Sista." sindirku pada Kak Tisha saat dia menegurku untuk tidak membantah Ayah.
Yeah, Hidup tidak selalu datar ...
Seakan perkataanku diaminkan malaikat lewat. Kini hidupku, hidup kedua kakakku, hidup orangtuaku dan hidup Paman dan Bibi tidak sedatar sebelumnya, tidak sebahagia sebelumnya. Bak kapal yang dihantam badai yang mengamuk di tengah lautan. Gelombang besarnya menenggelamkan harapan kami, tiang-tiang penyangga kapal kami dan seluruh persediaan yang menopang hidup kami. Badai tidak sebentar dan masih terus berlangsung, dengan susah payah kami terus bertahan di atas sekoci mencari daratan untuk bersandar.
Dari sinilah awal kisahku bermula, saat aku mulai menapaki satu masa yang menurut orang-orang adalah masa paling indah– masa SMA. Itu menurut mereka, bagaimana denganku?
- Bersambung -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Kaisar Tampan
semangat tor
2022-07-05
0
naviah
hadir thor
2022-03-19
0
Chacha Nunuy Chasanah
bismillah...smoga sukses kak n sll semgt😊😊💪💪izin absen👆
2022-03-16
0